BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kopi Blandongan

Kopi Blandongan

Written By gusdurian on Minggu, 18 Januari 2009 | 11.24

Kopi Blandongan
J. Sumardianta, guru sosiologi SMA Kolese de Britto, Yogyakarta

Kebiasaan minum kopi memang berurat dan berakar dalam budaya patriarki. Di Aceh, lelaki yang jarang ngopi dianggap antisosial. Di seantero Jawa Timur, beranda rumah disulap menjadi kedai kopi. Hal itu berbeda dengan masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta yang cenderung menyukai wedangan teh tubruk.

Tapi, warung kopi Blandongan telah memindahkan budaya paguyuban minum kopi Jawa Timur-an ke Yogyakarta. Budaya interaksi yang mendalam, dengan ikatan batin yang kuat.

Semua bermula dari kebiasaan Nasruddin (Badrun), alumnus UIN Sunan Kalijaga, yang menyuguhkan kopi bagi mahasiswa yang mondok di Pesantren Gaten, Depok, Sleman. Ia menyuguhkan kopi yang dibawa dari Blandongan, Gresik, kampung halamannya. Ide pun muncul. Pada 2005, dia mendirikan warung kopi Blandongan di Kidul Teteg Sepur Gowok. Hanya lima menit berjalan kaki dari kedai kopi Starbucks di Ambarukmo Plaza.

Warung yang bisa menampung ratusan pengunjung itu nyaris tanpa sekat, pagar, dan pintu. Badrun berseloroh, "Pintu fungsinya buat menahan angin, bukan mencegah maling." Siapa saja bisa kongko-kongko di warung itu, termasuk mereka yang membawa minuman dan kudapan dari rumah. Yang penting tidak bikin geger.

Kopi Blandongan disajikan dalam cangkir bertutup. Mayoritas pelanggannya adalah mahasiswa, yang bisa berjam-jam kongko bergerombol di bangku dan meja panjang.

Banyak warung angkringan di Yogyakarta yang berlomba-lomba merayu pengunjung dengan fasilitas hot spot. Blandongan bergeming. Hot spot tidak dipasang karena tidak hendak memanjakan individualisme. Blandongan itu paguyuban, bukan patembayan, tempat transaksi jangka pendek bergelimang pamrih.

Tak ada pengusaha yang berhasil tanpa melewati dapur sengsara. Badrun pun pernah terusir dari Dusun Gaten gara-gara Blandongan-nya akan dibakar warga. Modal puluhan juta amblas karena cabang di Krapyak terpaksa ditutup.

Inilah Blandongan experience. Karyawannya cepat keluar agar bisa memiliki usaha mandiri. Kepedulian Badrun kepada karyawannya bukanlah ekspansi pembesaran usaha, melainkan preseden usaha kecil menengah yang tangguh karena bermodalkan kearifan lokal untuk sengkarut global.



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/15/Berita_Utama-Jateng/krn.20090115.153795.id.html
Share this article :

0 komentar: