BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kesehatan untuk Semua

Kesehatan untuk Semua

Written By gusdurian on Jumat, 13 Februari 2009 | 12.49

Sugeng Bahagijo

Penuhilah kebutuhan kesehatan warga negara dan Anda akan memenangi pemilu.

Tidak percaya? Dalil ini dibuktikan Obama. Sekitar setahun sebelum pemilu, rencana kesehatan Obama dinilai sebagai yang terbaik, bahkan lebih baik daripada rencana milik calon presiden AS dari Republik, termasuk John McCain, rival utamanya.

Dari segi cakupan (untuk semua), pendanaan, pilihan konsumen, dan kemudahan pengelolaan (administrative simplicity), rencana kesehatan Obama lebih unggul (Collins dan Kriss, 2008).

Obama merancang sistem asuransi kesehatan bagi semua warga AS. Bagi 47 juta warga yang hari ini tidak terlindungi, Obama menyediakannya. Caranya, semua anak AS wajib dilindungi asuransi kesehatan dan semua orang dewasa wajib memilikinya. Bagi yang tidak mampu, pemerintah akan membayar preminya. Dananya berasal dari model campuran dari iuran perusahaan, dana pemerintah federal, dan negara bagian plus iuran peserta bagi yang mampu (mixed private-public group insurance).

Bagaimana Indonesia? Lima tahun pasca-Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) 2004, yang hendak menata ulang jaminan kesehatan, kita belum mendengar rencana para calon presiden untuk mempercepat pelaksanaan SJSN. Tujuh bulan menjelang pemilu presiden, kita juga belum melihat rencana kesehatan yang rinci dan kredibel, yang oleh pemilih dapat dinilai, didukung, atau ditolak.

Kesehatan Indonesia

Meski lima tahun terakhir pertumbuhan ekonomi bagus, kinerja kesehatan Indonesia masih tertinggal. Tahun 2008, anggaran kesehatan hanya 2,49 persen dari APBN. Tahun 2009, anggaran kesehatan naik ke 2,8 persen dari total APBN, sementara standar WHO sebesar 15 persen (Kompas, 6/1/2008). Bila harus memilih, mestinya kesehatan lebih utama ketimbang pendidikan yang meraup anggaran 20 persen.

Wajar jika kinerja kesehatan masih tersisih. Angka kematian ibu masih tinggi dan diperkirakan Indonesia akan gagal meraih target MDGs 2015. Meski kini Indonesia ramai dengan rumah sakit internasional, kita juga disodori berita seperti meninggalnya Muhammad Reinaldi (lima bulan) di Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Ia dipulangkan sesudah dirawat selama 29 hari karena orangtuanya tidak mampu membayar biaya perawatan (Berita Kota, 1/11/2008).

Ketimpangan hak atas kesehatan akan berlanjut jika perubahan tidak dilakukan. Ketiadaan asuransi sosial menjadi sebab. Lindhental (2004) mencatat, dari 210 juta lebih penduduk, hanya 17 juta jiwa yang terlindungi asuransi kesehatan. Apalagi praktik yang ada membolehkan penyedia pelayanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas, dokter) menarik biaya dari pengguna tanpa batasan. Pemerintah daerah bahkan menggunakan pendapatan ini sebagai sumber utama pendapatan asli daerah ketimbang pajak jasa restoran dan usaha hiburan. Ini tidak lain pajak regresif bagi yang lemah (GTZ, 2008).

Guru besar kesehatan masyarakat UI, Hasbullah Thabrany, menunjukkan, yang terjadi adalah you get what you pay for, akses atas jasa kesehatan ditentukan daya beli dan pendapatan. Padahal, daya beli dan pendapatan rata-rata keluarga Indonesia masih setingkat UMR. Pasar kesehatan dan usaha swasta kesehatan dapat dibenarkan asal akses bagi yang lemah menjadi mudah dan kinerja kesehatan nasional tidak inferior. Patut diingat, derajat kesehatan sebuah bangsa bukan ditentukan besaran kue ekonomi, tetapi distribusi kue ekonomi. Itulah hasil kajian kinerja kesehatan antarbangsa oleh Norman Daniels, guru besar Universitas Harvard (2001).

Pengalaman Asia Timur

Berkaca pada pengalaman Asia Timur, ada kaitan positif antara demokratisasi politik dan derajat kesehatan di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Di Jepang, sejak LDP pecah, kompetisi partai politik kian ketat. Merebut hati pemilih dan warga negara tidak lagi bisa diandalkan pada prestasi masa lalu. Parpol kian merasakan, mereka perlu tampil dengan kebijakan sosial bagi semua lapisan sosial (Wong, 2008). Kompetisi politik ketat itu mendesak perubahan dari pendekatan targeting dengan anggaran minimal menjadi pendekatan universal dan anggaran maksimal.

Di Indonesia, terbitnya UU SJSN 2004 tentang jaminan sosial tak bisa disangkal merupakan karya politik, dengan PDI-P dan Golkar sebagai sponsor utama. UU ini digodok sejak 2002 dan tahun 2004, tahun akhir jabatan Presiden Megawati, DPR mengesahkannya. UU SJSN ini merupakan kemajuan besar karena dilandasi pada konsepsi perlindungan untuk semua, perempuan dan lelaki, kaya dan miskin. Terkandung di dalamnya upaya membagi beban dan manfaat (pooling risks and benefits) antara yang mampu dan tidak mampu. Dengan demikian, ketimpangan sosial ekonomi dikurangi.

Menjelang pemilu presiden Agustus 2009, kita menanti apa dan bagaimana rincian kebijakan kesehatan para capres. Pemilih mencari jawab bagaimana lapangan kerja diciptakan, pendapatan ditingkatkan, biaya kesehatan dan pendidikan terjangkau. Mereka memerlukan sedikit citra dan retorika. Selebihnya, yang dicari adalah kenyataan.

Sudah saatnya para capres menjawab. Misalnya, mengapa kita pelit dalam alokasi anggaran kesehatan. Apakah ini akan dipertahankan? Benarkah Jamkesnas akan dilanjutkan? Bagaimana dengan mereka yang tidak tercakup Jamkesnas?

Sugeng Bahagijo Associate Director Perkumpulan Prakarsa



http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/02/00274219/kesehatan.untuk.semua
Share this article :

1 komentar:

Anonim mengatakan...

thanks ya infonya !!!

www.bisnistiket.co.id