BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Harga Keekonomian dan Transportasi Perdagangan

Harga Keekonomian dan Transportasi Perdagangan

Written By gusdurian on Jumat, 13 Februari 2009 | 12.41

Sekarang adalah momentum bagi rakyat untuk mendesak regulator (pemerintah) dan dunia usaha mengoreksi harga aneka barang di dalam negeri,utamanya harga produk pertanian dan produk manufaktur.


Juga momentum yang tepat untuk melancarkan desakan mengoreksi aneka tarif jasa, terutama tarif transportasi. Kita harus ingat pentingnya menurunkan harga aneka barang hingga ke level harga keekonomiannya. Kalau akhir-akhir ini pemerintah berusaha menjual premium dan solar pada harga keekonomian, pemerintah juga harus bekerja keras membenahi sistem transportasi perdagangan dalam negeri.

Itu agar harga aneka barang yang dibayar rakyat riil harga keekonomian, baik produk manufaktur maupun produk pertanian. Bukan harga tinggi akibat moral hazard para birokrat dan “raja-raja kecil”di jalan raya. Harga keekonomian adalah hakikat, karena di dalamnya terkandung keadilan atau fairness bagi produsen, negara, dan konsumen.

Harga keekonomian juga mencerminkan adanya proteksi terhadap konsumen oleh negara yang mengadopsi mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas yang berasaskan transparansi, harga keekonomian mestinya lebih mudah diwujudkan.

Apalagi, para produsen dan penyedia jasa bersaing begitu ketat dengan membangun proses produksi dan pemasaran yang efisien agar bisa menjual dengan harga kompetitif atau murah.Harus ada transparansi agar terbangun kompetisi sehat dan jauh dari moral hazard.

Harga yang kita bayar setiap kali membeli kebutuhan pokok atau produk manufaktur di pasar dalam negeri belum mencapai level harga keekonomian, bahkan terbilang sangat mahal. Sebabnya sistem transportasi perdagangan kita sarat dengan praktik moral hazard akibat ketiadaan sistem dan standar tarif.

*** Bangunan struktur harga kita memang di luar kelaziman. Harga dibentuk oleh biaya tumpang tindih peraturan pemerintah pusat-daerah, perilaku korup oknum regulator,dan “diterimanya” praktik hukum rimba oleh preman di jalur transportasi perdagangan.

Singkatnya, dalam harga yang kita bayar untuk setiap produk pertanian/perkebunan maupun barang manufaktur, kita “dipaksa” mengongkosi inkompetensi pemerintah dalam membuat dan mengharmonisasi peraturan pusat dengan daerah. Biaya distribusi dan transportasi perdagangan idealnya hanya berkisar 6–12% dari harga jual sebuah produk di pasar.Kelaziman itu tidak berlaku di Indonesia.

Biaya transportasi perdagangan di Indonesia tercatat paling mahal. Sebab, biaya transportasi perdagangan untuk produk manufaktur mencapai 18–20% dan rata-rata 38% untuk produk pertanian/perkebunan. Sejak harga BBM mahal, biaya transportasi perdagangan produk pertanian/ perkebunan bahkan sudah mencakup 40% dari harga jualnya di pasar.

Belum ada standar tarif resmi untuk transportasi perdagangan.Tarif ditentukan oleh operator angkutan barang tanpa patokan yang jelas. Sepanjang perjalanan menuju pasar, transportasi perdagangan dibebani lagi dengan biaya siluman di pos-pos penimbangan serta pungutan liar oleh preman jalanan.

Penyimpangan akut pada mekanisme transportasi perdagangan itu menjadi pembenaran bahwa rakyat selama ini membayar harga barang jauh di atas level harga keekonomian. The Asia Foundation bekerja sama dengan Lembaga Pengembangan Ekonomi dan Masyarakat-Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI) memublikasikan temuan mereka terkait masalah ini pada April 2008.

Studi yang fokus pada masalah biaya angkutan barang di Indonesia itu didukung Canadian International Development Agency (CIDA) dan Bank Dunia. Rangkaian survei komprehensif di sembilan rute angkutan barang di dalam negeri itu membuahkan laporan tentang “Biaya Transportasi Barang: Angkutan, Regulasi, dan Pungutan Jalan di Indonesia”.

The Asia Foundation-LPEM-FEUI berkesimpulan,biaya angkutan jalan yang mahal dan tidak pasti menjadi salah satu hambatan terbesar bagi pembangunan di Indonesia. Kesimpulan seperti ini mengacu pada hasil penelitian biaya perizinan, pungutan di jalan, dan berbagai pengeluaran akibat buruknya prasarana jalan.

Survei ini berhasil mengidentifikasi siapa yang mengenakan pungutan kepada para sopir, di mana pungutan itu dikenakan, dan berapa besar pungutannya. Kesimpulan lain, dibandingkan negara lain di Asia atau dunia pada umumnya, daya saing perdagangan Indonesia dirugikan oleh banyaknya pungutan resmi dan tidak resmi serta tingginya biaya angkutan barang.

Untuk beberapa sektor ekspor, total biaya sebelum pengiriman dan angkutan darat dalam negeri mencapai lebih dari 40% dari total biaya logistik dan biaya angkutan. Studi itu juga menggarisbawahi fakta biaya angkutan barang dalam negeri yang begitu tinggi merupakan hambatan besar bagi pertumbuhan di Indonesia.

Biaya logistik di Indonesia lebih tinggi dibandingkan Vietnam, Thailand,Malaysia,dan China. Pemerintah daerah juga menyumbang terjadinya peningkatan biaya dengan mengeluarkan berbagai perizinan dan memberlakukan berbagai retribusi yang merupakan hambatan bagi angkutan barang dalam negeri melalui darat.

Praktik-praktik semacam ini tidak sesuai dengan kerangka hukum nasional. Pemberlakuan retribusi jalan dan pembayaran berbagai bentuk perizinan umumnya,bukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Retribusi semacam ini tidak dimanfaatkan untuk pemeliharaan atau membatasi perdagangan sumber daya alam yang dilindungi.

Namun, semata-mata hanya bertujuan meningkatkan pendapatan pemerintah daerah. Masih menurut studi itu, peraturan mengenai jembatan timbang yang semestinya menyangkut kepentingan publik selalu diabaikan. Hasil studi ini menunjukkan, ratarata 52% truk membawa kelebihan muatan hingga 45% dari beban yang diperbolehkan.

Kelebihan muatan sudah biasa terjadi dan menyumbang pada tingkat kerusakan jalan secara eksponensial. Oknum aparat dan preman memperburuk situasi ini.Pembayaran ilegal untuk oknum aparat dan preman memperburuk persepsi penegakan hukum dan iklim usaha.

*** Bagaimanapun, pembenahan sistem transportasi perdagangan bagi terbentuknya harga keekonomian adalah kewajiban pemerintah. Di dalam kewajiban itu terkandung semangat melindungi dan memperlakukan rakyat dengan seadil-adilnya sekaligus menyempurnakan mekanisme pasar bebas yang terlanjur kita adopsi.

Akhir-akhir ini, pemerintah memburu siapa saja untuk dijadikan wajib pajak dan membidik apa saja untuk dijadikan obyek pajak.Wajar jika kita minta pajak rakyat itu dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk perlindungan dan perlakuan adil dari pemerintah sebagai regulator.

Gunakan pajak rakyat itu untuk membenahi sistem transportasi perdagangan dan mewujudkan harga keekonomian barang. Relevan untuk mengedepankan masalah ini, sebab Departemen Perdagangan masih menyempurnakan RUU Perdagangan sebelum dibahas antardepartemen dalam waktu dekat ini.

RUU Perdagangan yang telah dibahas sejak 1996 itu akan diajukan ke DPR. Kepada perancang RUU perdagangan, kita titip pesan tentang urgensi membenahi sistem transportasi perdagangan dan urgensi mewujudkan harga keekonomian komoditas kebutuhan pokok rakyat serta produk manufaktur.(*)

Bambang Soesatyo
Ketua Umum ARDIN Indonesia,
Ketua Komite Tetap Perdagangan Dalam Negeri
Kadin Indonesia


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/210320/
Share this article :

0 komentar: