DEMONSTRASI atau unjuk rasa sesungguhnya merupakan hal yang lumrah dan merupakan hak bagi setiap warga negara untuk menggunakannya sebagai sarana penyaluran aspirasi.
Demonstrasi muncul karena ada persoalan ataupun kesalahan pada sistem yang memancing publik merasa perlu mengoreksi hal itu.Pada konteks itu, kita semua sepakat bahwa demonstrasi adalah hal positif bagi sistem karena fungsinya sebagai media kritik. Akan tetapi,fakta di lapangan sering menunjukkan sebaliknya.
Demonstrasi bisa berubah menjadi anarki manakala emosi sesaat yang meluap-luap tak lagi mampu dikendalikan. Massa menyebar, kerusuhan terjadi hingga mengakibatkan bentrok fisik yang tak jarang juga memakan korban. Sebegitu burukkah demonstrasi kini dimaknai? Demonstrasi memang sudah keluar dari makna sesungguhnya. Kita bisa melihat fakta itu dari kerusuhan yang muncul karena demonstrasi mahasiswa di Jakarta dan Makassar beberapa waktu lalu.
Sejumlah mahasiswa dengan gelap mata melempari aparat,bahkan ada yang menganiaya aparat kepolisian yang saat itu sedang mengawal jalannya demonstrasi.Oknum mahasiswa seperti itu sudah selayaknya ditindak secara tegas. Tidak mahasiswa saja, keberadaan massa partai politik juga berpotensi melakukan hal yang sama,sekalipun tidak brutal.
Seperti aksi turun ke jalan Partai Keadilan Sejahtera belum lama ini. Massa yang banyak membanjiri jalan kota Jakarta berpotensi menimbulkan kemacetan dan kekacauan lalu lintas. Karena itu sangat diperlukan aturan tegas yang mengatur jalannya demonstrasi di negara ini. Selama ini polisi adalah pihak yang sering berhadapan dengan para demonstran.
Hal yang disayangkan,tindakan yang dilakukan masih sebatas usaha represif dan berpotensi memunculkan konflik polisi-demonstran. Hal itu bisa dimaklumi karena polisi— meminjam konsep Althusser—merupakan salah satu represif state aparatus.Artinya, polisi memiliki kewenangan represif dalam mengatur massa karena memang itu fungsinya. Alangkah baiknya jika fungsi represif itu juga didukung dengan prosedur sebelum demonstrasi terjadi.Prosedur itu bisa berisi mengenai aturan atau syarat yang harus dipatuhi oleh demonstran.
Semisal izin melakukan demonstrasi, pembatasan jumlah massa,dan aturan mengenai atribut demonstrasi termasuk soal pengeras suara (jangan sampai disita karena kapasitasnya melebihi).Tentu hal itu adalah sebagian kecil aturan yang, tanpa dituliskan sekalipun, para demonstran sudah semestinya tahu jika menyadari arti demonstrasi yang seharusnya.(*)
Rasea Fitri Nuansyah
Mahasiswa FISIP Undip, Semarang
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/203800/
SUARA MAHASISWA, Aturan,Aparat, dan Demonstran
Monday, 12 January 2009
BILA dicermati, akhir-akhir ini marak terjadi aksi unjuk rasa yang berbuntut anarkisme, baik yang dilakukan mahasiswa, buruh, maupun masyarakat umum.
Aksi mahasiswa menolak Undang- Undang (UU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang akhir-akhir ini marak terjadi setelah DPR mengesahkan undang-undang tersebut,kerap berakhir ricuh dan anarkis, seperti pada aksi mahasiswa Unhas Makassar.Tak jarang pula sikap aparat keamanan yang niatnya meredam aksi unjuk rasa justru bertindak dengan kekerasan, sehingga kontraproduktif dan unjuk rasa malah makin anarkistis.
Dampak negatif unjuk rasa demikian tentu bukan hanya menimpa pihak yang melakukan aksi, tapi juga masyarakat yang tidak terkait aksi tersebut. Memang diakui, tiap orang atau kelompok bebas menyampaikan pendapat dan menuntut hak-haknya pada pihak lain.Kebebasan ini pun dilindungi aturan yang sudah baku.Apalagi dalam negara demokrasi,kebebasan berpendapat dijunjung tinggi dan tidak ada orang yang berhak melarang.
Masyarakat dapat memanfaatkan kebebasan ini untuk menuntut hak-haknya pada pemerintah.Mahasiswa,sebagai kelompok penyambung aspirasi rakyat ke pemerintah, memanfaatkan kesempatan ini untuk menyuarakan aspirasi rakyat kecil,serta menyuarakan pula aspirasi mereka sendiri. Bahkan tiap kelompok, tanpa terkecuali, berhak menggunakan kebebasan ini untuk memperjuangkan keinginan dan harapan mereka. Namun, di balik kebebasan menyampaikan pendapat, khususnya aksi unjuk rasa,tentu berhadapan langsung dengan kebebasan yang dimiliki orang lain.
Ketika aksi unjuk rasa yang dilakukan kelompok tertentu merugikan kepentingan pihak lain yang tidak terlibat aksi, maka aksi tersebut tidak dibenarkan.Perilaku seperti inilah yang perlu diredam dengan aturan-aturan yang lebih tegas dibanding aturan sebelumnya. Karenanya,langkah pemerintah ini perlu didukung masyarakat agar aksi unjuk rasa yang berbuntut anarkis bisa diredam.
Namun, masyarakat tetap harus bersikap kritis dan waspada atas rencana pemerintah ini, jangan sampai pemerintah bertindak otoriter. Bagaimanapun, kiranya perlu aparat keamanan bertugas mengamankan aksi unjuk rasa dengan sikap profesional dan hati-hati.Tindakan yang tidak tepat karena didorong oleh emosi berlebihan akan menyulut emosi pula di pihak demonstran.
Sebaliknya,pihak demonstran juga mesti sadar,menyampaikan aspirasi bukanlah cara yang tepat bila dilakukan sambil mengganggu ketertiban umum karena jelas melanggar hak dan kebebasan orang lain yang tidak terlibat. Karenanya, faktor aturan yang tegas, sikap aparat keamanan di lapangan,serta kesadaran demonstran,merupakan faktor-faktor yang menentukan berjalannya aksi unjuk rasa dengan tertib atau malah berbuntut anarkis.(*)
Randi Kurniawan
Mahasiswa Ilmu Ekonomi dan Penggiat BPPM Equilibrium FEB UGM
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/203799/
SUARA MAHASISWA, Demonstrasi Prosedural
Written By gusdurian on Senin, 19 Januari 2009 | 12.26
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar