Kesehatan Politik dan Politik Kesehatan
Oleh Akh. Muzakki *
Di pengujung 2008, dua kasus menarik meramaikan publik dan menjadi tantangan bagi tahun 2009 ini. Dua kasus itu berbeda nama dan cakupan, namun memiliki isu sentral yang sama. Yakni, kesehatan politik dan politik kesehatan.
Kasus pertama ialah disahkannya RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No 14/1985 tentang Mahkamah Agung (MA). Pengesahan UU tertanggal 18 Desember 2008 itu mengundang perdebatan sengit, terutama terkait pasal 11 huruf b mengenai usia pensiun hakim agung. Dalam pasal itu disetujui perpanjangan usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun.
Pro dan kontra pun tak terhindarkan atas disahkannya UU MA yang baru itu. Muaranya adalah soal politik kesehatan dan produktivitas para hakim agung.
Bagi yang pro, perpanjangan usia pensiun hakim agung penting dilakukan dalam rangka memanfaatkan kematangan pengalaman dalam memutuskan perkara. Yang menggelikan, bahkan, sebagian justru berargumen perpanjangan usia dimaksud akan menjamin keadilan putusan hukum karena para hakim agung itu sudah dekat dengan kematian.
Bagi yang kontra, perpanjangan usia pensiun itu dianggap tidak produktif. Sebab, hakim agung yang diperpanjang usia jabatannya itu dinilai sudah mulai jompo. Bahkan, terjatuhnya Wakil Ketua MA Harifin Tumpa -kemarin dia malah terpilih menjadi ketua baru MA-, yang masih 66 tahun, saat melantik enam hakim agung (30/12/2008) seakan membuktikan pembenaran telanjang terhadap penilaian atas lemahnya fisik dan produktivitas hakim agung yang berusia di atas 65 tahun.
Kasus kedua ialah diteruskannya program jaminan kesehatan masyarakat miskin (Jamkeskin) untuk rumah tangga miskin (RTM). Sebagai desain kebijakan, Jamkeskin sendiri merupakan program kesehatan yang dikeluarkan pemerintah sebagai pengganti program kompensasi kenaikan BBM dalam bentuk asuransi kesehatan bagi warga miskin (Askeskin).
Dengan program Jamkeskin seluruh biaya berobat ke rumah sakit bagi mereka yang tergolong miskin menjadi tanggung jawab pemerintah atau negara.
Wapres Jusuf Kalla sendiri usai meninjau pelayanan Jamkeskin di RSCM Jakarta (16/12/2008) menjanjikan program Jamkeskin akan ditingkatkan sekaligus diperluas layanannya kepada masyarakat.
Terlepas dari muatan politik yang bersemayam di lubuk kebijakan pengesahan UU MA yang baru dan pelanjutan program Jamkeskin, kebijakan publik yang dikeluarkan dalam kaitannya dengan kesehatan politik dan politik kesehatan, baik secara langsung maupun tidak, tak urung memiliki dua kelemahan mendasar. Yakni, dalam hubungannya dengan peneguhan esensi produktivitas di balik faktor usia dan pendidikan publik atas penjaminan kesehatan diri.
Esensi Produktivitas
Sungguh sangat naif jika prinsip dan esensi produktivitas dilepaskan dari faktor usia. Karena itu, argumen yang mendasari kebijakan atas kesehatan politik dan politik kesehatan publik di atas cenderung gagal memaknai esensi produktivitas yang mengiringi menuanya usia. Kegagalan ini tecermin dari kasus pengesahan UU MA yang baru, sebagaimana diuraikan di atas.
Pemerintah dan kaum legislator cenderung mengabaikan esensi produktivitas dan kesehatan di balik pengundangan perpanjangan usia pensiun hakim agung. Mereka lalai atas kondisi dan praktik lokal masyarakat Indonesia dalam kaitannya dengan kesehatan.
Mereka lupa bahwa usia pensiun hakim agung tidak bisa dipersamakan antara Indonesia dan negara-negara maju. Dalam konteks Indonesia, menurut saya, perspektif yang layak dipakai untuk memaknai perpanjangan usia hakim agung adalah mengaitkannya dengan isu produktivitas.
Check-up rutin seperti yang dilakukan hakim agung di MA (Jawa Pos, 8/1/2009) tidak bisa diyakini sebagai jaminan atas kesehatan mereka. Itu karena check-up hanya bergerak untuk mengetahui perkembangan kesehatan terakhir. Tapi, perjalanan tingkat kesehatan mereka tak bisa diselesaikan hanya melalui mekanisme check-up rutin.
Mengapa begitu? Tingkat kesehatan tidak bisa dilakukan hanya dalam kerangka yang instan dan waktu temporer. Tingkat kesehatan seseorang pada usia lanjut merupakan akumulasi dari proses dan mekanisme yang dilakukan sepanjang hidupnya.
Hal itu berbeda dengan politik kesehatan di negara maju, seperti Amerika, Inggris, Kanada, dan Australia. Jaminan kesehatan menjadi program masif, mendasar, serta menyentuh seluruh lapisan publik. Karena itu, program kesehatan bagi publik sejak usia dini pasti mendapat perhatian politik yang besar.
Dengan begitu, memperpanjang masa jabatan dengan merujuk kepada kasus usia hakim agung di negara-negara maju tidaklah komparabel. Bagaimana mungkin, kesehatan di lingkungan masyarakat di Indonesia yang masih baru dalam tahap inisiasi mau dibandingkan dengan politik kesehatan publik di negara-negara maju yang jaminannya sudah disediakan dan diperkuat sejak dini. Tentu pembandingan itu hanya isapan jempol semata.
Belum Mendidik
Selain itu, kebijakan yang dikeluarkan dalam kaitannya dengan kesehatan politik dan politik kesehatan publik di atas cenderung belum mampu mendidik dan mendorong publik agar mau dan mampu menjamin kesehatan diri. Pada saat yang sama, kebijakan itu cenderung memperlemah upaya, meminjam istilah yang populer zaman Orde Baru, "memasyarakatkan kesehatan dan menyehatkan masyarakat" secara masif dan berjangka panjang.
Kelemahan ini bisa kita baca dan refleksikan melalui kasus Jamkeskin. Negara cenderung hanya berhenti dengan memberikan jaminan kesehatan yang berorientasi pada penyembuhan (curing) semata seperti yang selama ini terjadi. Program ini tidak memberikan pembelajaran berjangka panjang kepada masyarakat atas pentingnya penjagaan kesehatan diri dari sedini mungkin.
Selain itu, program seperti ini akan sangat bergantung pada tebal-tipisnya keuangan negara. Jika negara terkena krisis finansial yang akut, program seperti ini rawan ambruk. Ujung-ujungnya, negara bangkrut, dan publik pun akan terkecewakan dengan sendirinya atas hilangnya program kesehatan ala Jamkeskin tersebut.
Menyadari kelemahan argumen kebijakan publik terkait kesehatan politik dan politik kesehatan di atas, pekerjaan rumah yang tersisa adalah menjadikan politik kesehatan tidak saja sebagai isu temporer, tetapi juga menjadi program publik berjangka panjang.
Karena itu, kita perlu meniru program kesehatan berjangka panjang yang sudah terbukti relatif sukses diterapkan negara-negara maju.
*. Akh. Muzakki, dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, kandidat PhD bidang Political History di The University of Queensland, Australia
http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=46673
Kesehatan Politik dan Politik Kesehatan
Written By gusdurian on Jumat, 16 Januari 2009 | 13.02
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar