Kado UU Pengesahan Diskriminasi
Oleh: Tomy Su *
Dalam suasana Imlek Tahun Kerbau Tanah 2560, bangsa Indonesia, khususnya etnis Tionghoa, mendapat kado pengesahan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Pengesahan itu dilakukan DPR pada 27 Oktober 2008. Memang, respons publik tidak seantusias seperti saat menyambut pengesahan UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan pada 2006. Padahal, pencapaian pengesahan UU tersebut cukup signifikan dari bangsa ini.
Mengingat peran besar media, Imlek kali ini bisa dimanfaatkan untuk sosialisasi UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis agar produk hukum satu ini semakin dikenal. Jangan lupa bahwa perjuangan untuk mewujudkan UU tersebut sebenarnya sudah bermula sejak sepuluh tahun silam, ketika Indonesia meratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi ras. Ratifikasi International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination dituangkan ke dalam UU No 29/1999.
Pada periode keanggotaan Dewan 1999-2004, gagasan UU Penghapusan Diskriminasi dan Etnis mulai dituangkan ke dalam penyusunan RUU. Setelah melewati berbagai kendala, akhirnya UU itu bisa direalisasi dalam hukum positif kita. Sekarang, UU yang berisi sembilan bab dan 23 pasal itu tinggal menunggu teken presiden.
Kita berharap agar UU tersebut bisa mendorong pemerintah untuk melindungi warga negara sekaligus berbuat adil dengan mempersamakan kedudukan, harkat, dan martabat setiap warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan. UU tersebut juga memberikan landasan hukum bagi Komnas HAM untuk mengawal dan mengatasi praktik diskriminasi ras dan etnis.
Bukan Lampu Aladin
Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar yang memimpin rapat pengesahan UU ini berharap segala bentuk dan praktik diskriminasi ras dan etnis di tanah air segera bisa diakhiri. Namun tentu saja UU ini tidak bisa menjadi lampu Aladin yang akan bisa menghapus praktik diskriminasi ras dan etnis secara otomatis. Pasalnya, praktik diskriminasi sudah berlangsung secara sistematis, bahkan didukung regulasi dan praktik birokrasi negara.
Seperti kita tahu, akar dari perlakukan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa pertama-tama memang bersumber dari politik devide et impera penjajah Belanda. Bukan hanya Imlek dilarang dirayakan, ketika itu juga diterapkan Pass and Zoning System. Orang Tionghoa ditempatkan dalam ghetto (pecinan), jika mau keluar masuk kawasannya, mereka harus menunjukkan surat. Lalu, guna mengawal kebijakan yang diskriminatif itu, pemerintah kolonial mendirikan Kantoorvoor Chineeesche Zaken (KCZ).
Hal itu kemudian tertanam di alam bawah sadar oknum birokrat di dispenduk capil atau imigrasi di zaman ini. Ada-ada saja persyaratan yang harus dipenuhi setiap etnis Tionghoa yang hendak mengurus KTP atau surat di kantor kelurahan, kantor kecamatan, hingga catatan sipil.
Kini, dengan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, para birokrat tersebut bisa diancam pidana berat. Lembaga sipil atau publik yang terbukti membedakan orang berdasar etnik akan dipidanakan dengan ancaman hukuman lebih berat 1/3 dari ketentuan dalam KUHP.
Selain itu, disebutkan bahwa pelaku pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasar diskriminasi ras dan etnis akan dikenai pidana pemberatan 1/3 dari ancaman pidana maksimumnya (pasal 17). Jadi, bila hukumannya menurut KUHP sepuluh tahun penjara, kini hukumannya akan ditambah menjadi tiga tahun sehingga total hukuman menjadi 13 tahun penjara.
Terkait dengan korporasi, semisal dalam perusahaan-perusahaan yang kebanyakan dimiliki etnis Tionghoa, bila masih terjadi perlakukan diskriminatif, UU tersebut juga memberi ancaman pidana yang tidak ringan. Namun, terkait hal itu, masih banyak multitafsir dan mengundang polemik yang membuat pembahasan UU tersebut "deadlock" di tengah jalan.
Kepastian Hukum
Memang UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis masih belum bisa memuaskan semua pihak. Sebab, dalam demokrasi, kita tidak akan bisa mendapatkan semuanya. Tapi, setidaknya, lewat UU tersebut sudah ada kepastian hukum atau jaminan dari negara bahwa siapa pun yang mendiskriminasi sesamanya karena alasan ras dan etnisnya diancam pidana yang pasti. Ancaman pidana itu diharapkan bisa memberi efek jera sehingga orang tidak berlaku diskriminatif didorong motif ras dan etnis.
Namun, harus diakui, diskriminasi itu meliputi lingkup yang amat luas dan kompleks sehingga segala bentuk praktik diskriminasi di luar ranah ras atau etnis masih belum disentuh oleh UU itu. Misalnya, dikriminasi terkait agama atau kepercayaan yang masih marak terjadi di negeri ini.
Sebenarnya, jika kita sungguh punya penghargaan jujur pada martabat manusia, kita tidak akan tega melakukan tindak diskriminasi terhadap siapa pun, tak peduli ras, etnis, dan agamanya apa.
Jadi, pemikiran semacam tersebut harus menjadi landasan etis dalam perilaku kita. Tapi, dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, landasan etis saja tidak cukup. Hukum positif seperti UU itu jelas amat perlu, meskipun di sana-sini UU tersebut perlu disempurnakan lagi ke depan.
Gong Xi Fa Cai 2560
*. Tomy Su, koordinator Masyarakat Pelangi Pencinta Indonesia
http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=48742
Kado UU Pengesahan Diskriminasi
Written By gusdurian on Selasa, 27 Januari 2009 | 10.39
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar