BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pesan Politik Tikungan Iblis

Pesan Politik Tikungan Iblis

Written By gusdurian on Sabtu, 03 Januari 2009 | 11.26

Pesan Politik Tikungan Iblis
M. Alfan Alfian
Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta
Di tengah ancang-ancang memasuki tahun politik 2009, sebuah interupsi hadir dari dunia teater. Di Yogyakarta, Surabaya, dan terakhir di Jakarta, Teater Dinasti mementaskan lakon Tikungan Iblis karya Emha Ainun Nadjib. Kelompok teater serius itu hidup kembali setelah vakum hampir 20 tahun. Gerangan apa yang disampaikan via teater ini? Sebuah otokritik, kritik sosial, bahkan kritik peradaban. Sebuah pertanyaan besar segara hadir, sejauh manakah Indonesia mampu bertahan di tengah-tengah tikungan maut negativitas keserakahan globalisasi?
Globalisasi tidak serakah, kecuali manusianya. Ambruknya bursa saham dan bisnis properti di Amerika Serikat, yang memicu krisis finansial global, merupakan potret dari keserakahan para kapitalis yang meniupkan ekonomi gelembung sabun, yang membesar dan meledak. Akibatnya, "negara" yang dalam mazhab ekonomi liberal, setidaknya neo-liberal, seharusnya tak boleh mengintervensi pasar, terpaksa harus menalangi sejumlah besar kerugian guna menyelamatkan kepentingan ekonomi yang lebih luas. Indonesia memang tidak terlalu mengalami guncangan hebat dibandingkan dengan ketika peristiwa krisis moneter 1997-1998, namun bukan berarti posisi dan kondisi ekonomi nasional sudah "aman betul" dari krisis.
Itu adalah gambaran atas dampak "keserakahan" (greediness) yang menggoyahkan bangunan rumah pasir ekonomi global. Dan keserakahan yang sangat bisa melekat, bahkan menjadi "watak dasar" manusia, tidak berhenti pada keserakahan ekonomi, tapi jauh daripada itu, yakni keserakahan kekuasaan. Saya kira pesan utama dari pementasan Tikungan Iblis jelas: bagaimana melawan keserakahan yang ada pada diri maupun di luar diri sendiri. Keserakahan politik dan kekuasaan itulah yang perlu diwaspadai pada tahun politik 2009, di mana pemilu legislatif dan pemilihan presiden digelar.
Saya tak hendak berburuk sangka terhadap para politikus partai-partai politik atau perseorangan, mengingat saya yakin sebagian besar di antara mereka memiliki niat mulia. Menjadi politikus tentulah merupakan sebuah pilihan yang penuh pertimbangan mendasar, di mana mereka merasa terpanggil untuk ikut terlibat dalam dunia politik, dengan maksud utama bisa membantu memperbaiki negeri ini. Seluruh anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART) partai-partai politik tak ada yang "jelek", sebuah "baik", walaupun terkadang "ndhakik-ndhakik" alias hiperbolik.
Meskipun demikian, tidak semua niat mulia itu mengejawantah, menghasilkan suatu sinergi antar-politikus intra dan antar-partai politik, sehingga menjadi suatu kekuatan dahsyat bagi pembangunan kualitas peradaban bangsa Indonesia. Dalam politik, sedemokratis apa pun, ada unsur kompetisi yang menyediakan ruang bagi mengemukanya cara-cara primitif, sebagaimana ditunjukkan oleh anak Nabi Adam, yang terjangkiti keserakahan dan akhirnya menggunakan segala cara menghabisi lawan (Machiavellistik dan Ken Arokistik). Realitas kompetisi politik membuat para elite politik mengembangkan berbagai cara untuk menang secara "zero sum game".
Satu catatan penting, bahwa hampir segala jenis konflik yang pernah dikenal, semakin bertambah hebat apabila telah dimasuki unsur politik di dalamnya. Konflik identitas, primordial, ideologis, agama, atau apa pun, akan berhenti sebatas konflik simbolik manakala tak hadir unsur politik pemicunya (politisasi). Politisasi agama bermuara pada konflik satu sama lain secara fatal, tidak saja bagi para pemeluknya, tetapi hingga jauh di luar itu. Ketika "kebenaran" (klaim kebenaran yang lantas berubah menjadi "pembenaran") yang satu versus "kebenaran" yang lain bertarung, boleh jadi yang menang adalah "iblis" alias mereka yang menjadi provokator pemecah belah.
Kisah Tikungan Iblis setidaknya merupakan oasis atas keringnya pencerahan kebudayaan, akibat rutinitas hidup yang mengejar "uang dan kekuasaan", yang tanpa sadar mengesampingkan etika (akhlak) mulia. Dalam terminologi agama, iblis adalah makhluk yang selalu menggoda manusia untuk berbuat dosa, bahkan secara sistematis. Gagasan dan konsepsi tentang iblis kerap diletakkan dalam konteks normatif-simbolik, sehingga sangat perlu diproyeksikan ke dalam realitas kekinian sehari-hari. Sebagaimana lakon Faust karya sastrawan terkemuka Johann Wolfgang Von Goethe, lakon Tikungan Iblis ini menunjukkan betapa rapuhnya manusia. Atau, betapa mudah manusia menyerah pada godaan iblis untuk diperbudaknya.
Emha Ainun Nadjib pernah berkelakar, betapa iblis-iblis di Jakarta hijrah ke Yogya dan mengadu kepadanya, betapa tugas dan fungsi mereka sudah tergantikan oleh manusia. Akibatnya, iblis-iblis itu menganggur. Anekdot itu lucu, tapi tentu saja segera membuat kita getir. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius (agamis), tetapi dikenal pula sebagai negara yang tingkat korupsinya tinggi. Apakah mereka yang religius itu ternyata cuma kelihatannya saja? Apakah mereka yang saleh cukup hanya peci atau sorbannya saja?
Bagaimana menerjemahkan Faust dan Tikungan Iblis ke dalam konteks keseharian dan kekinian, seberapa besar dimensi iblis menancap pada perilaku kita, tentu memerlukan permenungan karena pesan-pesannya begitu mendalam. Upaya memahami kedalaman dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk kehidupan politik, membutuhkan proses dan ketidakmalasan. Tampilnya para politikus yang "sekadar hadir" tetapi tanpa pemahaman yang memadai tentang hakikat politik dan berpolitik pada akhirnya tidak cuma hanya akan menjadi beban, tapi juga sangat berisiko. Politikus instan yang "tanpa proses" dan "enggan belajar dan berubah" adalah politikus gagap yang diragukan kemampuan dan tanggung jawabnya dalam menyelesaikan masalah.
Yang jelas, kalau dalam konteks politik (sebenarnya dalam konteks apa saja), kita butuh, sebagaimana dikatakan Friedrich Schiller, "manusia-manusia besar", karena memang abad kita adalah "abad besar". “Tikungan Iblis” adalah dilema yang kita hadapi. Sebuah dilema peradaban. Hanya "manusia-manusia besar" yang jiwanya tercerahkanlah yang mampu memilih jalan yang benar dalam mengubah "jalannya sejarah". Iblis selalu menutup "jalan pencerahan" dan menunjukkan "jalan kehancuran".
Pentas Tikungan Iblis setidaknya juga mengingatkan bahwa ancaman dan jebakan-jebakan kehancuran ada di depan mata, apabila kita tidak waspada, salah niat, serakah, sombong, tidak rasional, tanpa perhitungan, dan minus strategi, serta tanpa munculnya "manusia-manusia besar" yang sepadan dengan besarnya tantangan di "abad yang besar" ini.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/03/Opini/krn.20090103.152594.id.html
Share this article :

0 komentar: