Refleksi Imlek 2560
Semangat Kerbau demi Solidaritas
Tahun Baru Imlek 2560 jatuh pada 26 Januari 2009 Masehi. Sejarah mencatat, penanggalan Imlek dimulai pada 2637 SM, sewaktu Kaisar Oet Tee/Huang Ti (2698-2598 SM) mengeluarkan siklus pertama pada tahun ke-61 masa pemerintahannya.
Imlek semula memang dirayakan oleh suku bangsa yang berlatar belakang budaya Tiongkok. Lalu, dalam perkembangannya, para tetangga Tiongkok seperti orang Mongol, Korea, Jepang, Vietnam, Laos, dan Kamboja juga ikut merayakannya.
Bagaimana Imlek di negeri kita? Ada pasang surut. Nasib Imlek di negeri ini tidak bisa dilepaskan dari kooptasi negara terhadap etnis Tionghoa. Waktu dijajah Belanda, Imlek pernah dilarang untuk dirayakan. Pada penjajahan Jepang, Imlek pernah menjadi hari libur resmi berdasar keputusan Osamu Seirei No 26 Tanggal 1 Agustus 1942. Itulah kali pertama dalam sejarah Tionghoa di Indonesia Imlek menjadi hari libur, yaitu Imlek pada 1943 Masehi.
Pada era Soekarno mulai 1945-1964, Imlek boleh dirayakan. Namun, selama era Soeharto, mulai Imlek 1965-1998, tahun baru yang berawal dari adat petani di Tiongkok itu menjadi barang larangan. Semua kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa tidak boleh dilakukan lagi, termasuk Imlek. Larangan itu tertuang dalam Inpres No 14/1967.
Pelarangan Imlek di era penjajahan Belanda atau pada era Orba mengindikasikan peran etnis Tionghoa sungguh dimarginalkan. Tionghoa hanya dijadikan minoritas perantara atau middlemen minority (meminjam istilah sejarawan Kwartanada dari National University di Singapura).
Perantara di sini, maksudnya, golongan Tionghoa hanya dimanfaatkan sebagai perantara atau mesin pencetak uang atau binatang ekonomi. Peran seperti itulah yang kemudian gampang memicu konflik karena Tionghoa dianggap oportunis dan propenguasa.
Mereka juga dicap kaya. Padahal, menurut penelitian pakar masalah Tiongkok Eddy Prabowo Witanto dari UI, 65 hingga 70 persen masyarakat Tionghoa di Indonesia berasal dari kelas marginal alias miskin papa.
Syukurlah, lewat Keppres RI No 6/2000, Presiden Gus Dur, si Bapak Tionghoa Indonesia, mencabut inpres yang memarginalkan etnis Tionghoa di segala bidang dan hanya menjadikan etnis Tionghoa sebagai binatang ekonomi. Megawati menindaklanjuti Gus Dur dengan mengeluarkan Keppres No 19/2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional (Imlek resmi libur nasional mulai 2003).
Jaminan Kesetaraan
Malah pada era SBY, berembus angin segar bahwa etnis Tionghoa sungguh diterima sebagai bagian integral bangsa ini. Bukan hanya Imlek tetap bebas dirayakan. Malah, ada regulasi yang menjamin kesederajatan atau kesetaraan etnis Tionghoa dengan anak bangsa yang lain.
Contohnya UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan. Lewat UU itu, tidak ada sekat-sekat lagi antara pribumi dan nonpribumi. Siapa pun, termasuk etnis Tionghoa, yang lahir di negeri ini adalah WNI.
Malah baru-baru ini, bertepatan dengan Peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 2008, diresmikan UU Antidiskriminasi ras dan etnis. Siapa pun yang terbukti melakukan diskriminasi bisa diancam hukuman penjara. Itu jelas merupakan garansi bahwa secara politik etnis Tioghoa setara atau sederajat dengan anak bangsa yang lain.
Dengan iklim yang kondusif di era SBY, jelas setiap etnis Tionghoa di negeri ini ditantang untuk menunjukkan kontribusi yang lebih positif ke depan. Peran perantara sebagai "binatang ekonomi" yang berkonotasi negatif jelas harus dilepas. Tapi, peran perantara yang bisa menjembatani kepentingan banyak elemen bangsa mutlak harus diambil.
Mengapa? Pasalnya, etnis Tionghoa di negeri ini tidak bisa dikait-kaitkan dengan agama tertentu karena Tionghoa di negeri ini bisa beragama apa saja (mulai Kristen, Tao, Buddha, Islam, Konghucu).
Solidaritas
Tahun Baru Imlek 2560 ini, sesuai dengan perhitungan, merupakan Tahun Kerbau dengan unsur tanah. Sang kerbau dideskripsikan sedang dalam perjalanan. Tanah punya makna negatif atau mengandung potensi buruk.
Poin pentingya, Tahun Kerbau kali ini menuntut setiap etnis Tionghoa perlu bekerja lebih keras untuk mencapai keberhasilan atau setidaknya mempertahankan apa yang sudah ada di genggaman. Kita perlu bekerja keras seperti kerbau. Tentu saja ini cocok dengan kondisi ekonmi kita yang lagi terimbas krisis keuangan global.
Karena itu, setiap etnis Tionghoa -khususnya yang menjadi pelaku ekonomi- punya tugas menopang ekonomi negeri ini agar bisa bertahan dan selamat dari tsunami ekonomi global.
Dengan kata lain, kita tidak boleh mencari selamat sendiri dalam kondisi seperti ini. Harus ada solidaritas nyata, khususnya kepada saudara-saudara sebangsa yang sudah jadi korban krisis keuangan global.
Solidaritas sejati harus terus diasah dengan cara terus ditunjukkan. Bukan dengan motif untuk tebar pesona atau mencari pujian manusia lain serta mencari keuntungan politik. Dalam konteks ini, solidaritas jelas tidak cukup dengan angpau uang recehan, tetapi terlebih dengan ikut menciptakan iklim usaha yang berorientasi kepada kemanusiaan, bukan mengejar profit semata.
CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan, misalnya, harus lebih diwujudnyatakan untuk bisa mengangkat martabat saudara-saudara sebangsa yang hidup di bawah garis kemiskinan. Contohnya, menyekolahkan sebagaian anak kaum miskin agar tak jadi korban BHP. Dengan demikian, mereka juga bisa turut merasakan kegembiraan Imlek.
* Mustofa Liem Phd, dewan Penasihat Jaringan Tionghoa untuk Kesetaraan
http://jawapos.com/
Refleksi Imlek 2560
Written By gusdurian on Senin, 26 Januari 2009 | 09.12
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar