BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Semawis Setengah Hati

Semawis Setengah Hati

Written By gusdurian on Kamis, 22 Januari 2009 | 09.30

Angkringan
Semawis Setengah Hati
Tubagus P. Svarajati

Direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang
Imlek 2560 menjelang. Tahun ini, cia gwee (tanggal satu) jatuh pada 26 Januari 2009. Orang Tionghoa segera merayakan Tahun Barunya. Dulu, di Semarang, dua hari menjelang sincia (tahun baru), ada pasar tiban di Pasar Gang Baru. Saat itu, para gadis dan jejaka, sambil menghirup udara malam, berdesak-desakan menyenggol jodohnya. Pasar buka hingga larut malam.

Empat tahun terakhir, keramaian itu ditingkatkan, meski tak lagi di situs asalnya. Namanya Pasar Imlek Semawis, diadakan oleh Komunitas Pecinan Semarang untuk pariwisata (Kopi Semawis). Kopi Semawis juga mengelola Waroeng Semawis, yakni pusat jajan kaki lima di ruas Jalan Gang Warung. Bukanya hanya pada malam hari, Jumat hingga Minggu.

Dua kegiatan tersebut ditengarai menjadi penanda kuat Semarang kiwari, selain tentu saja lokus Pecinan itu memang sudah bermagnet: ada 13 kelenteng tersebar di sana. Sisi lainnya: lingkungan Pecinan semakin kumuh, lalu lintas memadat, relasi sosial melonggar. Mau bukti? Datang dan cermati saja.

Entah mengapa para stakeholders tidak acuh pada pokok-pokok soal itu. Penggawa Kopi Semawis pun abai dan lalai, padahal salah satu alasan pendiriannya adalah merevitalisasi Pecinan. Revitalisasi apa? Apakah dengan cara berdagang ala Waroeng atau Pasar Imlek Semawis itu? Adakah program yang holistik, integralistik dalam membangun kawasan? Apakah kehadiran kerumunan layak dicacah sebagai keberhasilan?

Unsur penting dan utama dalam rancangan utopis revitalisasi suatu kawasan adalah manusia dan ruangnya. Jika hendak jujur, Kopi Semawis, yang mengaku sebagai representasi suatu komunitas, tak lebih sebagai organisasi klangenan saja. Ia seakan-akan bergiat, padahal tidak berinteraksi atau mengakar pada kebutuhan masyarakat yang hendak dilayaninya. Ada jarak kultural, ekonomi (dan politis) yang mesti didekatkan.

Juga, konsep turisme apa yang dipraktekkan? Industri ini mesti meluaskan lapangan kerja, meningkatkan devisa, dan memeratakan pembangunan antarwilayah (Janianton Damanik: 2005). Idealnya, perencanaan dan pengelolaannya melibatkan masyarakat lokal (community-based tourism).

Jangan sampai industri turisme itu malah berdampak sosial. Atau masyarakat Pecinan cuma dijadikan komoditas tontonan. Sin cun kiong hie. Semoga semua makhluk berbahagia.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/22/Berita_Utama-Jateng/krn.20090122.154521.id.html
Share this article :

0 komentar: