BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Suara Terbanyak Berbias Politik Uang

Suara Terbanyak Berbias Politik Uang

Written By gusdurian on Minggu, 18 Januari 2009 | 11.39

Suara Terbanyak Berbias Politik Uang

Oleh: Moch. Nurhasim

Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar mensinyalir bahwa ancaman terbesar Pemilu 2009 adalah politik uang (Jawa Pos, 30 Desember 2008). Selain itu, dengan suara terbanyak, politisi yang akan terpilih adalah politisi yang berduit atau orang kaya. Pertanyaannya, mengapa politisi harus bermodal duit? Benarkah ada kaitan antara politik uang dengan penentuan calon terpilih dengan mekanisme suara terbanyak?

Budaya Parpol

Politik uang ibarat kentut, tercium baunya tapi sulit dibuktikan. Ihwal politik uang sebenarnya bukan rakyat pemilih yang memulai, tetapi justru partai politik yang menyuburkannya. Sudah bukan rahasia umum, seseorang yang ingin maju menjadi calon gubernur, bupati, atau wali kota harus setor sejumlah uang kepada partai politik.

Bila mereka tidak memiliki uang, tidak mungkin yang bersangkutan mendapat tiket untuk maju sebagai seorang calon. Dari berbagai pencalonan gubernur, bupati, dan wali kota, kita semua sudah mahfum.

Sementara itu, dalam penentuan calon legislatif, partai politik tampaknya kurang cerdas dalam melakukan rekrutmen. Minimal, ada tiga pola yang terjadi. Pertama, pola patron klien yang dengan mudah ditengarai sebagai orang siapa, bawaan siapa, pihak kawan atau lawan. Kedua, sejumlah partai juga mengambil uang setoran dari proses rekrutmen calon legislatif (DPR, DPRD). Setoran itu terkait dengan daftar nomor urut jadi dan besarannya tergantung dari kebijakan masing-masing parpol.

Ketiga, partai menjadikan anggota legislatif (baik di DPR maupun DPRD) sebagai mesin ATM (anjungan tunai mandiri) dari partai politik. Bahkan, beberapa kali hasil riset yang penulis lakukan sepanjang 2005-2007 menggambarkan bahwa ada anggota DPRD yang pendapatannya minus. Sebab, selain setor ke partai, mereka harus membina konstituennya dengan cara memberikan sesuatu.

Jadi, menurut penulis, justru budaya partai itulah yang menyuburkan politik uang. Partai memperoleh setoran dari gaji anggota DPR dan DPRD dengan varian jumlah yang berbeda-beda. Ada yang 60 persen, 40 persen, dan 30 persen. PKB juga menerapkan setoran anggota seperti itu dengan dalih untuk dana partai.

Vox Populi, Vox Dei

Ungkapan suara rakyat adalah suara Tuhan menjadi salah satu referensi dari Mahkamah Konstitusi dalam keputusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008. Tujuannya jelas, mengembalikan kedaulatan rakyat kepada rakyat itu sendiri. Bukan rakyat disuruh memilih, tetapi suara mereka dimanipulasi oleh sistem pemilu yang diselewengkan.

Bukankah kita menganut sistem proporsional terbuka? Tetapi, mengapa mekanismenya menggunakan cara-cara sistem proporsional tertutup? Inkonsistensi itulah yang dikembalikan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai wujud pemurnian sistem proporsional terbuka.

Jadi, tidak logis bila dikatakan bahwa suara terbanyak akan menimbulkan politik uang. Bukankah dengan mekanisme nomor urut pun, calon yang menempati nomor urut sepatu (jadi) juga orang-orang yang bermodal, orang kaya, dan tentu orang yang kenal dengan para pimpinan partai. Sebab, para pemimpin partai itulah yang menentukan. Inilah bentuk oligarki partai yang terus menerus terjadi yang mengebiri demokrasi itu sendiri.

Rakyat hanyalah penonton di balik proses-proses penentuan orang-orang yang dicalonkan. Mereka hanya dibutuhkan untuk memilih di TPS-TPS. Setelah itu, usai sudah peran rakyat yang digantikan oleh para wakil rakyat.

Perilaku dan budaya korup yang menyeret beberapa nama anggota DPR saat ini dan beberapa kasus yang terjadi di DPRD di sejumlah tempat adalah bentuk lain dari perilaku-perilaku yang konyol dalam berpolitik. Apa dampaknya? Ketika moral para anggota legislatif rendah dan kinerja mereka tidak mencerminkan kepentingan rakyat, mereka dalam setiap musim pemilu kehilangan akal untuk mendekati rakyat yang memiliki suara.

Politik uang adalah cara pintas yang dilakukan oleh para calon agar tidak dicaci-maki. Padahal, belum tentu dengan memberi uang mereka akan dipilih. Pada Pemilu 2004, saya teringat satu fenomena ganjil, satu dan sekian banyak orang memiliki 24 kaus partai konstestan pemilu. Setiap ada kampanye tinggal memakai kaus yang sama, mereka berangkat, dan pulang membawa uang. Bagi mereka, itu adalah pekerjaan. Hal tersebut sama dengan orang-orang yang berlomba-lomba untuk cepat kaya melalui jalur politik.

Karena itu, menjadi anggota legislatif adalah pekerjaan, mencari uang dan cepat kaya. Menjadi anggota legislatif bukan sebagai panggilan nurani untuk menyuarakan suara rakyat yang mereka wakili. Sebagai contoh yang mudah, ketika sebagian daerah di Jawa Timur sedang musim tanam, pupuk langka. Lalu, di manakah para wakil rakyat? Di manakah para pemimpin partai? Di manakah partai yang dulu dicoblos oleh para konstituen? Mengapa petani harus berjuang sendiri mencari pupuk yang langka? Demikian pula ketika sebagian besar orang antre gas elpiji, apakah partai politik peduli dengan nasib mereka?

Dua ilustrasi tersebut memberi kita gambaran bahwa partai tidak memiliki program kerja untuk menjadi alat bagi kepanjangan kepentingan rakyat. Partai terlalu sibuk dengan urusan konflik dan kursi, tetapi mereka melupakan konstituennya. Karena ulah partai sendiri, rakyat yang memiliki suara justru mulai ogah dan sebagian muak melihat baliho-baliho dengan foto besar para calon wakil rakyat.

Selama rakyat hanya menjadi objek, bukan subjek, dari politik dan pemilu, selama itu pula gagasan untuk membangkitkan pemilih yang tidak meminta imbalan sulit diwujudkan. Karena itu, partai-partai harus bertanya, mengapa para pemilih cenderung berperilaku demikian. Sebab, sejatinya mereka belajar dari perilaku wakil rakyat dan partai yang cenderung materialistik serta mengejar uang dan kekayaan.

Saya kira, kita sulit menemukan seorang wakil rakyat yang "murni" karena ibadah ingin melayani rakyat. Bukankah politik adalah take and give, tidak ada yang gratis dalam politik. Slogan itu adalah manifestasi dari perilaku partai sehingga rakyat hanyalah meniru.

Moch Nurhasim, peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI di Jakarta

http://jawapos.com/
Share this article :

0 komentar: