Fahmi Mochtar:
Mustahil Tarif Dasar Listrik Diturunkan
HANTAMAN kelangkaan listrik yang merugikan rakyat dan ekonomi nasional membuat pemerintah dan Perusahaan Listrik Negara mulai berbenah. Belum selesai proyek pembangkit 10 ribu megawatt tahap I dibangun, pekan lalu Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah memanggil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro dan Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar untuk membicarakan proyek serupa tahap II.
Sementara dalam proyek tahap I hampir semua pembangkit yang dibangun berbahan bakar batu bara, dalam proyek tahap II sumber energinya lebih bervariasi. Hampir 60 persen—sekitar 5.900 megawatt—malah memanfaatkan energi terbarukan berupa air dan panas bumi. Selebihnya menggunakan gas dan batu bara.
Di sisi lain PLN masih bergeming dalam soal tarif listrik. ”Sejauh ini kami belum memikirkannya,” ujar Fahmi Mochtar. Jumat siang pekan lalu, Direktur Utama PLN itu menerima Nugroho Dewanto, Agung Wijaya, dan Gabriel Titi Yoga dari Tempo. Penyejuk udara yang tak terlalu dingin menandakan ruang sang direktur ikut melakukan penghematan listrik. Dengan cergas Fahmi menjelaskan perihal rencana pembangunan pembangkit baru dan alasan menolak penurunan tarif dasar listrik.
Apa urgensi proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt tahap II yang kemarin Anda laporkan ke Wakil Presiden?
Proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt tahap II adalah bagian dari rencana usaha penyediaan tenaga listrik. Kita membuat perencanaan 2008-2018 tentang berapa besar kebutuhan listrik. Kalau dikalkulasi, kebutuhan listrik selama sepuluh tahun kira-kira sebesar 57 ribu megawatt. Sejak 2005 tidak ada lagi pembangunan pembangkit listrik berskala besar. Padahal kebutuhan listrik kita satu tahun rata-rata bertambah hampir 3.000 megawatt. Jadi sebetulnya sejak 2005 sudah sangat dibutuhkan kehadiran pembangkit listrik, dengan rata-rata pertumbuhan (pemakaian listrik) 6,7 persen selama lima tahun.
Bukankah sudah ada proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt tahap I?
Proyek tahap I untuk mengatasi kebutuhan listrik yang sudah berjalan. Itu pun sebetulnya masih kurang. Proyek itu bertujuan menambah kapasitas sekaligus menurunkan biaya produksi. Hampir 34 persen pembangkit kita menggunakan bahan bakar minyak. Ini harus dikurangi supaya biaya produksi turun. Dengan biaya produksi yang tinggi—karena banyak menggunakan minyak—subsidinya menjadi tinggi. Ini harus dikurangi dengan cara diversifikasi pembangkit yang menggunakan bahan bakar bukan minyak: gas, batu bara, air, geotermal. Tapi, untuk tahap I, hampir semuanya menggunakan batu bara. Pertimbangannya karena batu bara di Indonesia banyak dan sebagian menggunakan low rank, yang bukan komoditas ekspor, yaitu batu bara dengan kalori rendah.
Sampai berapa lama listrik yang dihasilkan proyek tahap I itu habis diserap pasar?
Pembangkit 10 ribu megawatt tahap I yang sedang dibangun kira-kira pada 2012 sudah habis terserap oleh pertumbuhan pemakaian listrik kita yang cukup tinggi. Karena itu kita sudah harus membangun pembangkit lagi sejak sekarang. Sementara dalam tahap I pembangkit berdaya 7.000 megawatt dibangun di Jawa-Bali dan pembangkit 3.000 megawatt dibangun di luar Jawa-Bali, untuk tahap II kapasitas di Jawa ada sekitar 4.300 megawatt dan di luar Jawa sekitar 5.600 megawatt.
Apakah pendanaan proyek tahap I sudah tuntas?
Belum. Status pendanaannya, di Jawa yang sudah tersedia US$ 3,3 miliar dan Rp 11,4 triliun dari kebutuhan sebesar US$ 4,9 miliar dan Rp 17 triliun. Yang di luar Jawa dari kebutuhan Rp 7,3 triliun sudah ada 5,7 triliun. Proyek ini masih berjalan, dan diharapkan selesai pada 2010. Masih ada kesempatan untuk mencari pendanaan pada 2009 dan 2010.
Sepertinya pendanaannya sulit sekali....
Karena proyek ini yang ditenderkan fisiknya dulu, baru cari uangnya. Biasanya, kalau proyek itu, uangnya ada baru ditender. Atau uang dan fisik ditenderkan bareng.
Berapa biaya untuk pembangunan seluruh pembangkit tahap II?
Dari seluruh kapasitas pembangkit, sekitar 3.600 megawatt akan dibangun oleh PLN dengan investasi US$ 3,8 miliar (Rp 41,8 triliun). Pembangkit yang akan dibangun berbahan bakar batu bara, gas, air, dan geotermal. Sisanya sekitar 6.300 megawatt akan diserahkan ke IPP (independent power producers), dengan investasi US$ 13,4 miliar (Rp 147,4 triliun). Mereka akan membangun pembangkit batu bara 2.200 megawatt dan geotermal 4.000 megawatt. Pembangkit tenaga geotermal memang lebih banyak kami serahkan ke swasta.
Kapan proyek tahap II ini akan selesai dibangun?
Diharapkan proyek ini selesai pada 2012 atau 2013. Tapi mungkin sekitar 2015 sudah habis (terserap) lagi. Jadi, kita harus membangun pembangkit lagi.
Apakah pembiayaannya terkendala krisis keuangan global?
Beberapa bagian investasi PLN ada yang sudah masuk bluebook Bappenas, seperti Cisokan, Muara Tawar, dan Asahan III. Pendanaan yang disediakan pemerintah sudah cukup besar. Pembangkit tenaga air saja sudah US$ 1,1 miliar (Rp 12,1 triliun). Paling tidak sudah ada dana US$ 2,3 miliar (Rp 25,3 triliun) yang tersedia dari US$ 3,8 miliar yang dibutuhkan.
Betulkah proyek tahap II lebih banyak diminati investor dari Jepang?
Tidak harus dari Jepang. Bisa juga dari Eropa, Amerika, atau Korea.
Mungkinkah PLN menurunkan tarif dasar listrik setelah pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak?
Dengan turunnya harga bahan bakar minyak, biaya produksi kita juga mengalami penurunan. Dihitung secara rata-rata, biaya produksi dari Rp 1.317/kWh turun menjadi 1.023/kWh. Tapi tarif dasar listrik rata-rata masih Rp 630-an/kWh. Jadi, kalau melihat situasi ini, sebetulnya tidak mungkin menurunkan tarif dasar listrik. Maka, untuk industri besar, di atas 200 kVa, pada 2005 kami ambil kebijakan untuk menahan pertumbuhan beban puncak, yaitu daya max. Tujuannya supaya penggunaan listrik oleh pelanggan tidak besar pada saat beban puncak. Untuk industri, tadinya tarif pada waktu beban puncak besarnya dua kali dari tarif waktu luar beban puncak. Supaya bisa dibatasi, (penggunaan listrik oleh industri) pada beban puncak tarifnya menjadi dua kali tarif beban puncak. Jadi itu sama dengan empat kali tarif di luar beban puncak. Ternyata ini tarif cukup efektif untuk menahan laju peningkatan beban puncak.
Dalam situasi krisis, apakah penerapan tarif daya max itu masih efektif?
Akibat krisis keuangan global, produktivitas industri pasti menurun. Karena itu tarifnya diturunkan lagi menjadi tiga kali tarif di luar waktu beban puncak. Saya sudah melihat dampaknya dan saya sudah monitoring sebelum dan sesudah kebijakan itu diberlakukan. Ternyata beban penggunaan listrik sudah naik lagi 300-400 megawatt. Tarif empat kali di luar waktu beban puncak itu sudah di atas Rp 1317/kWh. Begitu diturunkan menjadi tiga kali, itu membuat industri lebih bergairah.
Jadi, tidak akan ada penurunan tarif dasar listrik?
Sejauh ini kami belum memikirkan itu. Kalau harga bahan bakar minyak itu kan per liter. Mau pelanggan mewah atau menengah, mobilnya Kijang atau Mercedes, sama saja. Tapi, kalau tarif listrik, per kWh-nya tergantung penggunaannya untuk apa.
Kecuali pemerintah mau menambah subsidi?
Ya, begitulah kira-kira.… Sebetulnya sederhana saja: tarif diturunkan, subsidi pasti bertambah. Ini subsidinya berkurang, tarifnya tetap.
Bagaimana dengan pengamanan pasokan batu bara untuk PLN?
Pertama, kami sudah melakukan kontrak jangka panjang. Kalau kontrak ini di tengah jalan ada yang macet, harus dilakukan antisipasi dengan spot. PLN sudah membentuk anak perusahaan untuk itu. Kemudian, dengan menggunakan DMO dari pemerintah untuk PLN, meski aturannya masih dibuat oleh pemerintah, dalam hal ini oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral serta Departemen Keuangan.
Kontrak itu sampai berapa lama?
Hampir semua pembangkit dalam proyek 10 ribu megawatt dan yang existing sudah ada kontrak jangka menengah dan jangka panjang. Untuk yang 10 ribu megawatt itu kontrak jangka panjang sekitar 15 atau 20 tahun. Tahun ini saja ada tambahan 3 juta ton batu bara untuk melayani tiga lokasi pembangkit seperti Rembang dan Labuhan. Pemasoknya sudah ada. Untuk satu lokasi ada tiga pemasok.
Fahmi Mochtar
Tempat dan tanggal Lahir: Plaju, Sumatera Selatan, 2 Januari 1957
Pendidikan
Sarjana Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung, 1980
Pascasarjana Magister Manajemen Universitas 17 Agustus dan Universitas Gadjah Mada, 1996
Karier
Kepala Dinas Pelayanan Pelanggan, PLN Pusat, 2000
Pemimpin PLN Wilayah IV Sumatera Bagian Selatan, 2000-2001
General Manager PT PLN Distribusi Jawa Timur, 2001-2003
General Manager PT PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang, 2003-2008
Pelaksana Tugas Direktur Pembangkitan dan Energi Primer PT PLN, 2008
Direktur Utama PT PLN, 2008-sekarang
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/01/26/WAW/mbm.20090126.WAW129380.id.html
Mustahil Tarif Dasar Listrik Diturunkan
Written By gusdurian on Selasa, 27 Januari 2009 | 10.26
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar