BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Menertibkan Pejabat Publik untuk Pemilu Berkualitas

Menertibkan Pejabat Publik untuk Pemilu Berkualitas

Written By gusdurian on Sabtu, 31 Januari 2009 | 11.13

Aturan tentang pejabat negara yang berkampanye dalam pemilu adalah bagian dari syarat terlaksananya proses elektoral yang demokratis.


Dalam istilah ”demokratis” ini sudah tercakup prinsip keadilan (artinya adil terhadap setiap para kandidat yang terlibat dalam kampanye karena pejabat tidak boleh diberi kemudahan karena jabatannya), prinsip kesetaraan (bahwa setiap kandidat atau yang terlibat dalam pemilu adalah warga negara yang memiliki hak yang sama dan harus diperlakukan sama oleh hukum negara), dan prinsip etika jabatan (bahwa jabatan publik adalah alat untuk melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan penciptaan kepentingan publik yang sudah menjadi tuntutan dan risiko dari peran yang lahir dari suatu jabatan publik tertentu).

Aspek etika jabatan ini akan banyak kita bahas dalam tulisan ini karena persis inilah salah satu masalah mendasar yang sering dilupakan oleh hampir seluruh institusi elektoral dalam pemilu.KPU dan Bawaslu, termasuk partai politik sendiri,sering tidak mampu mengategorikan praktik-praktik politik yang sebetulnya merupakan pelanggaran terhadap etika jabatan.

Wali kota/bupati atau gubernur,wakil rakyat,termasuk presiden, dengan sengaja dan tidak sengaja melakukan kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan memanipulasi peran publik untuk kepentingan parsial. Ini pengalaman yang sudah biasa di Indonesia. Pelanggaran yang vulgar barangkali mudah dilihat dan diukur, tapi bagaimana dengan pelanggaran yang sifatnya abstrak?

Sebagai contoh dan ini cukup mencolok belakangan adalah kunjungan resmi kenegaraan ke daerah-daerah yang disambi kegiatan kampanye untuk menghadapi pemilu berikutnya.Adakah aturan yang bisa merangkum isu seperti ini? Adakah aturan yang bisa menakar bobot pelanggaran dalam kasus seperti ini?


Aturan yang sekarang dibuat Menteri Dalam Negeri, yang katanya akan selesai disahkan pada pekan ini, sepintas hanya mengatur hal-hal yang di permukaan.Misalnya seorang menteri tidak boleh menggunakan uang departemen dalam mengampanyekan kader dari partainya atau seorang presiden tidak boleh menggunakan uang negara untuk mendanai partai asalnya.

Tapi bagaimana dengan menteri yang menggunakan alokasi dana publikasi di departemennya untuk mengiklankan calon presidennya dengan mengatasnamakan program departemen? Ini juga tidak jelas.

*** Seperti apa pun aturan yang akan disahkan pekan ini, tetap saja tidak akan menjadi alat efektif dalam mengontrol perilaku pejabat publik dalam masa-masa menjelang pemilu. Maka ada beberapa hal paling penting yang harus diperhatikan bersama, terutama oleh institusi elektoral seperti Badan Pengawas Pemilu.

Kelompok pemantau independen juga perlu mempertimbangkannya sebagai masukan. Pertama, memahami materi undang-undang tidak hanya secara harfiah, tapi secara substantif. Memahami tidak hanya kata per kata,tapi pesan dan kemungkinan interpretasi yang lahir dari kata per kata dalam undang-undang.

Ini memang tidak mudah karena pastinya akan menuntut keseriusan dan komitmen dalam melakukan pengawasan. Selama ini,baik dalam pilkada di tingkat lokal maupun pemilu di tingkat nasional, pelanggaran sulit diproses, termasuk yang merupakan pelanggaran pidana karena pengawas tidak mampu mendefinisikan persoalan pelanggaran itu sendiri.

Ketidakmampuan mendefinisikan materi pelanggaran bisa karena ketidakpahaman terhadap undangundang dan bisa juga karena ketidakseriusan dalam bekerja. Tentu ada kemungkinan lain yang paling parah,yakni praktik kejahatan pemilu (electoral crime). Praktik macam ini rentan terjadi dalam pemilu, tidak hanya di negara berkembang, tapi juga di negara maju.

Kasus Watergate di Amerika Serikat yang melibatkan Presiden Nixon adalah contoh kasus yang besar dalam sejarah demokrasi modern. Kasus kejahatan pemilu yang paling sering adalah pencurian suara dan pemalsuan surat suara. Persoalan macam ini hanya bisa diungkap dan diproses melalui jalur hukum kalau pengawas betul-betul netral secara politik dan bekerja dengan keras.

Saya tidak melihat ada keseriusan Bawaslu saat ini melihat banyaknya kemungkinan pelanggaran yang dilakukan partai politik dan calon presiden,mulai dari iklan sampai pada penebaran spanduk di jalan-jalan. Kedua, menjaga independensi. Pengawas dalam pemilu selalu menjadi pihak penting untuk membuat sebuah konspirasi politik, selain KPU itu sendiri.

Kalau kedua lembaga ini tercemar alias tidak independen dari seluruh kepentingan yang bermain, pemilu atau pilkada dengan sendirinya kehilangan substansi.Proses elektoral hanya formalitas reguler yang tidak akan pernah lebih dari sekadar prosedur.

Kasus pilkada Bengkulu Selatan tahun 2008 kemarin adalah contoh yang paling nyata betapa institusi elektoral yang tidak netral menghancurkan demokrasi dan masyarakat. Bupati yang terpilih adalah bekas terpidana atas kasus pembunuhan dengan hukuman lebih dari lima tahun (dan dipenjara di Cipinang).

Itu terjadi karena KPUD, panwasda, dan kepolisian setempat berkonspirasi. Kasusnya berakhir di Mahkamah Konstitusi dengan pembatalan kemenangan oknum bupati yang terpilih. Ketiga, pentingnya melakukan investigasi. Pelanggaran tidak bisa dideteksi hanya dengan melihat apa yang terjadi dan telah terjadi (post factum).

Pelanggaran harus diprediksi, lalu diamati, bahkan diinvestigasi jika sudah ada preseden ke arah pelanggaran. Misalnya, kalau ada iklan dari departemen tertentu,perlu ditelusuri sebelum itu menjadi pelanggaran terbuka,apakah dana yang dipakai transparan atau tidak.

Atau, apakah dana yang digunakan benarbenar dana publikasi atau janganjangan mengambil alokasi dari bidang lain yang lebih penting.Untuk mengetahui ini, perlu ada niat dan kemauan untuk melakukan investigasi.

Pejabat sendiri tentu tak mau membuka semua kegiatannya sebelum dipertanyakan. Tiga hal ini penting diperhatikan dalam rangka menjamin kualitas proses elektoral yang tinggal 70 hari lagi jika benar pemilu legislatif dilaksanakan pada 9 April mendatang.(*)

Boni Hargens
Direktur Lembaga Pemilih Indonesia,
Dosen Ilmu Politik UI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/209256/
Share this article :

0 komentar: