BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Politik Ekonomi Jadi Panglima

Politik Ekonomi Jadi Panglima

Written By gusdurian on Kamis, 12 Februari 2009 | 13.39

Politik Ekonomi Jadi Panglima


Pada zaman Soekarno, politik adalah panglima; zaman Soeharto, ekonomi menjadi panglima.Keduanya sukses dalam satu hal,gagal dalam hal lain.


Akhirnya, keduanya jatuh karena hal lain itu. Presiden Soekarno berhasil menggunakan politik untuk memasang dirinya di puncak kekuasaan tanpa batas konstitusi dan membawa Indonesia ke panggung politik internasional yang dikagumi,walaupun kurang dihargai.Namun, pemerintahannya sama sekali tidak ada usaha untuk mengurus ekonomi, karena perhatian Soekarno hanya pada gengsi.

Orde Baru dimulai dengan Proklamasi, bahwa kita tidak lagi berpolitik karena panglima kita adalah pembangunan ekonomi. Kita kemudian sadar bahwa ucapan Soeharto itu adalah ucapan politis yang paling mencekam, karena orang tidak diizinkan punya pendapat lain yang bisa mengganggu monopoli politik Soeharto. Ekonomi adalah panglima,katanya.

Tapi dalam kenyataannya,baik Soekarno maupun Soeharto sama saja, menjadikan dirinya sebagai panglima, bukan dalam batasan undang- undang dan akal sehat, melainkan panglima seluruh kehidupan bangsa, politik- ekonomi-sosial-budaya, bergantian selama dua dan tiga dekade masing-masing.

Jadi,apa yang seharusnya menjadi panglima? Jawabnya mudah, yaitu bahwa kita tidak perlu slogan yang membodohkan masyarakat. Negara sebaiknya berjalan menurut konstitusi, sesuai kebutuhan masyarakat dan panggilan sejarah.Tapi kalau masih mau main slogan, boleh kita katakan bahwa panglima kita sekarang seharusnya politik ekonomi.

Sistem politik yang mempermudah pembangunan ekonomi, dan sistem ekonomi yang menghormati kedaulatan warga dalam seluruh arti politik. Presiden kita tidak bisa memerintah tanpa keseimbangan antara keduanya.Politik menjaga kepentingan hak asasi warga, ekonomi menjaga harapan warga akan kehidupan yang lebih baik.

Contoh tindakan ekonomi yang melupakan pertimbangan politik terlihat justru di negara lain,Amerika Serikat pada 2008.Paket bailout yang direncanakan Menteri Keuangan Paulson pada Oktober 2008, ternyata tidak mampu mengatasi krisis ekonomi di AS. Kini, Presiden Obama sedang menyiapkan paket yang mungkin mencapai USD2 triliun di tahap pertama,dan mungkin USD4 triliun seluruhnya.

Mengapa? Karena paket Paulson hanya menyangkut lembaga keuangan, yang malah semakin parah dengan makin parahnya pengangguran dan sektor riil.Paket Paulson (pemerintahan George W Bush) pada Oktober 2008 malah makin memperparah krisis bank, seperti terjadi di Citigroup dan Bank of Amerika yang rugi hebat pada akhir 2008. Pengobatan lembaga keuangan tidak mengobati akar persoalan yang adapadanasabahdansektorriil.

Jadi,Obama menggunakan perspektif big picture menyiapkan paket yang lebih besar. Kemungkinan membuka big picture terjadi karena pada November 2008,rakyat AS telah memutuskan untuk memilih Barack Obama,yang berarti menyetujui perspektif yang dipakainya. Perdebatan kemudian berlangsung di House for Representatives, membahasrancanganyangdikembangkandi Senat.

Proses politik yang berlangsung untuk mempertajam konsep ekonomi, dan membuatnya matang untuk disepakati.Jika berhasil, konsolidasi masyarakat menjadi produk bersama dengan penyelamat-an ekonomi. Lain halnya proses yang dijalani Indonesia menghadapi krisis ekonomi dunia.Pemerintahan SBY kini telah menyiapkan Rp71 triliun.

Apa bakal ada pengaruhnya mengatasi krisis? Secara ekonomis, ada berbagai pendapat, di antaranya yang menganggap stimulus fiskal tahun 2009 ini tidak akan berpengaruh signifikan bagi pemulihan ekonomi nasional. Hal itu karena 80% dari paket Rp71 triliun itu berupa potongan pajak, sehingga dampak berantainya kecil.

Mungkin lebih signifikan lagi adalah proses mengumpulkan konsensus mengenai stimulus ekonomi 2009. Hampir tidak terdengar ada perdebatan politik mengenai hal ini.Para politikus bicara soal politik, ekonom bicara soal ekonomi. Ada perbedaan. Politikus harus bisa bicara soal ekonomi juga.Sementara ekonom tidak perlu bicara politik, kalau ingin fokus pada penelitian ekonomi.

Bisa jadi penyebab gejala ini adalah kesenjangan pada pendidikan ekonomi dalam pertumbuhan kesadaran orang Indonesia. Sementara pendidikan politik bisa terjadi secara alamiah dari pengalaman. Keadaan ini berlarut-larut karena kepemimpinan nasional tidak menerapkan kekuasaan untuk merancang politik ekonomi yang bermanfaat bagi orang banyak.

Kepentingan orang banyak dinyatakan dalam slogan populer saja. Jika ada komunikasi publik, isinya lebih pada populisme daripada rasio-nalisme.Inilah isu utama dalam Pemilu Presiden kita pada 2009 ini.

Bagus sekali kalau kampanye,para calon presiden memberikan bahan bagi penghayatan masalah nasional. Sayang sekali, di antara calon presiden yang sekarang muncul, secara tidak resmi,tidak ada yang merasakan pentingnya isu ekonomi sebagai bagian diskursus nasional.(*)

Wimar Witoelar


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/211979/
Share this article :

0 komentar: