BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Wayang Orang Sriwedari

Wayang Orang Sriwedari

Written By gusdurian on Minggu, 18 Januari 2009 | 11.14

Wayang Orang Sriwedari
Sepi dan Dingin
Di panggung, pemain menganggap semua kursi terisi.
Memasuki kawasan Sriwedari, terlihat ada sesuatu yang baru. Tempat itu kini dikelilingi pagar tembok megah yang tampak baru dibangun. Ratusan kendaraan pengunjung memadati Taman Hiburan Rakyat (THR) di kawasan itu, tapi mereka menuju panggung musik dan arena bermain.

Di dalam gedung wayang orang, suasana sepi dan hawanya dingin. Hawa itu ternyata berasal dari banyaknya genangan air hujan di lantai keramik putih. Maklum, di sana-sini atap bocor, langit-langit terlihat basah dan berjamur. Beberapa petugas harus mengepel lantai setiap kali pertunjukan akan dimulai.

Beberapa pemain masih tampak santai, ngobrol di belakang panggung. Waktu menunjuk pukul 19.30 WIB, tapi belum banyak pemain yang datang. Sutradara duduk di kursi, bertafakur membaca naskah, dan mengabsen kru. "Malam ini kita mengambil lakon Joyo Supeno," kata Raden Tumenggung Diwasa Diranegara, ketua pentas.

Penjadwalan lakon dilakukan sebulan sekali. Hebatnya, meski tiap malam mentas, satu lakon tidak akan dimainkan dua kali dalam satu tahun. "Koleksi lakon kami lebih dari 365 buah," kata Diwasa.

Tidak ada waktu untuk berlatih. Penunjukan pemain dilakukan beberapa saat sebelum pentas berdasarkan intuisi sutradara. Pukul 20.00 WIB, pemain lengkap. Hanya dalam hitungan menit, sutradara selesai membagi tugas. Tidak ada instruksi, juga tidak ada diskusi panjang antara pemain dan sutradara.

Saat pemain berhias, penabuh gamelan beraksi, menghibur penonton yang mulai datang setelah membayar tiket masuk Rp 3.000. Mereka memilih duduk secara acak, padahal jika dikumpulkan jumlahnya tak lebih dari dua baris kursi, yang per barisnya ada 22 kursi.

Kursi busa dengan sandaran tangan cukup membuat penonton bisa duduk nyaman. "Selain Sabtu malam, jumlah penonton memang tidak banyak," kata Murdono, Kepala Unit Pelayanan Teknis Daerah Tempat Wisata Kota Surakarta, yang ditemui Tempo saat menyaksikan pertunjukan itu. Menurut dia, jika Sabtu malam, jumlah penontonnya mencapai 100 orang lebih. Tapi hasilnya tetap belum cukup untuk menutup biaya operasional. "Semangat mempertahankan budaya membuat kegiatan ini harus tetap berjalan tiap malam," kata Murdono.

Murdono mengakui, fisik gedung perlu dibenahi. "Terutama atap dan perangkat sound system-nya," tuturnya. Tapi, pembangunannya baru dapat dilaksanakan jika sengketa tanah Sriwedari antara Pemerintah Kota Surakarta dan ahli waris, selesai. "Mudah-mudahan bisa segera ada kepastian hukum," katanya.

Pergantian adegan selalu disertai penggantian lukisan dekorasi yang melatarbelakangi panggung atau geber, yang masih ditarik secara manual. Sayangnya, mikrofon yang digantung di panggung tidak bekerja optimal sehingga beberapa dialog pemain tak tertangkap dengan jelas. Padahal bahasanya cukup sulit dicerna. Di tambah lagi dengan gangguan suara dari luar yang cukup mengganggu, musik dari gedung tetangga.

Duduk di kursi barisan terdepan menjadi pilihan yang bijaksana. Apalagi, dengan jumlah pengunjung yang sedikit, penonton bebas memilih tempat. "Kami tidak pernah merisaukan jumlah penonton," kata Nanik Suyanto, 61 tahun, salah seorang pemain. Di atas panggung, pemain selalu menganggap semua kursi terisi penuh terisi. "Itu yang bisa membuat kami selalu tampil maksimal," ujarnya.

Nanik menjadi pemain wayang orang sejak 41 tahun lalu. Dia tahu betul pasang surutnya nasib gedung Wayang Orang Sriwedari. "Masa kejayaan kami era 80-an," katanya. Pada masa itu, wayang orang menjadi hiburan bergengsi bagi warga Surakarta. "Selain itu, banyak seniman wayang orang yang sangat mumpuni," katanya. Tapi, masa kejayaan itu tinggal cerita. "Sejak menjamurnya pesawat televisi," tutur pensiunan pegawai negeri itu.

Jumlah penikmat wayang orang pun terkikis, tinggal beberapa saja. Salah satunya adalah Hadi Iswanto, warga Nusukan, yang telah bertahun-tahun setia menyaksikan pentas wayang orang. "Sejak kecil saya menyaksikan pertunjukan di sini," kata lelaki berusia 70 tahun itu. Tak jarang dia mengajak turis asing yang ditemuinya di jalan untuk menyaksikan pertunjukan wayang orang. Tapi gedung itu tetap saja sepi dan dingin. AHMAD RAFIQ

Joyo Supeno

Pada dasarnya, cerita wayang orang tidak jauh berbeda dengan wayang kulit: ceritanya berasal dari Ramayana atau Mahabharata. Tapi, dalam perkembangannya, ada beberapa lakon baru yang ditulis oleh penulis naskah. Lakon Joyo Supeno misalnya. "Ini menceritakan Gatotkaca yang berhasil menyelamatkan Amarta dari pagebluk," kata Zamrut Haryo Yekti Wiroyudo, pemeran Gatotkaca pada malam itu.

Ceritanya, Amarta sedang dilanda bencana berkepanjangan. Berdasarkan petunjuk para dewa, Amarta bisa selamat jika Gatotkaca menikah. Pandawa meminta Gatotkaca menikah, tapi ditolak. Gatotkaca akhirnya diusir dari Amarta.

Dalam pengembaraannya, Gatotkaca bertemu wanita yang bernama Dahana Dewi. Mereka menikah dan mempunyai putra bernama Joyo Supeno. Amarta selamat dari bencana. "Lakon itu tidak ada dalam kitab Mahabharata," kata Zamrut.

Pengembangan naskah dimaksudkan untuk menarik minat penonton. Untungnya, para pemain sudah hafal pakem ratusan naskah. Yang penting, pemain harus memahami jalan cerita, bukannya sekadar hafal dialog. AHMAD RAFIQ



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/16/Berita_Utama-Jateng/krn.20090116.153916.id.html
Share this article :

0 komentar: