Meninggalnya Abdul Aziz Angkat
Berita Duka untuk Demokratisasi
Berita meninggalnya Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat merupakan duka memilukan untuk demokratisasi di Indonesia. Terlepas dari benar atau tidaknya hasil visum yang menyebutkan almarhum meninggal karena serangan jantung, semua orang tahu bahwa pemicu penyakit itu adalah tindakan aksi demonstrasi rakyat anarkis dan kriminal.
Musibah yang menimpa kader Partai Golongan Karya itu bukanlah satu-satunya korban penegakan demokrasi di Nusantara ini. Sejarah gerakan sosial mencatat, banyak jiwa, raga, harta, dan martabat manusia yang terampas atas alasan demokrasi.
Sebut saja, misalnya, pejuang buruh Marsinah, wartawan Bernas Udin, pejuang HAM Munir, dan korban-korban lain dalam tragedi PKI, Semanggi, Lampung, Aceh, Ambon, Maluku, Papua, Waduk Kedungombo, Waduk Nipah (tidak dilanjutkan pembangunannya), Kalibakar, dan Tapos. Mereka hanyalah sebagian kecil di antara banyak tumbal proses demokratisasi di tanah air kita.
Atas dasar itu, haruskah kita hentikan proses demokratisasi tersebut? Jawabnya, no way, tidak. Demokrasi itu baik, benar, dan netral. Karena itu, demokrasi harus tetap dan terus jalan.
Sesungguhnya demokrasi adalah sistem ideologi, ilmu pengetahuan, dan teori tentang tata kehidupan dunia yang sudah sesuai dengan asbabun nuzul didirikannya negara melalui proses kontrak sosial dengan rakyat. Jika begitu, apa yang salah?
Ibarat kendaraan, yang salah ialah pengendaranya. Ibarat wayang kulit, yang salah bukan script-nya, tetapi ekspresi yang menyimpang dan keterlaluan dari sang dalang karena tidak patuh kepada pakem, melainkan lebih mengikuti vested interest pribadinya sendiri.
Bias Teori
Sikap dan tindakan manusia memang tidak harus mengikuti jalan teori. Penyimpangan atas teori sah-sah saja terjadi, asalkan semua itu justru dapat mendorong dan sekaligus membawa praktik kehidupan yang lebih positif. Tetapi, bias teori yang teramati dalam masyarakat Indonesia sudah tergolong aneh. Setidaknya lucu.
Sedikit contoh dapat kita simak dalam kasus-kasus di bawah ini. Dalam komunikasi pembangunan, ada teori tentang tahapan perilaku, yakni KAB (knowledge, attitude, behavior). Artinya, sebelum orang itu berperilaku, semestinya mereka memiliki pengetahuan dulu, lalu terbentuk sikap, baru kemudian diwujudkan dalam perilaku. Teori ini tidak berlaku di masyarakat kita. Urutan yang terjadi ialah mengikuti prinsip 3 sa: dipaksa, terpaksa, biasa. Dipaksa pakai helm, terpaksa pakai helm, biasa pakai helm. Dipaksa disiplin, terpaksa disiplin, biasa disiplin. Dipaksa salat, terpaksa salat, biasa salat.
Dalam bidang pemeliharaan keberlangsungan organisasi, per teori dianjurkan agar setiap anggota organisasi yang mengetahui penyimpangan harus secara cepat turut berpartisipasi untuk menghentikan penyakit organisasi tersebut. Prinsip itu juga tidak berlaku di masyarakat kita. Orang-orang yang berani ''mengontrol'' borok organisasi secara objektif justru dianggap vokal, oposan, dan trouble makers.
Sebaliknya, dengan alasan stabilitas organisasi dan perlindungan terhadap anak buah, para parasit organisasi itu tetap saja dipertahankan.
Contoh lain juga bisa kita temukan di bidang praktik keberagamaan. Orang-orang yang mempraktikkan agamanya sesuai dengan nilai-nilai juga tidak jarang disebut radikal, fundamental, atau ekstrem kanan. Padahal, merekalah sebenarnya yang benar menurut nilai agamanya.
Belum lagi evidensi-evidensi sosial lain, misalnya, pemilu. Rakyat kita itu akan lebih cenderung memilih partai dan atau caleg yang mampu memberikan ''berjuang'' (beras, baju, dan uang) yang banyak daripada mereka yang sudah jelas-jelas memiliki rekam jejak akhlak-moral terpuji, tetapi tidak mampu memberikan ''berjuang''.
Banyak hal yang dapat dikemukakan untuk menduga kenapa masyarakat kita memiliki karakter yang ganjil. Di antaranya, barangkali, karena kita sering lupa prinsip bahwa damai itu indah.
Masyarakat kita bukan tidak mencintai damai. Sangat dapat dipercaya bahwa rakyat Indonesia itu lebih mencintai jalan kasih, bijaksana, harmoni, dan damai daripada cara-cara konflik. Namun, prinsip-prinsip kehidupan semacam itu hanya diingat dan dipakai dalam suasana yang normal saja.
Sebaliknya, dalam situasi dan kondisi yang tidak normal, masyarakat cenderung melupakan. Emosinya sering tidak terkendali sehingga tindakannya tidak terkontrol oleh nilai dan norma yang sehat. Kasus meninggalnya ketua DPRD Sumatera Utara dapat dijelaskan dengan watak sosial tersebut.
Dalam hal ini, karena hilang ingatan normal, maka semua orang yang tidak sejalan dengannya dianggap sebagai musuh yang harus disingkirkan. Perilaku kesetanan politik semacam itu masih sering mencederai praktik demokrasi kita.
Penguatan Civil Society
Dengan memperhatikan premanisme dalam praktik demokrasi sebagaimana dikemukakan di atas, maka pilar utama demokrasi, yakni partai politik, pers, dan kampus harus secara determinan ikut mengambil tanggung jawab demi membawa demokrasi kembali ke jalan yang benar.
Ketiga penyangga utama demokrasi itu harus menyinergikan kekuatannya, bahu- membahu memberikan warna demokrasi Indonesia secara jelas dan terarah. Sejauh ini, ketiganya terkesan jalan sendiri-sendiri dengan urusan masing-masing, dan terlalu sibuk dengan urusan penumpukan economic capital semata.
Program reparasi demokrasi dapat dilakukan ketiga elemen utama tersebut melalui langkah-langkah penguatan civil society, yakni wilayah yang dapat menjamin berlangsungnya perilaku atau tindakan, dan refleksi mandiri (tidak terkungkung), suatu ruang partisipasi yang bebas yang mampu menciptakan keseimbangan antara hak dan kewajiban rakyat.
Meskipun ketiga pilar demokrasi itu juga bagian dari civil society, secara faktual mereka lebih memiliki strong power dan bargaining position yang jauh lebih dahsyat jika dibandingkan dengan organisasi masyarakat sipil lainnya yang banyak tersebar di masyarakat kita.
Struktur, lingkungan, dan nilai-nilai civil society perlu dirumuskan, diyakini, dan dipraktikkan atas dasar kesadaran yang tinggi untuk bersama-sama membawa Indonesia menjadi kawasan yang menenteramkan bagi setiap penghuninya.
Kita memang sudah mempraktikkan sistem demokrasi sejak Indonesia merdeka, namun nilai-nilai civil society seperti: toleransi, transparansi, anti kekerasan, kesetaraan gender, cinta lingkungan, pluralisme, keadilan sosial, ruang bebas partisipasi, dan humanisme ternyata masih seperti pepatah jauh api dari panggangnya.
Terakhir, sikap yang harus didorongkan ketiga pilar demokrasi tersebut kepada masyarakat sipil adalah agar mereka mengubah paradigma lamanya, dari yang terlalu menggantungkan nasib kepada negara dan pasar diubah menjadi bagian yang betul-betul mandiri. Kian rendah ketergantungan rakyat kepada negara dan pasar, secara teoretis akan semakin merdeka kehidupannya.
*. Dr Wahyudi Winarjo , peneliti gerakan sosial, ketua Center For Peace and Development Studies (CePeDeS), Pascasarjana Unmuh Malang
http://www.jawapos.com/
Meninggalnya Abdul Aziz Angkat
Written By gusdurian on Kamis, 05 Februari 2009 | 09.05
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar