BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Layanan Publik Masih Pincang

Layanan Publik Masih Pincang

Written By gusdurian on Jumat, 02 Januari 2009 | 13.33

Layanan Publik Masih PincangTulus AbadiAnggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tak terasa, usia politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tinggal seumur jagung. Bahkan perseteruan untuk “merebut” kursi panas kepresidenan pun kian tak terbendung. Para tokoh yang berminat menjadi calon presiden pun terlihat begitu gegap-gempita menawarkan jurus terbaiknya untuk membenahi wajah negeri, yang hingga kini masih coreng-moreng. Relevan dengan itu, masih terngiang di benak penulis saat Presiden Yudhoyono menjadi calon presiden pada musim kampanye 2004. Yudhoyono berjanji melakukan reformasi birokrasi layanan publik. Sebuah janji yang amat menarik dan strategis. Tak hanya secara normatif-konstitusional, tapi juga pada tataran empiris. Konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945, memberikan sandaran cukup kuat untuk terwujudnya sektor layanan publik yang andal. "Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak," demikian Pasal 34 ayat 3 UUD 1945, hasil amendemen keempat. Namun, sepanjang rezim otoritarian Orde Baru, wajah pelayanan umum-yang di-endorse oleh birokrasi, kinerjanya amat buruk. Birokrasi tak hanya tidak profesional ataupun transparan, tapi justru menjadi sarang korupsi, kolusi, dan nepotisme yang amat akut. Akibat praktek hitam semacam ini adalah menurunnya layanan publik, dan kemudian hak-hak masyarakat untuk mendapatkan produk layanan publik tercampakkan ke titik nadir. Tetapi apakah kemudian janji sang Presiden ini kini sudah terwujudkan; sudahkah birokrasi dan layanan publik di negeri ini mengalami transformasi secara radikal? Berikut ilustrasinya. Pertama, benar secara konstitusi kita telah mendapat jaminan yang sangat kuat untuk mendapatkan layanan publik yang memadai. Namun, pasal konstitusi ini secara teknis perlu diejawantahkan ke dalam sebuah peraturan yang lebih praksis, yaitu undang-undang (sebagaimana perintah Pasal 34 ayat 4, UUD 1945). Sayangnya, niat Presiden Yudhoyono untuk menggulirkan Undang-Undang Layanan Publik hingga kini belum terwujud. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat lebih mengutamakan RUU Administrasi Kependudukan karena dianggap lebih seksi (RUU Administrasi Kependudukan kini telah menjelma menjadi UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan). RUU Layanan Publik masih mangkrak di meja Komisi III DPR, dan entah kapan akan menggeliat menjadi hukum positif. Tersiar kabar bahwa RUU Layanan Publik menjadi rancangan marginal karena merupakan “RUU kering”, sehingga kalangan DPR ogah-ogahan mempercepat pembahasan RUU Layanan Publik ini. Kedua, secara empiris centang-perenang layanan birokrasi--yang terwujud pada masih terseok-seoknya layanan publik--adalah fenomena yang tak terbantahkan, bukan hanya pada tataran layanan publik non-profit oriented (seperti pengurusan KTP, SIM, STNK, akta tanah, surat izin gangguan, paspor, IMB, dll), tapi juga pada layanan publik yang notabene profit oriented, seperti sektor telekomunikasi, kelistrikan, air minum, bahkan jalan tol. Sektor kelistrikan, misalnya, acap mengidap “lumpuh layuh” alias byarpet. Masyarakat sebagai pengguna listrik sering dibuat masygul manakala aliran listrik mati tanpa permisi. Bagaimana dengan layanan air minum? Ah, sami mawon. Hingga kini akses masyarakat (kota) terhadap air bersih masih sangat terbatas, berkisar 40 persen dari total populasi masyarakat kota. Persentase yang masih minim itu masih diperparah oleh kualitas air yang tidak standar, dan frekuensi aliran air yang byarpet pula. Lebih menjengkelkan lagi, dengan semena-mena pihak PDAM mengubah golongan pelanggan, tanpa argumen teknis yang rasional dan jelas. Buruknya layanan ketenagalistrikan dan akses terhadap air minum sebagai infrastruktur utama adalah representasi kegagalan negara dalam mengelola sektor public services. Ketiga, maraknya pungli di ranah birokrasi juga masih menjadi penyakit yang sulit disembuhkan hingga kini. Tak urung, Presiden Yudhoyono pernah dibuat malu hati saat berorasi di hadapan pengusaha Singapura. Begitu getol Presiden mengajak pengusaha Singapura berinvestasi di Indonesia--dengan jaminan adanya kemudahan di birokrasi--tiba-tiba salah seorang pengusaha mengaku bahwa dirinya menjadi korban pungli sejak di loket imigrasi di bandara. Niat berinvestasi di negeri khatulistiwa ini akhirnya dibatalkan. Dalam skala yang lebih membumi, kini sebagian (besar) masyarakat perkotaan lebih enjoy mengurus SIM via calo atau pihak ketiga lainnya karena terbukti lebih cepat. Atau mengurus KTP via petugas kelurahan, karena kalau mengurus sendiri kita tidak akan tahan dengan rantai birokrasi yang begitu panjang dan melelahkan (pengalaman penulis saat mengurus KTP membuktikan fenomena itu). Benar, kini di Jakarta mengurus perpanjangan KTP bisa via pesan pendek (SMS). Tapi itu baru sebatas proyek percontohan di Kelurahan Pisangan Timur, Jakarta Timur. Masyarakat yang lain masih harus mengurus KTP secara reguler: berjibaku dengan rantai birokrasi yang njelimet. Seorang kawan baru-baru ini juga harus merogoh kocek Rp 15 juta hanya untuk mendapatkan surat izin gangguan (HO) dari Dinas Pariwisata DKI Jakarta untuk mendirikan sebuah restoran. Menjamurnya menara operator seluler di wilayah Jakarta juga mengindikasikan adanya fenomena patgulipat saat memperoleh surat izin. Kini terbukti tidak kurang dari 320 menara operator seluler dinyatakan melanggar, dan segera dibongkar oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Ini bukti telanjang bahwa meja birokrasi masih terlalu gampang ditaklukkan oleh segepok rupiah, kendati keselamatan warga dipertaruhkan. Pendek kata, tak terlalu sulit untuk tunjuk hidung betapa masih kedodorannya sektor layanan publik yang dikelola oleh pemerintah, yang terbukti belum transparan, profesional, dan akuntabel. Masyarakat pengguna acap dibuat jengah dan kehilangan nalar sehatnya saat berurusan dengan meja birokrasi. Praktek patgulipat masih menjadi fenomena yang tak terelakkan, sekalipun slogan-slogan bombastik "jangan berurusan dengan calo" bertebaran di mana-mana. Justru orang dalam itulah yang nyaru menjadi calo. Jaminan konstitusi bahwa masyarakat berhak mendapat layanan publik yang andal merupakan suatu kebutuhan yang tak bisa ditawar. Karena itu, kehadiran UU Pelayanan Publik sepertinya menjadi urgensi untuk menjawab kebuntuan. Berbasis undang-undang inilah warga negara sebagai konsumen birokrasi mendapat suatu kepastian layanan birokrasi yang termaktub dalam consumers right carter. Hak-hak konsumen harus dideklarasikan secara tegas dan jelas pada setiap meja dan loket birokrasi, berikut sanksi bagi aparat birokrasi yang terbukti melakukan malpraktek birokrasi. Lebih dari itu, mental feodal pada sebagian aparat birokrasi harus segera ditanggalkan. Sikap sok berkuasa terhadap masyarakat pengguna birokrasi bukan zamannya lagi dipelihara. Anggapan mayoritas pelaku birokrasi bahwa dirinya digaji oleh pemerintah (bukan oleh masyarakat) adalah penyakit yang juga harus diamputasi. Masih ada waktu bagi Presiden Yudhoyono untuk melakukan transformasi pada birokrasi layanan publik. Jika janji ini terwujud, niscaya pertumbuhan ekonomi di sektor riil akan lebih dahsyat, dan perilaku koruptif, kolutif, dan nepotistik di ranah birokrasi akan terkikis habis. *http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/02/Opini/krn.20090102.152491.id.html
Share this article :

0 komentar: