BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Radhar Panca Dahana : Bisnis yang Absen Budaya

Radhar Panca Dahana : Bisnis yang Absen Budaya

Written By gusdurian on Kamis, 22 Januari 2009 | 09.32

Apa yang terbaca dalam kasus Bernard L Madoff, penipuan bisnis terbesar sepanjang masa yang merugikan para investor dunia hingga lebih 500 triliun rupiah?


Hal pertama tentu saja sebuah kesadaran: perdagangan maya yang mulai gencar perkembangannya di dua tiga dekade terakhir itu bisa menohok langsung jantung ekonomi publik karena nilainya yang gigantik.

Kedua, karena sifatnya yang virtual itu,perdagangan derivatif dapat dimainkan hanya melalui perangkat teknologi yang kapasitas dan kuantitasnya jauh lebih kecil ketimbang infrastruktur bisnis tradisional (manufaktur atau jasa).

Alhasil, kini satu orang pebisnis (dengan sebuah kantor kecil saja) di bidang investasi, misalnya, dapat menciptakan kapitalisasi sama besarnya dengan lima pabrik. Itulah yang terjadi pada berbagai penipuan perusahaan investasi di negeri ini, atau pada bisnis Madoff di skala dunia.

Hal berikutnya, peristiwa di atas dengan tegas menunjukkan pada kita wajah bengis kapitalisme yang sesungguhnya. Wajah yang dalam rautnya hanya memunculkan sebuah tesaurus tentang pasar dan profit. Sebuah tesaurus yang melihat dunia hanya dalam lembaran alat pembayaran.

Manusia dan adab yang didirikannya hanya bermakna bila ia dicandra bahkan dieksekusi oleh uang keuntungan. Naluri dasar animalistik dari bisnis ini sekarang sudah menjadi norma universal, yang tentu saja menggelisahkan mereka yang coba meneruskan warisan penting peradaban manusia yang dipenuhi oleh produkproduk nonkartal, nonmoneter.

Adanya semacam penghalusan peyoratif berbentuk corporate social responsibility (CSR) bagi perusahaan-perusahaan berskala besar,sesungguhnya tidaklah terlalu menolong wajah mengerikan hidup kapitalistik di atas.

Kamuflase Pencitraan

Sesungguhnya CSR hanyalah sebuah kamuflase dari tindakan bisnis yang juga berorientasi sama: profit. Bila tidak,ia menjadi semacam gincu atau bumper bagi naluri dasar di atas (semacam katup-pelepas bagi kejenuhan dan rasa muak publik pada perilaku pebisnis).

Bagi sebagian lain, menjalankan CSR semata hanya untuk mendapatkan profit dari (stimulus) pemotongan pajak.CSR bukan lagi sebuah kesadaran sosial yang inheren atau muncul dari kejernihan hati pengusaha. Namun sekadar siasat atau taktik mempertahankan, bahkan meningkatkan profit.

Karena itu kerap terdengar kabar bagaimana CSR dijalankan melulu sebagai formalitas.Yang antara lain tidak mengindahkan hasil/manfaat akhir dari tindakan itu. Beberapa yayasan yang didirikan perusahaan besar, misalnya, memberikan bantuan pada program-program sosial tanpa ada pemeriksaan teliti tentang isi, cara, dan tujuan akhir atau evaluasi dari program tersebut.

Yang penting bantuan telah disalurkan dan portofolio indah pun dapat ditampilkan. Maka yang terjadi bukan kepentingan publik yang disasar oleh program sosial ini, namun kepentingan pencitraan normatif dari para owner (pemilik) perusahaan yang bersangkutan.

Sehingga, dengannya para petinggi bisnis itu dapat juga memperoleh kedudukan sebagai petinggi sosial yang pada akhirnya berperan penting untuk meraih/mengakses kedudukan sebagai, misalnya, petinggi politik/negara. Maka, wajar bila kata “sosial” dalam CSR ini umumnya diartikan sebagai hal-hal yang menyangkut jumlah massa yang besar. Seperti soal kesehatan, pendidikan, perumahan, lingkungan, dan sebagainya.

Sebuah pemahaman yang sebenarnya menafikan satu dimensi vital dalam adab kehidupan kita; dimensi yang tidak begitu populer dan dalam praksisnya tak mengikat keterlibatan yang masif. Dimensi itu tidak lain kebudayaan (culture). Dalam arti kesenian, sebagai core dari cultural products,CSR menanggapinya tak lebih dari sekadar klangenan atau romantisme dari sedikit petinggi bisnis. Jumlahnya begitu kecil dibanding berbagai dimensi lain, bahkan dibanding kegiatan satu cabang olahraga saja.

Obligasi Budaya

Anggapan minor pada kebudayaan cq kesenian ini sebenarnya juga menjadi pandangan umum di kalangan pemerintah atau petinggi politik. Mereka yang melihat kesenian hanya sebagai kegiatan yang minim keuntungan politis/bisnisnya, tidak mampu menarik massa besar (kecuali seni pop berbasis media), hanya merongrong dana, bahkan sebagian dianggap sebagai gangguan yang merongrong kekuasaan.

Anggapan di atas, Anda pun mafhum, jika tidak menyesatkan, ia dikooptasi ideologi kepentingan elite. Peran kesenian dan kebudayaan tentu tidaklah seremeh itu.Posisinya dalam membangun belahan lain dari koin kemanusiaan—sisi immaterial di samping material yang didewakan— tidaklah terbantah: pembangunan manusia tak mungkin luput dari pengembangan jiwa, psikologi, spiritual, dan hal-hal yang bersifat etis-normatif.

Jika tidak,manusia pun hanya tumbuh menjadi robot atau para zombie yang haus darah kehidupan. Karenanya CSR sama sekali tidak cukup. Perlu dan pantas ditegakkan program lain, sebuah corporate culture responsibility (CCR), di mana semua usaha material manusia harus mengindahkan juga, melaksanakan juga, obligasi atau tanggung jawab kebudayaannya.

Dan bukan sebagai tindakan karitatif atau kamuflase pencitraan sebagaimana terurai di atas. CCR adalah wajib ‘ain bagi siapa pun yang hendak mengambil profit atau menguras sumber daya material atas bumi dan isinya ini. Ia juga bukan alasan untuk mendapatkan pakansi pajak (tax vacancy) atau siasat mendapatkan profit.Kebudayaan yang dijaga dan ditingkatkan harkatnya oleh kesenian adalah sumber prestise, prestasi, bahkan identitas semua manusia yang memilikinya.

Adalah obligasi alamiah bagi semua pihak yang menerima kebaikan atau keuntungan darinya— langsung atau tidak—untuk berkontribusi menyelenggarakan dan mengembangkannya. Dengan itu,boleh jadi kapitalisme tertolong dari eksploitasi dan cengkeraman potensi animalistiknya.Dan manusia tetap dapat ditegakkan secara utuh sebagai manusia.(* )

Radhar Panca Dahana
Budayawan


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/206896/
Share this article :

0 komentar: