BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Tarif Transportasi Turun, Ogah Ah

Tarif Transportasi Turun, Ogah Ah

Written By gusdurian on Minggu, 18 Januari 2009 | 11.23

Tarif Transportasi Turun, Ogah Ah
Tulus Abadi, ANGGOTA PENGURUS HARIAN YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA

Siapa pun, khususnya masyarakat konsumen, akan gegap-gempita menyambut kebijakan PresidenYudhoyono menurunkan harga bahan bakar minyak hingga menjadi Rp 5.000 per liter, dari semula Rp 6.000 per liter. Harapannya, ketika harga BBM turun, bukan hanya harga BBM-nya yang turun; tapi juga seluruh harga komoditas yang terkena dampak langsung harga BBM. Selain harga bahan kebutuhan pokok, yang diharapkan turun adalah tarif transportasi darat. Harapan masyarakat bukanlah sesuatu yang irasional, tetapi merupakan suatu keniscayaan.

Mengingat, apa pun alasannya, kontribusi BBM terhadap tarif transportasi darat sangat signifikan, tidak kurang dari 35 persen. Itu artinya, ketika harga BBM mengalami kenaikan dan pengusaha angkutan meminta tarif transportasinya dinaikkan, bukanlah tindakan haram. Dalam suatu rapat di Departemen Perhubungan, yang dihadiri pengurus DPP Organda dan YLKI, disimpulkan bahwa tarif angkutan bisa diturunkan. Tarif angkutan dalam kota direkomendasikan turun 3-6 persen, dan angkutan antarkota antarprovinsi turun 5,22 persen. Hasil rapat juga merekomendasikan bahwa perubahan tarif angkutan dieksekusi pada minggu ketiga Desember 2008 (khususnya angkutan kota).

Namun, apa lacur, fenomena yang terjadi justru antiklimaks. Pasalnya, hingga hari ini para pengusaha angkutan transportasi darat—yang terwadahi dalam Organda—ogah menurunkan tarif angkutannya. Akibatnya, cekcok mulut antara penumpang dan awak angkutan pun tak terhindarkan. Berikut ini alasan pengusaha angkutan tidak menurunkan tarif angkutannya. Pertama, kenaikan harga suku cadang sangat tinggi. Misalnya harga ban, yang berkontribusi 13 persen terhadap biaya operasional.

Kenaikan harga suku cadang jelas merupakan masalah yang tidak bisa disepelekan, apalagi hingga saat ini nyaris semua suku cadang utama masih diimpor dari luar negeri. Apalagi ketika nilai rupiah nyaris pingsan di mata dolar Amerika Serikat, kenaikan harga suku cadang boleh jadi amat memukul kondisi pengusaha angkutan. Kedua, pungutan liar (pungli). Setelah Orde Baru tumbang, praktek pungli bukannya menghilang, tapi malah makin meraja.

Bahkan bukan hanya pungli di jalanan, tetapi pungli di urat nadi birokrasi yang, lucunya, dilegitimasi oleh produk legislatif (peraturan daerah). Saat ini ada tidak kurang dari 2.500 peraturan daerah bermasalah di seluruh Indonesia yang menyerimpung sektor transportasi darat. Ketiga, upah awak angkutan. Seiring dengan kenaikan upah minimum provinsi, pengusaha angkutan konon juga menaikkan upah awak angkutannya.

Namun, tunggu dulu. Pasalnya, apa yang diklaim oleh pengusaha angkutan dan Organda bukan sesuatu yang given alias tidak bisa diganggu gugat. Fakta dan data macam apakah yang mampu “merontokkan” klaim pengusaha angkutan tersebut? Benar, harga suku cadang memang naik. Tetapi kita tidak boleh silap oleh masalah ini. Masalahnya, saat ini mayoritas pengusaha angkutan menggunakan suku cadang kelas dua, bahkan kelas tiga alias palsu. Contohnya ban, pengusaha angkutan banyak yang menggunakan ban vulkanisir, khususnya ban bagian belakang. Ban vulkanisir dengan ban baru harganya jelas bak bumi dan langit. Benar, pungli juga terjadi, di berbagai lini. Dan merupakan benalu yang amat menggerogoti kinerja sektor transportasi.

Organda mensinyalir tidak kurang dari Rp 17 triliun per tahun fulus menggelontor untuk pungli. Untuk area Jakarta saja, konon angka punglinya mencapai Rp 422 miliar per tahun. Penulis memahami besaran angka ini. Namun, harus diingat pula, pungli tidak serta-merta kesalahan pemerintah. Pengusaha angkutan juga mempunyai andil yang sangat besar untuk terjadinya sebuah pungli. Contohnya, dalam hal izin trayek atau peremajaan armada angkutan, adalah praktek patgulipat antara pengusaha angkutan dan aparat birokrasi yang sudah amat lazim.

Soal kenaikan upah awak angkutan juga tidak terlalu benar. Sebab, faktanya, pascakenaikan tarif biasanya si pemilik armada langsung menaikkan setoran. Jadi, kendati tarif angkutan naik, pendapatan awak angkutan tidak naik, karena setoran hariannya juga dinaikkan oleh pengusaha angkutan. Jadi, yang mendapat cipratan rezeki nomplok atas kenaikan tarif angkutan bukanlah awak angkutan melainkan justru si pengusaha angkutan itu sendiri. Nasib si sopir cs tetap nelangsa, merana.

Itulah fenomena yang sebenarnya. Dengan demikian, ketika harga BBM turun, tidak ada alasan bagi pengusaha angkutan untuk tidak menurunkan tarif transportasinya. Namun, mengapa hingga detik ini hal itu tidak terjadi? Pemerintah terlihat setengah hati dalam menurunkan tarif transportasi. Atau, secara ekstrem pemerintah tidak mempunyai infrastruktur cukup untuk mengontrol jika terjadi pelanggaran tarif.

Ketika kenaikan harga BBM yang lalu pun, saat Departemen Perhubungan hanya merekomendasikan kenaikan tarif angkutan dalam kota maksimum 15 persen, faktanya kenaikan tarif angkutan rata-rata mencapai 30 hingga 50 persen. Toh, aparat Departemen Perhubungan/Dinas Perhubungan diam saja, dan pelanggaran tetap melenggang hingga kini. Selain itu, pemerintah hanya “menelan” data versi pengusaha angkutan/Organda (Dephub terkooptasi!). Sebab, apa yang disampaikan Organda tidak semuanya benar, bahkan beberapa di antaranya tidak rasional (manipulatif). Dephub tunduk pada “ketiak” Organda.

Pemerintah harus tegas, kepentingan siapakah yang sejatinya akan dibela. Kepentingan publik yang lebih luas, ataukah kepentingan pengusaha angkutan an sich? Apalah artinya harga BBM turun kalau tidak diikuti oleh turunnya tarif transportasi dan harga kebutuhan pokok lainnya? Kalau ini yang terjadi, pada akhirnya yang menyeruput ciamiknya harga BBM hanya kelas menengah-atas belaka: para pemilik kendaraan bermotor. Kelas menengah-bawah, yang bergelantungan di angkutan umum, kantongnya justru makin tergerus oleh tingginya biaya transportasi, yang kini mencapai lebih dari 30 persen dari total pendapatan per bulan. Paradoksal!



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/15/Opini/krn.20090115.153824.id.html
Share this article :

0 komentar: