BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » MSG (Politik Tukang Bakso)

MSG (Politik Tukang Bakso)

Written By gusdurian on Kamis, 12 Februari 2009 | 13.24

Lobi
MSG (Politik Tukang Bakso)
Qaris Tajudin

Setiap hari, ada dua penjual bakso yang lewat di depan rumah saya. Satu bakso malang, yang satu lagi entah apa "merek"-nya. Yang jelas, rasa kedua bakso itu tidak berbeda jauh, 11-12-lah. Padahal tempat produksi keduanya berbeda, kokinya pun tidak sama. Lalu apa yang membuat rasa bakso mereka--dan juga rasa bakso hampir di seantero Nusantara--tidak berbeda? Jawabnya: MSG.

MSG atau monosodium glutamate adalah penyedap rasa. Tugasnya memperkuat rasa pada makanan. Meski menyedapkan, ada yang curiga akan efek sampingnya pada kesehatan. Saya pernah benar-benar bersih dari MSG. Tidak hanya membuangnya dari daftar bumbu di rumah, tapi juga menolaknya hadir di mangkuk bakso atau mi ayam yang saya beli di warung.

Alasan pertama melakukan itu, tentu, soal kesehatan. Tapi belakangan saya menyadari keuntungan lain. Tanpa MSG, saya mendapatkan rasa bakso yang beragam. Kok bisa? Ya bisa, karena, dengan MSG, semua makanan rasanya menjadi seragam. Dengan MSG, kita tidak bisa lagi membedakan antara martabak telur bandung dan bangka, bakso malang dan solo. Semua rasanya sama. Kegurihan yang ditimbulkan MSG begitu dominan hingga menutupi rasa bumbu aslinya. Tanpa MSG, ketahuan aslinya.

Lalu kenapa saya harus bicara soal bakso dan martabak di sini? Sebab, saya melihat panggung politik Indonesia saat ini tak berbeda dengan rasa bakso di seluruh Nusantara: sama saja! Bahkan, saat kampanye, kita tidak bisa membedakan keunggulan satu politikus dengan politikus lainnya.

Kalau tidak percaya, coba dengar janji, visi, dan program mereka. Mau datang dari partai apa pun, tua atau muda, ganteng atau pas-pasan, pria atau wanita, sama saja: pendidikan gratis, peningkatan kesejahteraan, penambahan lapangan kerja.

Kenapa bisa sama? Karena yang mereka umbar bukan visi atau program orisinal. Dalam istilah kuliner, bukan bumbu asli. Yang mereka umbar adalah penyedap rasa alias bumbu gadungan. Buatan. Tidak alami. Dan terbukti, saat pemilihan umum kelar, tidak ada yang berubah. Tidak membuat kita lebih baik. Seperti makan junk food yang kebanyakan penyedap: tidak membuat kita sehat.

Lalu kenapa para politikus itu harus memakai penyedap rasa? Ada dua kemungkinan. Pertama, mereka tidak percaya diri dengan "masakan" asli mereka. Mereka ragu apakah program dan visi cerdas mereka akan dipahami dan disukai rakyat. Inilah alasan yang sama saat saya bertanya kepada salah seorang tukang bakso, kenapa harus memakai MSG padahal baksonya ternyata enak tanpa penyedap: "Kalau nggak pakai micin, nanti nggak laku, Mas."

Kedua: "masakan" para politikus itu memang tidak enak atau mungkin tawar. Dalam artian, program dan visi mereka tidak menarik hingga perlu ditutupi janji kosong dan program generik. Itu kalau memang mereka punya visi dan misi. Bahkan mungkin sebagian besar justru tidak memiliki program terperinci tentang apa yang akan mereka lakukan jika nanti menjadi wakil rakyat. Lalu yang terjadi adalah copy-paste program umum yang bisa dipakai kapan pun: penyedap rasa itu.

Lalu apa ruginya? Jelas, kita dirugikan. Kebanyakan penyedap rasa dalam politik membuat otak kita bermasalah. Kita sudah susah memakai logika yang lurus dalam berpolitik. Ada proses pembodohan. Selain itu, rasa yang terlalu gurih atau janji yang terlalu manis membuat kita muak. Pingin muntah. Kalau sudah begini, rasanya lebih baik tidak membeli bakso (golput). Kecuali, tentunya, jika ada politikus yang dengan percaya diri menampilkan program-program orisinal dan jelas. Yang mak nyus dan nyata sehatnya. Dalam bahasa kuliner, kita butuh sesuatu yang organik.



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/10/Nasional/krn.20090210.156355.id.html
Share this article :

0 komentar: