BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Catatan untuk Gubernur BI

Catatan untuk Gubernur BI

Written By gusdurian on Kamis, 12 Februari 2009 | 13.00

Catatan untuk Gubernur BI

Investment Banking dan Hedge Fund

Oleh Herry Juliartono *

Pernyataan Gubernur BI Boediono di depan banker pada acara tahunan Bankers Dinner mengenai model bisnis perbankan yang ideal untuk Indonesia di tengah tsunami krisis keuangan dan ekonomi yang mengguncang dunia saat ini, sangat menarik dicermati.

Dengan kredibilitas posisinya sebagai banker utama Indonesia, Boediono memaparkan analisisnya terhadap konstelasi krisis keuangan yang sudah menyeret banyak negara maju ke jurang resesi ini dan berujung pada pentingnya Indonesia untuk lebih berkonsentrasi pada model narrow banking dan menghindari model universal / investment banking.

Wacana utama yang dicoba dikemukakan gubernur BI adalah pentingnya perbankan Indonesia kembali ke khittah, yaitu sebagai intermediary dalam fungsi keuangan, khususnya dalam menunjang aktivitas ekonomi riil.

Singkatnya, perbankan diingatkan dan diarahkan untuk selalu prudent mengelola risiko yang secara inheren melekat pada kepercayaan dan dana masyarakat yang mereka terima.

Memang begitulah seharusnya semua bank di dunia ini dioperasikan dan diawasi, mengingat dalam konteks ekonomi modern sekarang ini, kepercayaan dan dana merupakan dua modal utama yang menjadi urat nadi sekaligus menunjang bangunan perekonomian secara keseluruhan.

Namun, dalam paparan itu Boediono terkesan terlalu menyederhanakan masalah dan justru bisa mengebiri fleksibilitas fungsi intermediary perbankan itu sendiri. Memang, bila hanya diterapkan dalam model commercial banking sederhana, ikhtiar kembali ke khittah itu sangat benar dan optimal.

BPR dan bank umum, khususnya bank non-devisa, dalam melayani para nasabah memang menjalankan fungsi dasar ini. Penerimaan dana masyarakat dikelola dan disalurkan kepada debitor kecil dan menengah pelaku ekonomi riil setelah mempertimbangkan bobot risiko tertimbangnya secara seksama.

Hanya, seiring dengan perkembangan kebutuhan pendanaan untuk tetap bisa menggerakkan ekonomi riil ke depan, khususnya debitor besar dan konglomerasi, keberadaan model narrow banking sangat jauh dari memadai. Di sinilah terjadinya kontradiksi dalam paparan Boediono.

Merger dan Ekspansi

Pada dasarnya investment banking menjalankan fungsi yang tidak banyak berbeda dengan narrow banking, yaitu menjadi intermediary dalam fungsi pendanaan. Hal utama yang membedakan keduanya adalah fleksibilitas dan kemampuan dalam mengakses sumber dana itu sendiri, di mana investment banking tidak selalu mengandalkan sumber dana konvensional seperti simpanan nasabah ritel.

Fungsi saling melengkapi inilah yang kiranya mendasari pandangan BI juga dalam forum yang sama setahun lalu dengan menggelindingkan ide universal banking, di mana perbankan dimotivasi untuk menjajaki dan bila mungkin mengembangkan model ini sebagai bagian integral perbankan itu sendiri.

Kebutuhan model investment banking ini sebenarnya tidak terelakkan lagi, mengingat pada skala bisnis tertentu kebutuhan pendanaan untuk mendukung pertumbuhan usaha berada di luar jangkauan kemampuan fungsi konvensional narrow banking.

Pada skala bisnis ini, capital raising-nya biasanya didapatkan dari konsorsium sejumlah lembaga keuangan, pendanaan joint venture, private placement, maupun institutional capital placement dari dana lembaga pensiun.

Dalam kondisi seperti ini biasanya investment banker menjalankan peran pemerantaraan sebagai underwriter, yakni di satu sisi memberikan jaminan atas kepercayaan dan keamanan dana kreditor dan di sisi lain memastikan ketersediaan dana yang sangat vital bagi debitor.

Eksistensi model investment banking ini sebenarnya sudah cukup lama ada dalam ranah operasional ekonomi keuangan. Meski mungkin sebelumnya sudah ada yang menerapkan, catatan sejarah pertama terhadap fungsi model ini adalah apa yang terjadi di bangsal utama University Club di Fifth Avenue 12 Desember 1900.

Malam itu Charles M. Schwab, tangan kanan raja baja AS Andrew Carnegie, mempresentasikan proposalnya untuk mendirikan konglomerasi US Steel Corporation di hadapan John Pierpont Morgan dan 80 calon penyandang dana lainnya.

Schwab dan JP Morgan sadar benar bahwa besarnya skala bisnis ini kala itu (USD 1 miliar), sangat tidak memungkinkan untuk bisa didanai dengan kredit perbankan konvensional. Tetapi, karena prospek bisnis ini sangat menguntungkan, keduanya sepakat mencari alternatif sumber pendanaan.

Singkat cerita, setelah mendiskusikan semua aspek dan kemungkinan secara mendetail, semua pihak yang terlibat puas dengan hasil capital raising-nya. Andrew Carnegie yang hendak pensiun puas mendapat USD 500 juta, sedangkan Schwab sebagai CEO baru senang dengan 5 persen kepemilikan dalam konglomerasi US Steel Corporation. Setelah JP Morgan mengantongi USD 60 juta untuk jerih payahnya sebagai lead underwriter, sisanya menjadi bagian 80 penyandang dana lainnya.

Di sinilah pentingnya eksistensi model ini dalam memfasilitasi kebutuhan pendanaan skala bisnis megamerger, akuisisi, dan ekspansi, yang sering berada di luar kapasitas kemampuan model konvensional narrow banking. Bahkan, dalam perkembangannya, capital raising lewat pasar modal dan keuangan merupakan salah satu alternatif andalan model investment banking.

Hedge Fund dan Regulasi

Dari informasi di Jawa Pos, terkesan Boediono mencampuradukkan antara hedge fund dan investment banking. Meskipun secara riil penyebab munculnya krisis keuangan saat ini adalah lepas kontrolnya Investment Banker Wall Street dalam menerapkan prudential kala menganalisis dan mengambil resiko, kedua model tersebut sangat berbeda dalam prinsip operasinya.

Hedge fund yang selama satu dekade terakhir selalu mempromosikan dirinya sebagai model investasi yang memberikan kepastian hasil (absolute return), memang menjadi kuda Trojan dalam dunia investasi. Pada puncak kejayaannya akhir 2007, di Wall Street saja hedge fund ini mengelola dana miliaran USD.

Karena tidak adanya regulasi yang jelas atas model ini, mereka juga bisa seenaknya bermanuver tanpa perlu takut kena semprit. Lebih parah lagi, dalam praktiknya hedge fund ini memaksimalkan fasilitas derivatif keuangan, yang dengan margin kecil dapat mengontrol aset puluhan kali dan utang (leverage) ini dijadikan aset margin baru untuk mengontrol aset yang ratusan kali lebih besar lagi.

Ketika fenomena besar pasak daripada tiang ini (over-leveraging) membentur dinding, runtuhlah sistem keuangan (beserta confidence) yang dibangun dengan susah payah selama ratusan tahun terakhir. Nahasnya, fungsi hedge fund yang serakah ini dijalankan oleh lembaga investment banking terbesar di dunia, sehingga tidak jarang menimbulkan antipati terhadap model yang sebenarnya baik.

Pahitnya kiris ini memberikan pelajaran yang sangat berharga akan pentingnya menegakkan regulasi dan pengawasan oleh para pemegang otoritas keuangan. Sebab, pasar bebas terbukti tidak bisa self governing seperti yang diyakini selama ini.

* Herry Juliartono, warga Jatim, saat ini menetap di Perth, Australia.

http://jawapos.com/
Share this article :

0 komentar: