Kinerja DPR
Legislatif Sepi Produk Legislasi
Pemilu legislatif tinggal tiga bulan. Konsentrasi anggota DPR yang mencalonkan lagi terpecah: ngantor di Senayan atau berkampanye ke daerah pemilihan. Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan suara terbanyak sebagai penentu kemenangan, intensitas kunjungan ke basis konstituen pun kian signifikan.
Tak aneh bila ruang rapat DPR terlihat tambah lengang. Di sisi lain, beban kerja rutin DPR masih berjibun. Di bidang legislasi, dari target 284 rancangan undang-undang (RUU) yang akan dibereskan sepanjang 2005-2009, baru disahkan separuh.
Pidato Ketua DPR, Agung Laksono, ketika penutupan masa sidang II, 19 Desember 2008, menyebutkan bahwa 155 UU (54,6%) telah disahkan. Dari penelusuran GATRA ke berbagai sumber parlemen dan catatan Badan Legislasi (Baleg) DPR diperoleh data: baru disahkan 141 UU (49,6%).
Pasa saat masa kerja DPR tinggal 96 hari lagi tahun ini, masih separuh Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang belum tergarap. Untuk tahun 2009, Prolegnas menetapkan prioritas tinggi: 76 RUU. Terdiri dari 35 RUU baru, 39 RUU sisa tahun lalu, dan RUU yang disebut "kumulatif terbuka", untuk menampung perkembangan baru.
Materi prioritas legislasi 2009, antara lain, RUU Perubahan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Perubahan UU tentang Pemilu Legislatif yang direvisi MK dua pekan lalu, Pengelolaan Sumber Daya Alam, KUHP, Administrasi Pemerintahan, Cyber Crime, Pengadilan Perdagangan, Pemberantasan Pembalakan Liar, dan Pengelolaan Zakat.
Target 79 RUU itu terhitung tinggi. Merujuk pada kinerja DPR empat tahun terakhir, Aria Suyudi, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), pesimistis bahwa target itu bisa dipenuhi. "Tidak mungkin mencapai target," tulis Aria dalam "Catatan Akhir Tahun 2008 tentang Kinerja Legislasi DPR".
Bila capaian 155 UU versi Agung Laksono yang dirujuk, DPR rata-rata mengesahkan 37 UU per tahun. Jika didasarkan pada angka temuan Gatra, 141 UU yang diacu, DPR hanya menghasilkan 35 UU per tahun. Bahkan, kalaupun DPR menuntaskan 79 RUU prioritas pada tahun ini, target 284 RUU tetap tak terkejar. Bandingkan dengan parlemen Jerman yang menghasilkan rata-rata 103 UU per tahun.
Memang hasil kerja DPR melompat tinggi pada 2007 (48 UU) dan 2008 (56 UU). Lebih dari dua kali dibandingkan dengan tahun 2005 (14 UU) dan 2006 (23 UU). Tapi, yang penting dicatat, pada 2007 dan 2008 banyak dipenuhi UU pemekaran daerah. Tahun 2007, lebih dari separuh dijejali UU pemekaran (25 dari 48 UU). Pada tahun berikutnya, 21 dari 56 UU yang disahkan berupa UU pemekaran (37,5%).
Sebagian kalangan menyebut UU pemekaran sebagai UU yang tidak perlu memeras keringat. Isinya hanya 20-an pasal, tinggal copy-paste dari UU sejenis sebelumnya, dipolesi sedikit modifikasi, terkait dengan nama daerah dan kekhasan lainnya. RUU jenis ini dihentikan pembahasannya pada 2009. Sehingga kinerja legislasi DPR ditantang lebih diarahkan pada UU hasil kerja serius.
Komponen UU "tanpa keringat" itu, menurut PSHK, bukan hanya berupa UU pemekaran daerah. Masih banyak jenis lainnya. Dari angka 155 UU yang disahkan versi Agung Laksono, yang juga diacu PSHK, sebanyak 92 UU (60%) tergolong UU tidak layak disebut hasil kerja legislasi DPR, karena tidak ditempuh dengan proses pembahasan "standar".
Jumlah itu meliputi: 60 RUU pemekaran wilayah, 15 RUU pengesahan konvensi internasional, 11 RUU terkait APBN, dan enam RUU pengesahan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Hanya 63 UU yang diproses "dengan keringat".
Telusuran Gatra ke DPR juga menemukan 63 UU yang terhitung hasil kerja normal legislasi DPR, dari 141 yang disahkan. Sisanya, 78 UU (55,4%), berupa UU pemekaran wilayah (46), ratifikasi konvensi internasional (10), terkait APBN (12), dan pembentukan pengadilan tinggi agama (4).
PSHK memberi catatan, sebutan "prioritas", baik lima tahunan maupun satu tahunan, dalam setiap penyusunan Prolegnas, tidak memiliki kejelasan. Tiap tahun, apa yang dikatakan prioritas itu tak benar-benar dijadikan prioritas. Buktinya, target tahunan selalu meleset.
Dampak paling krusial, menurut PSHK, tidak segera ditindaklanjutinya putusan MK yang merevisi UU. "Beberapa RUU akibat putusan MK tidak jelas nasibnya," kata Aria Suyudi. Pada saat ini, baru satu RUU amanat MK yang diselesaikan. Yaitu UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang diuji MK pada Maret 2005, tapi baru diubah DPR pada April 2008.
Beberapa UU amanat MK lainnya, seperti UU Komisi Yudisial dan UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (diuji pada 2006), UU Ketenagalistrikan (diuji 2004), dan UU Perfilman (diuji 2008), belum jelas nasibnya. "Kecuali masuk daftar prioritas belaka," kata Aria. "Padahal, tidak segera dibahasnya RUU ini berakibat ketidakpastian hukum."
Wakil Ketua Baleg DPR, Pattaniari Siahaan, menyatakan bahwa kinerja legislasi tidak bisa hanya dibebankan pada DPR. Sebab tugas legislasi, menurut UUD, merupakan kerja bersama DPR dan pemerintah. "Kalau DPR mau, pemerintah tak mau, jadinya sulit," katanya.
Soal tak tercapainya target itu, dari awal Pattaniari sudah berpikir, target 284 RUU itu akan sulit dicapai bila dibandingkan dengan masa kerja DPR. Belum lagi melihat dinamis dan kompleksnya pembahasan RUU. Apalagi bila sampai memicu polemik luas. Pattaniari menjelaskan, alur pembahasan RUU yang berbelit, kompleks, memerlukan keterlibatan berbagai elemen masyarakat dan sebagainya, sehingga tidak mudah mencapai target.
PSHK tidak bisa menerima alasan teknis DPR, karena DPR periode lima tahun lalu bisa mencapai 172 UU di akhir masa jabatan. Padahal, dukungan anggaran dan tenaga ahli jauh lebih memadai pada DPR periode ini. Anggaran pembahasan UU terus meningkat. Pada periode 1999-2004, bujet legislasi per UU hanya Rp 200 juta.
Pada periode ini, semula Rp 400 juta (2005), lalu meningkat jadi Rp 560 juta (2007), Rp 1,7 milyar (2008), dan terakhir Rp 3,5 milyar (2009) per UU. Jumlah tenaga ahli Baleg juga terus meningkat. Tahun 2005 baru enam orang, lalu naik jadi 15 orang (2006), 17 orang (2007), dan terakhir 20 orang (2008). Tak ada alasan lagi bagi DPR untuk mandul memproduksi legislasi.
Dari sisi kualitas, PSHK melihat, produk DPR masih berkutat pada reformasi institusi. Padahal, masyarakat menanti produk yang menyentuh dan langsung berguna dalam keseharian. UU yang ada dinilai lebih banyak mengurusi kelembagaan negara. Misalnya UU Kementerian Negara, UU Ombudsman, UU Dewan Pertimbangan Presiden, dan UU Mahkamah Agung.
PSHK minta DPR segera menyudahi RUU terkait reformasi institusi. Tapi lebih mengutamakan RUU untuk peningkatan kesejahteraan rakyat dan perbaikan pelayanan publik, seperti kesehatan dan pendidikan.
RUU Pelayanan Publik, RUU Ketahanan Pangan, dan RUU amanat Mahkamah Konstitusi lebih mendesak jadi prioritas. "Dibutuhkan undang-undang yang mampu menyelesaikan masalah riil yang dihadapi masyarakat," ujar Aria.
Asrori S. Karni
[Nasional, Gatra Nomor 9 Beredar Kamis, 8 Januari 2009]
http://gatra.com/artikel.php?id=121932
Kinerja DPR
Written By gusdurian on Senin, 19 Januari 2009 | 13.11
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar