BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Memperkenalkan Wayang Kancil

Memperkenalkan Wayang Kancil

Written By gusdurian on Rabu, 11 Februari 2009 | 13.35

NARA
Ki Ledjar Soebroto
Memperkenalkan Wayang Kancil
Sakit hati karena karyanya pernah diaku buatan orang lain.
SAKIT hati. Dua kata itulah yang paling pas mewakili perasaan Ki Ledjar Soebroto saat ini. Pria 70 tahun yang telah lama bergelut dengan dunia seni tradisional ini merasa dikhianati sesama seniman. Pencipta wayang kancil ini bahkan merasa terasing di negeri sendiri.

"Sedih rasanya kalau mengingat kejadian itu. Sesama dalang kok ya tega berkhianat," kata Ki Ledjar Soebroto saat ditemui di rumahnya yang juga difungsikan sebagai studio di Jalan Mataram, Yogyakarta, akhir pekan lalu.

Peristiwa itu memang sudah berlalu, tepatnya pada Pekan Wayang keenam di Jakarta pada 1993. Saat itu, wayang kancil hasil kreasi Ki Ledjar yang dipamerkan di Museum Wayang Taman Mini Indonesia Indah--tempat pekan wayang itu digelar--justru diberi label buatan orang Cina bernama Bo Liem yang dibuat pada 1925.

Kesedihan Ki Ledjar makin bertambah manakala ia mengetahui wayang kancil yang dipajang di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, juga dilabeli buatan Bo Liem pada 1925. Padahal, nama Ledjar dalam huruf Jawa jelas-jelas tertera pada anak wayang yang dipajang di museum itu.

Wayang kancil diciptakan oleh Ki Ledjar pada 1980 sebagai ungkapan keprihatinannya terhadap merosotnya minat anak muda pada seni pewayangan. Ia sengaja membidik kalangan anak-anak sebagai sasaran utama mengenalkan wayang sejak dini. Ki Ledjar mengangkat cerita Kancil yang sudah sangat populer di kalangan anak-anak, sekaligus membuat anak wayangnya.

Ki Ledjar benar-benar memulai dari nol saat membuat wayang kancil. Penciptaan itu diawali dengan membuat sketsa tokoh-tokoh cerita kancil, mulai dari tokoh utama kancil, kurungan, anjing, hingga petani. Kemudian ia memindahkan sketsa tokoh-tokoh itu ke atas lembaran kulit kerbau, ditatah, diwarnai, dan diberi penjepit dari tanduk kerbau layaknya wayang kulit pada umumnya.

Menurut Ki Ledjar, sejumlah literatur kuno memang menyebut pernah ada wayang kancil Bahuwarno kreasi Raden Mas Said. Tapi wayang itu tak meninggalkan jejak.

Pentas pertama wayang kancil digelar Ki Ledjar di Gelanggang Mahasiswa UGM pada Mei 1980 dengan lakon Kancil Nyolong Timun. Setelah itu, Ki Ledjar rajin "mengganggu" dalang-dalang wayang kulit yang juga rekan-rekan seprofesinya. Setiap ada pementasan wayang kulit, Ki Ledjar selalu meminta waktu sekitar 30 menit untuk mementaskan wayang kancil. Pentas biasanya berlangsung sebelum pergelaran wayang kulit dimulai, sekaligus memberi hiburan bagi anak-anak.

Keterampilan mendalang Ki Ledjar diperoleh dari Ki Narto Sabdo, dalang kondang yang kini sudah almarhum. Sejak 1956, Ledjar menjadi srati (petugas yang menyiapkan anak wayang yang akan dipentaskan) pada setiap pementasan wayang kulit Ki Narto Sabdo.

Usaha Ki Ledjar memperkenalkan wayang kancil tak sia-sia. Wayang hasil kreasinya itu akhirnya tak hanya dikenal di Indonesia, tapi juga mulai diminati orang asing. Wayang kancil buatan Ki Ledjar dipajang di sejumlah museum di luar negeri, misalnya Ubersee Museum (Bremen, Jerman), Volkenkundig Museum (Groningen, Belanda), Museum of Anthropology (Kanada), dan Museum Westfreis (Hoorn, Belanda). "Wayang kancil juga telah menghasilkan puluhan skripsi dari berbagai perguruan tinggi," tutur Ki Ledjar.

Sukses dengan wayang kancil, Ki Ledjar mulai mencoba kreasi baru. Pada 1987, ia menciptakan wayang VOC atau wayang Sultan Agung. Pada 2007, ia menciptakan wayang revolusi yang menceritakan kejadian Agresi Belanda II di Indonesia. Ki Ledjar menciptakan 25 tokoh untuk wayang revolusinya itu. Baik wayang VOC, wayang Sultan Agung, maupun wayang revolusi kini telah dikoleksi sejumlah museum di Belanda. Bahkan pada Mei tahun lalu Ki Ledjar diundang ke Belanda untuk mementaskan wayang VOC di Pasar Malam Tong-Tong.

Ia mengaku bangga bila wayang kreasinya diminati orang asing dan menjadi koleksi sejumlah museum di luar negeri. Tapi di sisi lain ia sedih karena justru orang asing yang mau menghargai jerih payahnya itu.

Meski merasa terasing di negeri sendiri, beberapa penghargaan pernah ia peroleh. Pada 1997, ia mendapat penghargaan seni dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Tahun lalu, ia juga mendapat penghargaan dari Wali Kota Yogyakarta dan menjadi tokoh terpilih di bidang seni dan budaya.

Tapi, walaupun karyanya telah dikoleksi sejumlah museum di luar negeri, kehidupan sehari-hari Ki Ledjar masih jauh dari kemewahan. Bersama sang istri, Karjiyah, yang dinikahinya pada 1962, Ki Ledjar menopang hidupnya dengan mengandalkan art shop di Jalan Mataram DN I/198 yang juga dijadikan sebagai tempat tinggal. Undangan manggung sudah jarang ia terima. "Setahun paling hanya dua atau tiga kali,: tuturnya.

Sesekali Ki Ledjar menerima pesanan wayang wajah dari turis-turis asing yang mampir ke rumahnya."Beberapa turis asing yang mampir ke sini meminta dirinya dibuat wayang," ujarnya. Untuk satu anak wayang wajah ukuran 50 sentimeter dan terbuat dari kulit kerbau, Ki Ledjar memasang harga Rp 750 ribu.

Meski jarang menerima pesanan wayang wajah, Ki Ledjar masih bersyukur. Dengan karyanya itu, roda perekonomian rumah tangganya tetap berputar. HERU CN



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/11/Berita_Utama-Jateng/krn.20090211.156415.id.html
Share this article :

0 komentar: