BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Umat Kristen Merasa Didiskriminasi

Umat Kristen Merasa Didiskriminasi

Written By gusdurian on Kamis, 29 Januari 2009 | 10.06

Umat Kristen Merasa Didiskriminasi
By Republika Newsroom

KUPANG -- Pelaksanaan Pemilu legislatif yang akan dilaksanakan pada 9 April 2009, merupakan salah satu bentuk diskriminasi negara terhadap umat Kristiani di Indonesia, karena bertabrakan dengan Hari Kamis Putih.

Hari Kamis Putih yang merupakan siklus terakhir dalam pekan suci dalam ziarah rohani 40 hari bagi umat Kristiani itu diyakini sebagai perjamuan malam terakhir antara Yesus Kristus dengan murid-murid-Nya sebelum wafat di kayu salib.

"Sebagai rakyat biasa, tentu kita tidak bisa menolaknya. Namun hal itu telah menjadi catatan sejarah diskriminasi negara yang tidak menolerir hari-hari suci umat beragama dengan kegiatan politik kenegaraan," kata pengamat politik Dr Chris Boro Tokan SH.MH di Kupang, Kamis.

Dosen Luar Biasa Hukum dan Perubahan Sosial pada Fakultas Pascasarjana Bidang Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang mengemukakan pandangannya tersebut berkaitan dengan sikap KPU yang menolak aspirasi umat Kristiani di NTT yang meminta agar pelaksanaan Pemilu legislatif ditunda karena bertabrakan dengan Hari Kamis Putih.

Dalam pengamatannya, pelaksanaan Pemilu legislatif yang jatuh bertepatan dengan hari raya keagamaan (Kristen) itu akan menambah tingginya angka golongan putih (golput) sebagai indikator kegagalan pemerintah dan elite politik membangun demokrasi dalam pemilu legislatif.

Dalam sejarah gereja Katolik dan Kristen Protestan, Hari Kamis Putih merupakan siklus terakhir dalam masa pekan suci dalam ziarah rohani umat Kristiani dunia dalam menjalankan puasa selama 40 hari seperti dalam tradisi umat Islam dunia yang ditandai dengan hari kemenangan atau Idul Fitri.

Boro Tokan yang juga mantan Sekjen PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik RI) periode 1985-1988 mengatakan, dalam menghadapi situasi tersebut, para elite bangsa dan daerah teruji rohaninya dalam menerapkan kepemimpinan yang berlandaskan ideologi Pancasila.

Pancasila, katanya menjelaskan, merupakan ideologi tengah yang hadir di bumi Indonesia untuk mengimbangi pola-pola kepemimpinan yang menjurus ke arah kapitalis dan sosialis seperti pada beberapa negara di Eropa dan Amerika Latin.

Dalam kaitan dengan Pemilu legislatif, tambahnya, pemerintah dalam hal ini KPU tidak harus mengutamakan uang (biaya Pemilu) dan target kekuasaan (waktu pelaksanaan Pemilu presiden) sehingga bersikukuh tetap tidak merubah jadwal pelaksanaan pemilu legislatif.

"Ini merupakan salah satu ciri kepemimpinan yang bergaya kapitalis dengan mengutamakan uang dan kekuasaan sebagai pertimbangan utama," katanya dan menambahkan, atas dasar itu, pemerintah jangan terjebak pada pola pikir tersebut dengan mengabaikan hari-hari pekan suci umat beragama (Kristiani).

Pola kemimpinan semacam itu, menurut dia, hanya diterapkan oleh negara-negara sosialis kiri (komunis) yang tidak mau menolerir kegiatan sakral keagamaan.

"Negara kita ini berideologikan Pancasila yang seharusnya mampu menyeimbangkan ideologi kapitalis (individu, uang dan kekuasaan) dengan ideologi sosialis (mengutamakan kepentingan umum dan negara mengabaikan kepentingan individu, kelompok, sedikit orang)," katanya menegaskan.

Boro Tokan menambahkan, Pemilu legislatif pada 9 April 2009 menjadi momentum ujian bagi para pemimpin bangsa dan daerah untuk menunjukkan watak kereligiusan dalam karakter kepemimpinan Pancasila.

"Para pemimpin dan elite sosial politik teruji kepekaan rohaniah dan tanggung jawab intelektual kepemimpinan Pancasila dalam menyikapi dan mengambil keputusan terhadap tanggal dan hari pelaksanaan pemilu legislatif yang jatuh pada hari Kamis Putih 9 April 2009 itu," katanya.

Ia menambahkan, "sebagai rakyat biasa tentu kita tidak bisa menolaknya, namun akibatnya tentu menjadi catatan sejarah diskriminasi negara yang tidak mentolerir hari-hari suci umat dengan kegiatan politik kenegaraan".

"Di sisi lain, fenomena tersebut, menurut saya, tentu akan menambah angka golput sebagai indikator kegagalan pemerintah dan elite politik membangun demokrasi dalam pemilu legislatif," demikian Chris Boro Tokan yang juga mantan Ketua DPW Partai Amanat Nasional (PAN) NTT itu. - ant/ah



http://republika.co.id/berita/28443.html
Share this article :

0 komentar: