BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mudrajad Kuncoro : Big Push & Daerah Tertinggal

Mudrajad Kuncoro : Big Push & Daerah Tertinggal

Written By gusdurian on Minggu, 18 Januari 2009 | 11.52

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) meminta agar penyerapan anggaran pembangunan daerah tertinggal dipercepat. Selain untuk mempercepat pembangunan sektor riil dan penuntasan kemiskinan, upaya ini juga diperlukan untuk mengantisipasi dampak krisis global tahun depan.


Demikian ditekankan oleh JK dalam workshop Evaluasi dan Persiapan Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) tanggal 25 November lalu.Penegasan Wapres bisa diartikan sebagai komitmen pemerintah untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal yang jumlahnya ada 199 kabupaten/kota.

Ini mengingatkan saya tentang relevansi teori ”Big Push” yang pertama kali dicetuskan Paul Narcyz Rosenstein-Rodan. Ekonom Austria yang kental dengan mazhab Austrian ini pernah mengajar di University California Los Angeles dan London School of Economics sebelum bergabung di Bank Dunia dan MIT.

Pada 1943,Rosenstein-Rodan menulis artikel tentang ”Problems of Industrialisation of Eastern and South-Eastern Europe”. Dalam teori yang belakangan dikenal dengan ”Big Push Model”, dia menekankan perlunya rencana dan program aksi dengan investasi skala besar untuk mempercepat industrialisasi di negara-negara Eropa Timur dan Tenggara.

Saat itu memang negara-negara di kawasan tersebut sangat terbelakang dan masih mengandalkan surplus tenaga kerja yang terutama bekerja di sektor pertanian. Big Push, dorongan yang besar, harus dilakukan untuk mengatasi ketertinggalan dengan daerah lain dengan memanfaatkan dampak jaringan kerja sama antardaerah melalui economies of scale and scope dan keluar dari perangkap keseimbangan yang rendah.

Pada 2009 mendatang,Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) menargetkan 20% dari 199 daerah yang masih tertinggal di Indonesia bisa terlepas dari ketertinggalannya. Untuk mewujudkan penuntasan kemiskinan dan percepatan pembangunan itu,pada tahun anggaran 2008 Kementerian Negara PDT telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp170 triliun untuk pengentasan daerah yang masih tertinggal.

Alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk melakukan percepatan pembangunan daerah tertinggal mencakup pengembangan ekonomi lokal sebesar Rp909,452 juta, pemberdayaan masyarakat sebesar Rp72,84 miliar, penguatan kapasitas kelembagaan sebesar Rp402,8 miliar, pengurangan keterisolasian daerah sebesar Rp22,59 miliar,dan penanganan karakteristik daerah khusus sebesar Rp1,817 miliar.

Dalam konteks inilah Kementerian PDT merumuskan sebuah kebijakan yang kemudian diberi nama Rencana Aksi Nasional (RAN) Kementerian PDT.Pelaksanaan RAN sejalan dengan salah satu sasaran pokok dalam pelaksanaan agenda pembangunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2004–2009, yaitu: (1) berkurangnya kesenjangan antarwilayah yang tecermin dari meningkatnya peran perdesaan sebagai basis pertumbuhan ekonomi agar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di perdesaan; (2) meningkatnya pembangunan pada daerah-daerah terbelakang dan tertinggal; (3) meningkatnya pengembangan wilayah yang didorong oleh daya saing kawasan dan produk-produk unggulan daerah; serta (4) meningkatnya keseimbangan pertumbuhan pembangunan antarkota metropolitan, besar, menengah, dan kecil dengan memperhatikan keserasian pemanfaatan ruang dan penatagunaan tanah.

Salah satu penyebab utama ketertinggalan suatu daerah diakibatkan oleh kebijakan pembangunan yang terlalu bertumpu pada dimensi sektoral. Ini jelas tampak dengan dominannya penerapan asas dekonsentrasi dan orientasi sektoral pemerintah pusat. Di daerah nampaknya tidak jauh berbeda. Ini terlihat dari kuatnya fanatisme dinas dan pendekatan sektoral dalam RPJM Daerah (RPJMD).

Belum dimasukkannya dimensi spasial dalam perencanaan pembangunan disadari ketika ketimpangan antardaerah mulai terasa. Diabaikannya dimensi spasial membuat warna pembangunan daerah ditentukan ”mekanisme pasar”.Akibatnya modal dan orang cenderung memilih daerah yang menawarkan return yang lebih tinggi dan menarik,yang pada gilirannya daerah yang maju semakin maju, yang tertinggal tetap tertinggal.

Dalam konteks ini, diperlukan reorientasi strategi pembangunan daerah. Pertama, strategi pembangunan ekonomi lokal perlu menekankan dimensi spasial.Daerah perlu mengombinasikan pendekatan sektoral berbasis kluster di mana bisnis/ sektor unggulan daerah maupun rakyat miskin cenderung berlokasi dan mengelompok? Kedua, ketertinggalan barangkali karena mayoritas kelurahan/desanya masih termasuk kawasan perdesaan.

Desa yang jauh dengan keramaian dan hiburan umumnya masih tertinggal dalam berbagai jenis infrastruktur. Strategi pembangunan perdesaan tampaknya perlu diintegrasikan dengan strategi pengembangan kota, dengan mengembangkan keterkaitan desa-kota (ruralurban linkage) dan jejaring antarkota (network cities).

Ketiga, diperlukan big push bagi percepatan pembangunan daerah tertinggal.”Daya dorong”yang tinggi bisa diartikan modal dan infrastruktur. Aksesibilitas modal dan keberpihakannya kepada daerah yang tertinggal merupakan langkah strategis. Pengembangan infrastruktur ekonomi yang menghubungkan daerah tertinggal dengan pusat-pusat bisnis, pasar, dan jejaring internasional tampaknya perlu menjadi prioritas bagi pemerintah pusat maupun daerah.

Di sinilah letak pentingnya menyusun perencanaan jangka panjang dan rencana aksi bagi daerah tertinggal. Sayangnya saat ini belum ada koherensi dan sinergi antara visi maupun RPJMD antardaerah maupun antara RPJMD dan RPJM Nasional di tingkat nasional. Apalagi saat ini fanatisme sektoral mulai beralih menjadi fanatisme daerah yang cenderung berlebihan.

RAN KPDT tampaknya belum secara eksplisit memasukkan ketiga usulan reorientasi strategi pembangunan daerah di atas.Perhatian terhadap daerah tertinggal masih minim. Implikasinya, bagi pemda, DPD, DPRD, dan pemerintah pusat jelas merupakan pekerjaan rumah yang tidak ringan, terutama bagaimana mempercepat pembangunan daerah tertinggal.

Indonesia membutuhkan kutub-kutub pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa dan Sumatera agar pemerataan aktivitas ekonomi dan pada gilirannya pemerataan pendapatan dapat meningkat di masa mendatang. Memang sebanyak 199 daerah tertinggal dari 440 kabupaten/ kota di Indonesia mayoritas (sekitar 63%) berada di kawasan timur Indonesia, 28% di Sumatera, 8% di Jawa-Bali.

Pembangunan mal baru, yang semua berada di kota metropolitan atau ibu kota provinsi perlu diarahkan agar menciptakan keterkaitan dengan aktivitas ekonomi rakyat yang mayoritas tinggal di perdesaan dan daerah tertinggal. Implikasinya, ini membutuhkan sinergi antara semua stakeholders, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta maupun masyarakat sendiri.(*)

Mudrajad Kuncoro
Guru Besar Ilmu Ekonomi,
Fakultas Ekonomika &
Bisnis UGM; Chief Economist
PT Recapital Advisors


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/204848/
Share this article :

0 komentar: