Memilih Partai atau Lambangnya?
Ditulis Oleh Surahmat
Akibatnya pemilih justru menentukan pilihan pada detik-detik akhir. Landasan yang mereka gunakan juga kerap pragmatis, bahkan absurd, yakni memilih partai sesuai lambangnya.
Van Peurson (1993) mengatakan, pada tataran ontologis manusia merasakan dirinya tak lagi terkepung oleh kekuatan gaib dan mulai melakukan penelaahan ilmiah. Masyarakat kita sebenarnya telah berusaha membebaskan diri dari kekuatan gaib, namun belum bisa lepas sepenuhnya. Animisme yang berkembang dalam mengakar pada nenek moyang bangsa Indonesia tampaknya tetap berpengaruh. Hingga saat ini, bahkan, sebagian kecil masyarakat masih percaya adanya kekuatan yang bersumber dari benda mati.
Secara sederhana kenyataan tersebut menunjukkan tersendatnya transformasi budaya pada sebagian masyarakat tradisional Indonesia. Masyarakat yang diharapkan mampu bersikap kompromis, luwes dan kreatif menanggapi perubahan budaya justru bersikap kaku dan kolot. Akibatnya masyarakat tradisional Indonesia cenderung mempertahanakan keyakinan lama sebagai wasiat leluhur daripada menerima pembaruan yang diterima dari komunitas budaya lain.
Intelektualitas berpolitik partai di negara kita rupanya baru pada tataran ontologis, dan baru bersiap memasuki tahap fungsional. Tak heran jika dalam percaturan politik juga diyakini adanya kekuatan gaib, termasuk lambang. Bahkan secara vulgar, calon anggota Dewan yang akan beratrung dalam pemilu nanti melakukan ritual nyepi pada 1 Syuro kemarin.
Lambang partai politik umumnya mengandung kekuatan filosofis, selain diharap mampu menggambarkan visi dan cita-cita partai. Di sinilah muncul kepercayaan terhadap kekuatan pada simbol. Dimana, mereka berharap lambang-lambang partai mampu menambah kesiapan partai dalam berjuang memenangkan pemilu.
Lambang pada dasarnya merupakan bentuk bahasa simbol yang senantiasa membawa banyak muatan, baik muatan komunikasi, karakteristik penutur atau penulis, sampai relasi nilai yang paling substansial. Bahasa adalah sebuah simbol, dan simbol adalah perwujudan bahasa. Maka sebagai sebuah bahasa, simbol-simbol pada lambang parpol secara semiotis memiliki acuan dalam masyarakat sesuai kultur masyarakat bersangkutan.
Chaney (1996: 109) mengatakan simbol sebagai hubungan abstrak suatu konsep dengan apa yang diacunya (referent). Maka bisa jadi, lambang partai politik juga merupakan abstraksi dari cita-cita politik para pendiri dan simpatisan, yang tak pernah terjelaskan ujud konkritnya.
Karena simbol tak pernah memiliki kesejagatan makna, penerjemahan dilakukan secara persepsionil dan cenderung subjektif. Makna terbentuk secara konvensional, suatu perspektif yang dikembangkan berdasarkan kepentingan tertentu. Makna bukanlah sesuatu yang ada dalam apa yang kita lakukan atau katakan dalam dunia sekeliling kita yang kita apresiasi secara benar atau tidak, tetapi sesuatu yang dibentuk dalam politik praktis sosial.
Begitupun ketika kita coba menerjemahkan lambang partai politik. Nyaris tidak pernah ditemukan makna tunggal. Makna sebuah lambang tidak pernah tetap tapi senantiasa begerak dan terus berubah. Makna secara inheren bersifat politis karena ia dipertentangkan dengan perspektif subjektif yang dilandaskan pada kepentingan.
Satu-satunya pedoman menerjemahkan lambang adalah konvensi antar penggunanya. Seperti yang telah dilakukan masyarakat Jawa terhadap simbol-simbol budayanya, seperti gunungan. Gunungan menjadi pembuka kelir dalam pementasan wayang. Meski telah dikenal lama, pemaknaan gunungan tak pernah mengerucut. Mulyono (1983) mengartikan gunungan sebagai simbol keberagaman kehidupan. Sedangkan Choy (1977) mengartikan gunungan beserta isinya sebagai lukisan kehidupan duniawi dan batiniah dimana Tuhan Yang Maha Esa menentukan segala kegiatan di alam semesta.
Banteng dan bintang
Ada yang khas pada lambang-lambang partai politik peserta pemilu 2009. Dari 34 partai, terdapat karakteristik penggunaan simbol yang kuat pada penggunaan gambar bintang dan banteng. Dua lambang ini sangat mendominasi, hingga surat suara dalam pemilu 2009 lebih menyerupai pertarungan, lebih tepatnya dual, antara bintang dqn banteng.
Setidaknya ada 13 parpol yang menggunakan lambang bintang. Sedangkan 2 parpol lain menggunakan bulan dan atau matahari. Banteng, dalam berbagai pose digunakan 6 parpol, jauh lebih sering digunakan dari lambanag semiotic makhluk hidup lain seperti burung garuda dan bumi. Sedangkan padi, yang telah lama disinonimkan dengan cita-cita meraih kesejahteraan digunakan oleh 9 partai, namun tampilannya tak menonjol.
Partai Islam (atau yang berasas Islam) lebih banyak menggunakan lambang benda langit seperti bintang, bulan, bumi, dan matahari. Meski perwujudannya dalam komposisi grafis berbeda, benda langit dianggap sebagai pembawa pencerahan dan harapan baru. Bintang dimaknai sebagai bentuk kepercayaan terhadap Tuhan. Lima sudutnya mewakili rukun Islam atau lima kali sholat fardlu.
Namun, sekali lagi, tidak pernah ada pemaknaan tunggal dari sebuah simbol. Bagi partai nasionalis, bahkan yang cenderung sekuler, bintang diartikan sebagai semangat mengabdi dan menjalankan pancasila. Bintang adalah simbol nasionalisme dan wujud kecintaan pada ideologi negara.
Lain halnya dengan banteng, yang digunakan oleh 6 parpol. Secara historis kesamaan penggunaan lambang banteng disebabkan oleh fragmentasi kekuatan politik yang menginduk dari satu partai. Dari enam ‘banteng’, dapat ditemukan garis kekerabatan yang kental. Karena masih memiliki garis keturunan, ‘partai banteng’ sepakat untuk menonjolkan kekuatan, kegarangan, dan keperkasaan melalui lambangnya.
Kesamaan lambang parpol, atau bahkan penjiplakan, menunjukkan ketidakmampuan parpol berdiri sendiri dan tampil sebagai pembaharu. Sikap semacam ini, jelas menimbulkan kekhawatiran tidak akan terciptanya iklim demokrasi yang sehat di masa depan.
Lambang kekuatan politik mestinya idealis, tidak sekedar thuk gathuk mathuk secara artistik. Karena itulah, partai baru seharusnya berani mengusung lambang baru yang segar, berbeda, sederhana, mudah diingat, namun berkesan. Masyarakat tentu tidak akan ‘tergoda’ dengan lambang partai hasil plagiasi karena menunjukkan kualitas dan sistem kerja fungsionarisnya.
Surahmat, reporter Tabloid NunasA, Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M), Universitas Negeri Semarang
http://citizennews.suaramerdeka.com/index.php?option=com_content&task=view&id=596&Itemid=1
Memilih Partai atau Lambangnya?
Written By gusdurian on Senin, 19 Januari 2009 | 13.02
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar