Petuah Roy untuk Obama
Oleh Novriantoni Kahar *
Garis besar kebijakan luar negeri Obama dalam isu war on terror dan kawasan Timur Tengah mungkin saja tepat sasaran. Menarik pasukan Amerika dari Iraq yang infrasturktur dan sumber daya manusiaanya sudah cukup mapan, mungkin sudah tepat. Amerika semestinya sudah berhasil mengamankan dan menjamin kepentingan-kepentingan geostrategis dan ekonominya setelah lima tahun menduduki Iraq. Pertengkaran Sunni-Syiah memang masih sering terjadi, dan masih ada lagi soal Kurdi. Namun, bila pembagian kekuasaan di antara mereka berlangsung adil -sebagaimana pengalaman Lebanon pasca perang saudara- dan Amerika sudah hengkang dari sana, kemungkinan negara ini akan stabil meski belum tentu demokratis.
Berkemas dari Iraq menuju Afghanistan mungkin tepat sasaran karena di sanalah tempat musuh bebuyutan Amerika berada: Usamah Bin Ladin dan Alqaidah. Konon, Amerika akan menambah pasukan di Afghanistan sebanyak 30.000 orang. Hanya, bila Amerika gagal merebut hati Taliban dan tidak proporsional dalam melibatkan mereka dalam sistem kekuasaan, mereka akan tetap setia kepada induk semangnya: Usamah Bin Ladin.
Padahal, Amerika tahu bagaimana mereka mesti merebut hati Taliban dan para mujahid Alqaidah. Bukankah CIA pernah bekerja sama dengan beberapa negara memobilisasi mereka untuk melawan musuh Amerika dalam Perang Dingin melawan Soviet dulu?
Amerika mestinya tahu cara menjinakkan mereka sebagaimana mereka tahu pasti cara mencetak mereka sebagai mesin perang yang mematikan.
Perkara Iran memang agak rumit karena melibatkan permusuhan tiga dekade sejak Revolusi Islam 1979 dan putusnya hubungan diplomatik kedua negara. Iran pun bukan negara sembarangan yang dengan mudah dikibuli dan diperlakukan secara licik sebagaimana negara Arab umumnya. Hanya, pasca tragedi Gaza, tampak sekali bahwa negara-negara Arab mainstream begitu kesal terhadap Iran yang dianggap sangat provokatif dan diduga berambisi mengambil peran geostrategis poros Mesir-Yordania-Saudi di kawasan.
KTT Doha lalu menunjukkan bahwa para pemimpin Arab sadar bahwa mereka tidak boleh dipecah belah Iran dan dalam taraf tertentu memandang Iran lebih musuh daripada Israel.
Hanya, upaya mengisolasi Iran sebagaimana juga dikehendaki Israel tidak akan efektif selama isu Palestina belum mengalami kemajuan berarti. Tragedi Gaza terakhir menunjukkan bahwa Hamas kini bukannya makin lemah, namun mendapat legitimasi tambahan usai perang. Peneliti Hamas, Khaled Hrub, mengatakan bahwa Hamas sebetulnya telah mendapatkan separo legitimasi untuk berbicara atas nama aspirasi rakyat Palestina lewat Pemilu 2006. Kini mereka mendapat legitimasi tambahan karena tidak habis meski Gaza luluh lantak dan 1.300 nyawa rakyatnya melayang. Karena itu, terus-menerus mendengarkan Israel agar tidak melibatkan Hamas dalam perundingan-perundingan Palestina-Israel adalah sebuah kesalahan fatal.
Pada titik ini menarik mencermati saran Olivier Roy kepada Obama di harian as-Syarq al-Awsat (20/1/2009). Roy adalah pakar gerakan Islam politik asal Prancis yang bukunya sangat penting (antara lain Gagalnya Islam Politik) untuk memahami berbagai aspek gerakan Islam di berbagai belahan dunia.
Menurut Roy, jika Obama ingin sukses melakukan perubahan geostrategis dan mewujudkan perdamaian Timur Tengah, dia harus mampu membedakan setidaknya dua tipe gerakan Islam yang bermain di lapangan. Pertama, gerakan Islam yang bermotif nasionalistis demi memperjuangkan otonomi diri mereka dalam konteks negara tertentu, seperti Hamas dan Taliban. Hamas memperjuangkan Palestina merdeka, sementara Taliban memperjuangkan dominasi suku Pastun di Afghanistan.
Terlepas dari sistem kekuasaan seperti apa yang akan mereka terapkan bila berkuasa nanti, keduanya tetap perlu diberi tempat.
Kedua, gerakan Islam transnasional yang tidak mengenal batas wilayah kepentingan dan mampu melakukan teror di mana saja seperti Alqaidah dan beberapa anak cabangnya di berbagai negara.
Rekomendasi Roy adalah: dengar, dekati, dan berundinglah dengan yang pertama. Aspirasi mereka sebetulnya terbatas pada tuntutan tertentu dan bila mana tuntutan itu secara relatif terpenuhi, mereka akan masuk dalam kancah power sharing dan state-building.
Sementara untuk kelompok kedua, motif mereka jauh lebih absurd dan tujuan-tujuan yang mereka inginkan jarang terukur dan sering tidak terkendali. Mereka bisa melakukan teror atas nama jihad di mana saja: Amerika, London, Mesir, dan Indonesia. Sangat sulit memahami batas-batas keinginan dan motif mereka.
Inilah musuh Amerika sesungguhnya dan banyak negara yang telah ikut menanggung akibat perbuatan mereka.
Yang tidak dikatakan Roy, menyelesaikan urusan dengan kelompok pertama dengan sendirinya akan menghilangkan justifikasi yang selalu dikumandangkan kelompok kedua untuk melancarkan aksi-aksi mereka. Tidak jarang kelompok kedua menjadikan isu konflik Palestina-Israel dan penderitaan umat Islam di tempat mana pun sebagai raison d'etre mereka. Nah, bila Obama misalnya mulai beranjak mendengarkan keinginan-keinginan Hamas, apalagi mampu mewujudkan perdamaian, Amerika akan mencapai setidaknya tiga tujuan sekaligus. Pertama, citranya akan terangkat. Kedua, berbagai organisasi teror Timur Tengah akan kehilangan alasan absah keberadaan mereka. Ketiga, Iran tidak lagi punya alasan yang cukup untuk ikut campur dalam urusan Hamas dan Hizbullah.
Inti pendapat Roy: bila Obama benar-benar mau mengubah keseimbangan geostrategis di Timur Tengah dan Afghanistan, dia harus benar-benar bisa memahami motif-motif dan keinginan sebenarnya -bukan keinginan imajiner- dari aktor-aktor di lapangan seperti Hamas dan Taliban.
Dalam konteks Palestina, Amerika harus mengabaikan ilusi Israel yang selama enam dekade terus merasa mampu menghambat impian dan cita-cita rakyat Palestina. Dulu dengan cara melemahkan Fatah, kelompok perlawanan berideologi nasionalistis sehingga tampak tidak kredibel di mata rakyat Palestina setelah kematian Yasser Arafat, simbol perjuangan nasional Palestina.
Kini, alternatifnya justru Hamas dengan bungkus ideologi berbeda (Islam) yang tampil menjadi pemain penting setelah Amerika dan negara-negara Barat memaksakan demokratisasi Palestina.
Meski tidak baru dan mungkin telah didengarkan Obama dari para penasihat urusan luar negerinya, saran Roy ini rasanya sangat berharga dan mungkin mampu mengubah peta Timur Tengah secara signifikan. Hanya, mungkinkah itu dijalankan tatkala tragedi Gaza masih menyisakan dendam, luka, dan amarah?
*. Novriantoni Kahar, manajer Program Jaringan Islam Liberal di Jakarta
http://jawapos.com/
Petuah Roy untuk Obama
Written By gusdurian on Senin, 26 Januari 2009 | 09.47
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar