Salah satu isu politik yang menjadi wacana publik harihari ini adalah kebijakan afirmasi untuk kaum perempuan. Mulanya substansi kebijakan tersebut berbunyi: setiap partai politik (parpol) diharuskan memberi kuota 30% dalam daftar calon anggota legislatif (caleg) untuk kaum perempuan.
Kita patut menyetujui kebijakan ini dalam rangka meningkatkan partisipasi politik kaum perempuan Indonesia. Sebab, dari 550 anggota DPR periode 2004–2009,hampir semuanya laki-laki. Jumlah perempuannya cuma 12%. Di tingkat DPRD bahkan lebih memprihatinkan: cuma 6–8%. Malah, ada DPRD di tingkat kabupaten yang anggota dewannya minus perempuan. Padahal di negara ini, jumlah penduduk perempuan lebih banyak ketimbang lelaki.
Begitu pun jumlah pemilih perempuan dalam pemilu atau pilkada yang jauh lebih banyak ketimbang pemilih laki-laki. Seiring waktu,muncullah gagasan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar kebijakan ini dikembangkan: bukan hanya di tahapan caleg harus ada minimal 30% perempuan,tetapi juga di tahapan aleg (anggota legislatif) harus ada satu perempuan untuk setiap tiga caleg terpilih (zipper system). Keputusan tersebut menetapkan setiap tiga kursi DPR/DPRD yang diperoleh suatu parpol di sebuah daerah pemilihan (dapil) akan diberikan kepada perempuan yang akan ditetapkan dengan peraturan KPU.
Sampai di sini,secara logis,kita kesulitan untuk mendukungnya menjadi kebijakan publik yang sah. Sebab, di sisi lain, keputusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemilu legislatif menyebutkan bahwa siapa yang akan menjadi anggota legislatif tidak lagi ditentukan parpol berdasarkan nomor urut, melainkan berdasarkan perolehan suara terbanyak.
Itu berarti baik laki-laki maupun perempuan tak hirau nomor urutnya sebagai caleg masuk dalam kategori “nomor jadi” atau “nomor sepatu”, tak ada kaitannya sama sekali dengan peluangnya menjadi wakil rakyat. Berdasarkan itu,yang harus dilihat dalam konteks ini sebagai keutamaan adalah rakyat dan bukan si caleg itu sendiri, baik nomor urutnya maupun jenis kelaminnya (laki-laki atau perempuan).
Inilah bentuk penghormatan Indonesia terhadap rakyatnya bahwa kedaulatan rakyat dalam memilih calon-calon wakilnya di lembaga legislatif sungguh-sungguh dihargai.
Terkait itu,dapatlah dipahami jika ada yang menilai hasil rapat pleno KPU tersebut merupakan “keputusan yang nekat”.Sebab,bukan saja ia bertentangan dengan keputusan MK perihal suara terbanyak dalam penentuan caleg yang berhak menjadi caleg, tetapi juga sekaligus telah melecehkan rakyat selaku pihak-pihak yang memberikan suara dalam pemilu.
*** Kita akui, niat KPU terkait kebijakan zipper system itu amat mulia. Tujuannya pastilah juga amat baik: demi meningkatkan keterwakilan kaum perempuan di pentas politik Indonesia. Namun, niat dan tujuan tidak boleh bertentangan dengan caranya. Artinya, ketiganya harus sama-sama baik sehingga tidak ada pertentangan pada kedua sisinya (antara niat dan tujuan di satu sisi dan cara di sisi lain).
Kita seharusnya juga memahami bahwa esensi kebijakan afirmasi tersebut adalah demi tercapainya kesetaraan kaum perempuan dalam politik.Pertanyaannya, setara dalam hal apa? Tak lain dan tak bukan dalam hal hak berpolitik.Maka,dengan sendirinya hak tersebut juga mencakup kesempatan untuk berpartisipasi politik. Namun, dalam hal pencapaian kedudukan atau jabatan politik, bukankah hal ini terkait erat dengan prestasi?
Artinya, kalau si caleg perempuan itu sendiri kurang berprestasi (yang dalam konteks ini dibuktikan dengan tidak berhasilnya dia mendapatkan suara terbanyak dari rakyat pemilih), apa alasannya untuk menjadikan si caleg perempuan tersebut sebagai wakil rakyat? Jika dipaksakan, demi tercapainya kesetaraan, bukan berarti asas keadilan telah dilanggar? Jadi,hal mana yang harus diutamakan dalam konteks ini?
Kesetaraan atau keadilan? Ini jelas bukan soal kita mendukung atau tidak mendukung peningkatan partisipasi kaum perempuan dalam politik. Namun, karena konteksnya adalah pemilu dan pemilu identik dengan suara rakyat, rakyatlah yang seharusnya dijadikan keutamaan. Rakyatlah yang harus lebih dipandang.Artinya, biarlah kita semua betul-betul menghormati pilihan rakyat. Ingatlah, ini pesta (milik) rakyat dalam berdemokrasi.
Lagipula, jika caleg perempuan yang terpilih menjadi wakil rakyat nanti kian bertambah persentasenya, sungguhkah itu patut dijadikan ukuran bagi kemajuan demokrasi Indonesia? Agaknya tidak. Sebab, yang utama dan patut dijadikan ukuran dalam konteks ini adalah meningkatnya kesadaran masyarakat dalam memandang peran dan hakhak kaum perempuan.
Artinya, masyarakat harus disadarkan akan keniscayaan kesetaraan gender bahwa laki-laki dan perempuan setara dalam hak dan kesempatan.Jika kesetaraan gender telah diakui, niscaya keterwakilan politik perempuan di pentas politik pun meningkat seiring waktu. Sebaliknya jika tidak,dikhawatirkan meningkatnya keterwakilan politik perempuan di parlemen tak lebih dari ”politik reklame”: upaya mencitrakan kepada dunia bahwa kaum perempuan Indonesia telah mengalami kemajuan secara politik.
*** Itulah fenomena politik modern yang semu: demokrasi yang tidak sungguh-sungguh demokratis. Menurut Jeff Haynes dalam Democracy and Civil Society in the Third World Politics and New Political Movement (1997), fenomena tersebut tak lebih dari“demokrasi permukaan”(façade): tampak luarnya saja yang makin demokratis, tapi substansinya masih jauh dari demokrasi yang ideal. Jadi, demi keadilan bagi rakyat selaku pemberi suara dalam pemilu, biarlah gagasan tentang zipper system di tingkat caleg itu dikaji ulang.
Sekali lagi, ini bukan soal mendukung atau tidak mendukung kemajuan politik kaum perempuan, melainkan demi selarasnya niat, tujuan, dan caranya. Jika niat dan tujuan berada di ranah pikiran dan cara berada di ranah aksi, maka keduanya harus sama-sama adil demi tercapainya harmoni.
Ingatlah ucapan Jean Marais, seorang veteran Perang Dunia II asal Prancis,kepada sahabatnya, Minke, seorang pribumi berpendidikan dalam buku Anak Semua Bangsa karangan Pramoedya Ananta Toer: ”Minke, sebagai terpelajar kamu harus adil,adil sudah sejak di alam pikiran.”Benarlah kiranya bahwa adil harus dimulai dari pikiran karena yang terutama adalah nilai, bukan perwujudannya dalam rupa kedudukan, jabatan,dan sebagainya.(*)
Victor Silaen
Dosen Fisipol UKI, Pengamat Sospol
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/208551/
Afirmasi dan Keadilan
Written By gusdurian on Minggu, 01 Februari 2009 | 12.31
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar