Korupsi dilegalkan dalam peraturan perundang- undangan.
M ASIH banyak peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum praktik korupsi di Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini menelaah semua peraturan pemerintah yang melegalkan korupsi.
KPK kini mengusut dua korupsi yang dilegalkan. Pertama, kasus korupsi dana abadi umat yang mengalir jauh ke kantong pejabat untuk keperluan tunjangan fungsional, tunjangan hari raya, dan perjalanan dinas.
Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar yang dihubungi Media Indonesia, kemarin, menjelaskan kasus dana abadi umat itu bersumber dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Haji dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama. Dua peraturan yang membuka celah korupsi itu kini ditelaah KPK.
Kasus kedua terkait dengan dugaan korupsi upah pungut pajak yang menyeret pejabat di Departemen Dalam Negeri dan pejabat di DKI Jakarta.
Menurut Haryono, peraturan perundangan terkait dengan upah pajak memberi peluang untuk praktik korupsi. Karena itu, kata dia, KPK menelaah Undang-Undang Pajak dan Retribusi, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2002, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35-36 Tahun 2002.
Dalam Pasal 76 Peraturan Pemerintah (PP) 65/2001 disebutkan, dalam kegiatan pemungutan pajak, daerah dapat diberi biaya pemungutan paling tinggi 5%. PP itulah diturunkan menjadi Keputusan Mendagri Nomor 27 Tahun 2002 tentang Pedoman Alokasi Biaya Pemungutan Pajak Daerah dan Keputusan Mendagri Nomor 35-36 Tahun 2002.
Sesuai kepentingan Kedua keputusan mendagri itu menyebutkan upah pungut diterima tim pembina pusat, yaitu Menteri Dalam Negeri dan kepolisian, serta pimpinan instansi atau lembaga penunjang yang bersangkutan. Hasil ekspose internal KPK ditemukan bahwa upah pungut diambil 5% dari total pajak yang dipungut. Akan tetapi, sebanyak 70% dari 5% tersebut justru me ngalir jauh ke kantong pejabat. Petugas pemungut pajak hanya mendapatkan 30% dari 5% total pajak yang dipungut.
Peraturan mendagri itu kemudian diturunkan menjadi peraturan daerah dan peraturan gubernur, antara lain Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 28 Tahun 2005 dan Nomor 118 Tahun 2005. Dalam dua peraturan gubernur itu disebutkan upah pungut pajak di DKI Jakarta sebesar 3,75%. Namun, 5% dari 3,75% itu untuk anggota DPRD.
Upah pungut pajak di Provinsi Nusa Tenggara Timur diatur melalui Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2002. Upah pungut pajak di provinsi miskin itu malah dialokasikan juga untuk pejabat pemerintah pusat.
Peraturan perundang-undangan yang koruptif itu, menurut hasil analisis Prof Hikmahanto Juwana dari Universitas Indonesia, bersumber dari bahasa undang-undang yang multitafsir. "Pejabat menafsirkan undang-undang sesuai dengan kepentingan," katanya.
Berdasarkan hasil kajian Hikmahanto Juwana, undangundang di bidang ekonomi yang berpotensi ditafsirkan sesuai dengan kepentingan pejabat sehingga membuka ruang praktik korupsi adalah UU Perseroan Terbatas, UU Pasar Modal, UU Hak Tanggungan, UU Dokumen Perusahaan, UU Kepailitan, UU Perbankan, UU Persaingan Usaha, UU Jasa Konstruksi, UU Bank Indonesia, UU Lalu Lintas Devisa, dan UU Telekomunikasi.
Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Bibit Samad Riyanto menambahkan, ada lima potensi masalah penyebab korupsi, yaitu sistem, integritas moral, penghasilan, aparat pengawasan, dan belum adanya budaya taat hukum. Aturan yang melegalkan korupsi bermula dari peraturan menteri yang diturunkan menjadi peraturan gubernur dan peraturan daerah. "KPK minta agar peraturan-peraturan itu dicabut," kata Bibit. (Tim/X-8) mayapuspita@ mediaindonesia.com
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/02/02/ArticleHtmls/02_02_2009_001_006.shtml?Mode=1
Pemerintah Harus Cabut Peraturan Koruptif
Written By gusdurian on Senin, 02 Februari 2009 | 10.12
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar