BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pemilu 2009, Benarkah Suara Rakyat Gampang Dibeli?

Pemilu 2009, Benarkah Suara Rakyat Gampang Dibeli?

Written By gusdurian on Jumat, 23 Januari 2009 | 10.37

Pemilu 2009, Benarkah Suara Rakyat Gampang Dibeli?

Politik Uang v Reputasi

Oleh Samsudin Adlawi *

DALAM banyak kesempatan, banyak tokoh menengarai bahwa politik uang menjadi ancaman terbesar Pemilu 2009. Pernyataan itu dikaitkan dengan putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang telah membatalkan pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Konsekuensi putusan itu, pada Pemilu 2009 April nanti, caleg (calon legislatif) akan berlomba-lomba meraih suara terbanyak.

Sinyalemen seperti itu lebih merupakan ketakutan parpol dan caleg yang tidak siap atas pelaksanaan suara terbanyak. Sebagaimana diketahui, putusan MK keluar setelah penetapan daftar calon tetap (DCT) oleh KPU. Sebagian besar parpol telanjur menyusun daftar caleg dengan asumsi penetapan kursi masih berdasar nomor urut.

Mereka beramai-ramai menempatkan tokoh-tokohnya di nomor urut satu atau dua, maksimal tiga (nomor topi). Padahal, tokoh-tokoh itu kurang populer dan bahkan sama sekali tidak dikenal di dapil (daerah pemilihan) yang ditempatinya.

Karena tidak populer, peluangnya untuk mendulang banyak suara sangat kecil. Maka, mereka pun menggelindingkan wanaca ''protes'' bahwa dengan suara terbanyak hanya politisi berduit atau orang kaya yang akan terpilih menjadi legislatif.

Secara tidak langsung, wacana tersebut mengambinghitamkan rakyat. Sebagai pemilik hak pilih, rakyat diposisikan sebagai objek politik uang. Dengan kata lain, rakyat telah disangka hak pilihnya bisa dibeli. Harus diakui, dalam beberapa pemilu lalu, praktik jual beli suara seperti itu masih marak. Tapi, grafiknya mulai menurun seiring mulai dewasanya cara berpolitik masyarakat.

Terakhir, fenomena unik terlihat pada Pemilu 2004. Saat itu, banyak orang yang memiliki 24 kaus atau atribut parpol kontestan pemilu. Jika ada kampanye parpol A, mereka akan berangkat mengenakan kaus lengkap atribut parpol A. Pulangnya, mereka sudah membawa uang. Maka, yang terjadi saat itu, hampir semua kampanye parpol dipadati pengunjung.

Mengapa terjadi demikian? Fenomena tersebut menunjukkan bahwa rakyat mulai cerdas.

Hal yang sama sangat mungkin terulang pada Pemilu 2009 ini. Hanya, yang membedakan adalah pilihannya. Politisi berduit tetap akan diterima dengan tangan terbuka. Duit yang mereka bagikan akan diterima dengan sukacita.

Sebab, dalam kondisi seperti sekarang ini, rakyat memang sedang membutuhkan duit untuk menopang keberlangsungan hidup. Tapi, soal hak pilih, mereka akan memberikan kepada caleg (juga presiden) idamannya.

Era Reputasi

Sistem suara terbanyak sangat menguntungkan bagi caleg yang punya reputasi. Setidaknya, reputasi yang akan dijadikan pertimbangan rakyat dalam memilih caleg tecermin dalam lima hal. Pertama, popularitas. Popularitas berkaitan erat dengan ketokohan. Peluang menang tokoh yang terkenal di daerah tempat tinggalnya (maksimal dapilnya) dalam pileg 2009 sangat besar. Namun, popularitasnya belum cukup. Elektabilitasnya bergantung empat hal yang lain.

Yakni, apakah tokoh tersebut memiliki sikap kenegarawanan. Sikap itu tecermin dalam perilaku sehari-hari. Misalnya, dalam bergaul dengan masyarakat, apakah tokoh yang nyaleg itu suka membantu rakyat. Kalau kebetulan dia sedang menjabat, keputusan atau kebijakan yang dibuat mengutamakan kepentingan rakyat atau sebaliknya, hanya untuk melayani dan menyenangkan atasan atau bawahan. Pendeknya, apakah di balik keputusan atau kebijakannya ada rakyat.

Selanjutnya, kemampuan caleg dalam mengelola manajemen konflik antara persoalan sendiri dan tugas juga mencerminkan reputasinya. Saat ini, rakyat butuh caleg yang punya integritas tinggi. Mereka berharap, jika kelak jadi anggota dewan, tenaga serta pikiran wakilnya di gedung dewan tetap fokus pada tugas utamanya. Yakni, memperjuangkan kepentingan rakyat yang diwaliki. Tidak sebaliknya, terjebak dalam kubangan conflict of interest.

Tak kalah penting adalah visionary. Reputasi seseorang juga ditentukan oleh visinya. Seorang caleg harus punya visi yang jelas dan terukur tentang fungsi legislasi. Dengan demikian, kehadirannya dalam gedung dewan kelak bisa mewarnai lembaga terhormat itu.

Tidak seperti sebelumnya. Gedung dewan masih banyak dihuni sosok yang tidak punya visi. Mereka hanya datang, duduk, dan diam (D3). Keberadaannya sama dengan ketidakberadaannya. Keberadaannya sekali tidak mampu ''meluruskan'' hal-hal yang ''bengkok''. Bahkan, mereka sering lebur dalam hal-hal yang ''bengkok'' itu.

Yang terakhir, bakat dan potensi kepemimpinan seseorang bisa meningkatkan reputasinya. Bisa dibilang, anggota legislatif yang menghuni gedung dewan merupakan kumpulan para pemimpin. Setidaknya, sebagai pemimpin, mereka representasi dari konstituen. Mereka mewakili rakyat yang telah memilihnya saat pemilu.

Dalam posisi terhormat seperti itu, caleg harus punya kemampuan leadership. Itu mutlak harus dimiliki seorang caleg. Sebab, saat ini rakyat sudah alergi terhadap sepak terjang anggota dewan yang hanya D3. Sadar atau tidak, sejatinya kelompok D3 ini telah mengingkari amanat yang dimandatkan rakyat kepadanya.

Sangat banyak tokoh yang punya reputasi dengan lima kriteria tersebut. Masyarakat dengan mudah mengenalinya. Sebab, mereka saat ini hidup di tengah dan di sekitar masyarakat. Mereka aktif berinteraksi dengan rakyat. Secara psikologis, interaksi itu melahirkan ikatan emosional di antara mereka.

Dengan sistem suara terbanyak dalam pileg 2009, diprediksi rakyat akan memilih caleg yang reputasinya jelas. Hak pilihnya akan diberikan kepada tokoh yang ''bersih''. Rakyat di kabupaten/kota akan lebih memilih caleg yang tinggal dan mengabdi di daerahnya. Rakyat juga akan memilih caleg dari daerahnya untuk DPRD provinsi. Demikian pula untuk caleg DPR dan DPD.

Hal itu terjadi karena rakyat tahu persis reputasi mereka. Sangat kecil peluang terjadinya ''membeli kucing dalam karung''. Memilih caleg yang tidak jelas reputasinya lebih besar risikonya. Sebaliknya, caleg yang dipilih karena sudah dikenal rakyat akan berpikir dua kali untuk menggadaikan reputasinya.

*. Samsudin Adlawi, wartawan Jawa Pos, (e-mail: udi@jawapos.co.id)

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=47953
Share this article :

0 komentar: