BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » 'Tangkal korupsi dengan Al Quran'

'Tangkal korupsi dengan Al Quran'

Written By gusdurian on Kamis, 22 Januari 2009 | 08.19

'Tangkal korupsi dengan Al Quran'

Korupsi sesungguhnya merupakan nama keren dari mencuri, dan mencuri
menurut istilah bahasa arab 'sarakah' (menyembunyikan sesuatu yang
bukan miliknya) dan di dalam KUHP disebutkan bahwa mencuri adalah
memindahkan sesuatu dari tempat semula ke tempat lain yang bukan miliknya.

(SurauNet): Perilaku korupsi bisa juga iindikasikan dari berbagai
perspektif atau pendekatan.

Tindakan korupsi menurut perspektif keadilan atau pendekatan hukum
misalnya mengatakan bahwa korupsi adalah mengambil bagian yang bukan
menjadi haknya.

Korupsi adalah mengambil secara tidak jujur perbendaharaan milik
publik atau barang yang diadakan dari pajak yang dibayarkan masyarakat
untuk kepentingan memperkaya dirinya sendiri.

Korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi
yang secara sengaja dilakukan sendiri atau bersama-sama untuk
memperoleh keuntungan berupa status, kekayaan atau uang untuk
perorangan, keluarga dekat atau kelompok sendiri.

Pendekatan atau perspektif orang awam dengan lugas mengatakan
menggelapkan uang kantor, menyalahgunakan wewenangnya untuk menerima
suap, menikmati gaji buta tanpa bekerja secara serius adalah tindakan
korupsi.

Bisa saja hal itu dikatakan untuk menjelaskan hal yang kita benci dan
akan kita jinakkan. Sanksi bagi pencuri dalam agama kan sudah jelas.

Namun perlu disadari bahwa untuk menghilangkan korupsi bukanlah
perkara gampang karena ia telah berurat berakar dan menjalar
kemana-mana terutama di negeri kita ini.

Bangsa dari sebuah negara dengan tingkat keberagamaan (religiusitas)
nya ternyata tidak bisa dijadikan sebagai ukuran.

Karena ternyata, negara yang dikenal sangat religius seperti
Indonesia, dalam beberapa survei justru meraih rekor yang sangat
tinggi dalam urusan korupsi.

Sebaliknya, sejumlah negara sekuler yang abai pada agama, justru
berhasil menekan tingkat korupsi hingga pada tingkatan yang paling minim.

Padahal, jika merujuk doktrin-doktrin normatif agama yang amat ideal
(dalam hal ini Islam), Indonesia �sebagai negara dengan populasi
muslim paling besar di dunia� tidak sepantasnya menduduki peringkat
negara terkorup.

Pertanyaannya, mengapa hal itu bisa terjadi?

Jawabannya, karena tidak adanya hubungan antara agama dengan tingkat
korupsi, masalah korupsi mungkin lebih bersifat karikatural. Boleh
dikatakan, bahwa terdapat dua kelompok orang yang bersih dari korupsi.

Pertama, orang yang betul-betul takut dengan hukum Tuhan. Tapi
kelompok pertama ini sedikit sekali jumlahnya.

Kedua, khususnya di negeri yang sekuler, motif tidak korupsi bukan
karena takut kepada Tuhan, tapi lebih bersifat rasionalis saja.

Misalnya, kalau mereka menyuap polisi, mereka sadar itu akan
menghancurkan tatanan hukum. Kalau mengambil hak orang lain, mereka
sadar akan menyengsarakan banyak orang.

Walaupun penulis sepakat dengan Teten Masduki yang berkesimpulan bahwa
korupsi bisa dikategorikan sebagai perbuatan syirik, tapi sifatnya sosial.

Kesadaran sosial, semacam penghargaan terhadap hak orang lain,
sedikitnya akan mampu mengerem untuk melakukan perbuatan korupsi.

Jika mereka sadar betul kalau korupsi akan menilap hak orang. Mereka
sadar kalau korupsi akan merusak sistem ekonomi, dengan merusak sistim
perekonomian maka negara akan hancur.

Islam kan sebenarnya menanamkan kesadaran seperti itu. Pada hakikatnya
Islam dilahirkan untuk membebaskan manusia dari pelbagai bentuk
perbudakan dan eksploitasi.

Jadi sebenarnya, Islam datang untuk memerangi sistem ketidakadilan.

Tindak korupsi tentu termasuk hal yang harus diperangi Islam karena
dapat menimbulkan masalah besar. Korupsi dapat menghancurkan apa saja,
walau ada pihak yang menyebut soal ini tidak berkaitan dengan soal agama.

Itu karena mereka sudah merasa sangat mengerti bagaimana cara
bertaubatnya. Yang jelas, mungkin praktik agama kita yang pemaknaannya
keliru, karena lebih menekankan hal-hal yang bersifat ritual.

Makanya, kadang sedikit aneh jika melihat orang-orang yang getol
shalat sampai hitam jidatnya, tapi dalam kehidupan sosial justru
menolelir tindak-tindak korupsi.

Untuk konteks Indonesia, ketika sistem hukum dan sistim sosial tidak
mendukung, maka keteladanan tokoh masyarakat akan berperan sangat
penting dalam memberantas korupsi.

Jadi harus dimulai dari diri sendiri. Untuk pola hubungan masyarakat
yang masih sangat dipengaruhi community leader (pemimpin kelompok)
faktor keteladanan memang harus lebih ditonjolkan.

Sayangnya, sentimen sosial kaum muslim terhadap isu-isu seperti
korupsi, dan problem-problem sosial lainnya yang bersinggungan
langsung dengan kita, nampaknya kurang bersemangat untuk mendapatkan
perhatian dibandingkan dengan sentimen persaudaraan sesama muslim
seperti dengan Palestina ataupun Irak yang sangat luar biasa. Semua
energi bisa dilibatkan dan sedia dikerahkan.

Padahal menurut sejarah, perhatian pertama Nabi Muhammad dalam
dakwahnya terletak pada usaha perbaikan sistem sosial.

Untuk itu, cita-cita untuk menjadi Indonesia baru, membutuhkan ekstra
kerja keras dalam menangani permasalahan yang sangat krusial ini, yang
segera harus dicarikan jalan keluarnya untuk menangkal agar tidak lagi
bangsa ini dihantui dengan berbagai kasus korupsi.

Karena kalau kita perhatikan bahwa permasalahan korupsi tidak saja
menjadi kendala struktural, namun lebih dari itu. Karena masalah
struktural tadi, korupsi telah membudaya (nation culture), menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari realitas birokrasi kita.

Gerakan pemberantasan memang telah banyak dilakukan. Bahkan beragam
metode dan model gerakan telah digalakkan.

Mulai dari gerakan moral-kultural, politis-struktural, maupun
pembaharuan substansi perundang-undangan.

Tapi korupsi tak urung usai, ia senantiasa menyelinap dalam setiap
sendi kehidupan kita: ekonomi, politik, sosial, budaya, bahkan agama.

Bangsa ini perlu banyak belajar dan merenung untuk menghargai bahwa
korupsi merugikan orang banyak yang telah bekerja keras dan berlaku
jujur, tindakan korupsi tidak menghargai fitrah manusia yang
diilhamkan kepadanya untuk cinta kepada kebaikan, dengan begitu kita
semua sedang belajar untuk hidup lebih lurus.

Tentu saja, sebagai bentuk kepedulian moral, agama harus tetap
diikutkan untuk masalah yang satu ini.

Karena, kita masih berkeyakinan bahwa saat ini, kwalitas moral
politisi sesungguhnya punya pengaruh yang sangat signifikan dalam
membuka pintu-pintu terjadinya praktik korupsi.

Pada level inilah, agama perlu menjadi moral guardian (benteng moral)
untuk mengawal aktivitas politik penganutnya agar tidak terjebak pada
pengingkaran amanah.

Makanya diperlukan pemaknaan kembali atas agama. Banyak sekali
ayat-ayat Al-Qur'an yang berbicara soal kemiskinan. Dan korupsi itu
jelas dampaknya menimbulkan kemiskinan.

Pada sisi yang berbeda, realitas kaum pinggiran yang kini semakin
memprihatinkan dalam kehidupan bangsa kita, juga merupakan tanggung
jawab agama.

Sungguh argumen reflektif Hassan Hanafi perlu kita hadirkan di sini.
Bagi Hanafi, walaupun Islam meneguhkan adanya konsep ummatan wahidatan
dalam Islam, namun secara empiris kaum muslimin terbagi dalam dua
kelompok, yakni umat yang kaya dan umat yang miskin.

Jika semakin hari semakin lebar jarak itu, maka di sinilah, agama
telah kehilangan vitalitasnya sebagai agen kemanusiaan (humanity agency).

Beberapa ayat dalam al-Quran yang memberi argumen cukup tegas bahwa
dalam setiap harta yang dimiliki manusia, senantiasa ada hak yang
tersurat.

Dan hak itu, jelas bukan miliknya (Qs. Al-Maarij [70]: 24-25).

Dengan ungkapan yang berbeda, Allah ingin memberi ketegasan, bahwa
sesungguhnya seorang manusia harus menafkahkan atas harta yang
dikuasai (Qs. Al-Hadid [57]: 7).

Lalu, jika korupsi dilakukan, bukankah itu merupakan pengingkaran
besar atas amanah kebendaan yang dititipkan pada manusia. Hanya saja,
ini sekadar menjadi kesadaran kultural, tidak punya daya paksa
struktural, sehingga sang koruptor menjadi tak bergeming.

Sesungguhnya memang sudah saatnya al-Quran tidak lagi diletakkan
sebagai kesadaran normatif yang hanya bergerak pada wilayah kultural.

Ia juga harus mampu menyelinap dalam perbaikan pada ruang-ruang
struktural. Dan itu artinya, Al-Quran juga sesungguhnya bisa menjadi
landasan teoritik yang bisa dipakai untuk melakukan pembebasan
kemanusiaan, bahkan untuk masalah seperti korupsi.

Al-Quran mempunyai kekuatan untuk membentuk budaya masyarakat.
Al-Quran memiliki impetus emosional yang dapat menggerakkan umat Islam
untuk bersikap sesuai dengan ajaran yang dikandungnya.

Hanya saja, yang patut disayangkan, doktrin-doktrin normatif yang
tertuang dalam al-Quran itu, bagi kebanyakan umatnya tidak mempunyai
dimensi sosial dan intelektual yang kuat dalam membendung realitas
kemungkaran yang terjadi.Asumsi ini jelas perlu diperbaharui.

Islam bukanlah teologi eskapistik yang mengamini umatnya untuk larut
dalam buaian spiritual, sehingga lupa akan tanggung jawab sosialnya.

Jika ditelaah lebih jauh, al-Quran mempunyai perangkat teoritis yang
bisa dipakai untuk membentuk ragam manifes ketidakadilan sosial.

Terkait korupsi, bagi saya al-Quran tidak saja mampu membentuk
kesadaran moral manusia untuk tidak rakus memakan harta rakyat.

Al-Quran juga punya perangkat teoritis untuk memberantas korupsi.

Dalam banyak ayat, seringkali terdapat penegasan akan tesis Lord Acton
bahwa kekuasaan itu cenderung korup (power tends to corrupt).

Dan al-Quran, tidak saja menghadirkan penegasan itu, ia juga sekaligus
melarang umat Islam untuk memilih kaum penindas jadi penguasa (Qs.
An-Naml: 34, Al-Kahfi: 71, Saba: 34-35, Al-Zuhruf: 23, Al-Isra: 16,
Hud: 27).

Namun jika mereka terlanjur berkuasa, maka perlu dilakukan oposisi
melawan hegemoni kaum penindas itu (Qs. Al-Hujurat: 9).

Demikian itulah, kenapa di dalam Al-Quran juga sempat disinggung bahwa
kaum tertindas perlu menjadi pemimpin di bumi ini (Al-Shaff: 5,
Al-Anfal: 137).

Jika dipahami secara kontekstual, dapat dimengerti bahwa sifat-sifat
seorang pemimpin seharusnya bukan sosok yang korup, namun profil
populis yang dekat dengan rakyat, dan mencintai mereka.

Gerakan oposisi terhadap penguasa yang korup bahkan diyakini sebagai
jihad fi sabilillah (Al-Nisa: 75) yang juga merupakan agenda para
rasul (Al-Anfal: 157).

Di sinilah praksis pembelaan terhadap kaum lemah perlu dilakukan.
Dengan demikian, boleh dibilang bahwa ruang ketakwaan tidak saja
dilihat melalui ibadah ritual serta kepuasan spiritual yang telah
diraih, namun lebih dari itu, yang terpenting adalah bagaimana
seseorang dapat bermanfaat bagi orang lain.

Maka membela kaum lemah juga merupakan bagian dari karakter insan
takwa (Qs. Al-Baqarah: 197, Ali Imran: 134, Al-Insan: 8-9, Al-Maarij:
24, Al-Dzariyat: 19).

Bahkan sangat mungkin, iman pada level inilah yang justru lebih penting.

lanjut:
http://www.surau. net/index. php?action= fullnews& id=158
Share this article :

0 komentar: