BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Gencatan Senjata Tak Akan Kukuh

Gencatan Senjata Tak Akan Kukuh

Written By gusdurian on Senin, 26 Januari 2009 | 09.16

Gencatan Senjata Tak Akan Kukuh

Gaza Ujian Pertama bagi Obama

Mantan senator Joe Biden -yang kini Wapresnya Obama- memprediksi bahwa Presiden Barack Obama akan diuji dengan krisis kebijakan luar negeri di awal masa jabatannya. Tapi, gelombang kekerasan yang baru-baru ini terjadi di Gaza ternyata datang lebih cepat dari itu. Cara Obama merespons konflik ini akan sangat penting tidak saja bagi keamanan orang-orang Israel dan Palestina, tetapi juga bagi penyelesaian konflik Israel-Palestina dan hubungan AS dengan 1,4 miliar muslim di dunia.

Gencatan senjata yang baru-baru ini dilakukan tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah yang menjadi dasar konflik itu. Gencatan senjata itu tidak akan bertahan lama kecuali jika Amerika menginvestasikan modal politik yang kukuh untuk mencapai solusi dua-negara dalam empat tahun mendatang.

Banyak pihak yang ragu akan kemampuan pemerintahan Amerika yang baru dan sekutu-sekutunya untuk mencapai solusi ini. Mereka merujuk kepada kepemimpinan Palestina yang terpecah, keretakan politik yang mendalam di Israel, dukungan kuat dari Iran dan Syria terhadap Hamas dan Hizbullah, serta terbatasnya kemampuan para pemimpin Amerika dalam memotivasi Israel atau Palestina untuk membuat kompromi yang penting bagi perdamaian.

Tantangan yang dihadapi Obama memang signifikan. Meski demikian, kami percaya bahwa kerugian yang akan diderita pemerintahan Obama akibat tidak melakukan apa-apa lebih besar daripada jika mereka melakukan sesuatu meski tak berhasil.

Jika gagal membuat investasi politik yang besar untuk menghentikan konflik, berarti AS melemahkan pemimpin-pemimpin moderat di Israel dan Palestina dan menguatkan para pendukung garis keras. Bahkan, jika dilihat dari perspektif keamanan Amerika, akibatnya akan lebih serius. Mayoritas muslim dunia akan melihat AS bukan sebagai mediator yang netral, tapi sebagai pendukung utama Israel.

Benar atau salah anggapan itu, mereka tetap akan meminta pertanggungjawaban Amerika atas berlanjutnya konflik di kawasan tersebut. Semakin AS dianggap memihak atau tidak aktif dalam mengakhiri konflik, semakin banyak sekutunya di kawasan itu yang akan melepaskan diri dan semakin mendorong rekrutmen ke Al Qaidah serta kelompok-kelompok ekstremis lainnya.

Namun, bila pemerintahan Obama melakukan upaya-upaya yang tak memihak dan berkesinambungan untuk mencapai solusi dua negara, dia tidak saja akan membantu mengurangi konflik Israel-Palestina, tapi juga memulihkan martabat orang-orang Palestina, Arab, dan muslim yang terluka, serta memperbaharui (atau reboot menurut istilah Obama) hubungan AS dengan negara-negara dan masyarakat muslim.

Memediasi?Pemerintahan Obama harus mulai dengan memediasi pihak Israel dan Palestina untuk membuat perjanjian yang kuat. Perjanjian ini harus berdasar pada, bahkan melampaui, upaya gencatan senjata yang sudah dimulai saat ini, serta pada proses perdamaian yang nyaris terhenti dengan pihak Otoritas Palestina (PA).

AS juga harus meletakkan landasan yang kukuh bagi perdamaian yang sesungguhnya. Pasukan keamanan Palestina, dengan kekuatan yang dimilikinya, harus berkomitmen untuk melakukan segalanya (termasuk bekerja sama dengan pihak keamanan dan intelijen Israel) demi mencegah serangan ke Israel. Para pemimpin Israel juga harus membuat komitmen yang sama jelasnya untuk mengakhiri konstruksi perumahan di West Bank, mendukung bantuan kemanusiaan, dan memungkinkan pembangunan ekonomi bagi rakyat Palestina yang tinggal di West Bank dan Gaza.

AS memiliki peran penting dalam menentukan aturan main perjanjian tersebut, memonitor pelaksanaannya, dan memberikan insentif bagi kedua pihak agar mereka menaati perjanjian yang sudah dibuat.

Untuk mencapai kesepakatan apa pun, pemerintahan Obama harus mengatasi perpecahan dalam kepemimpinan Palestina. Bekerja dengan pemerintah Otoritas Palestina (PA) yang melibatkan Hamas, mengakui Israel dan berkomitmen terhadap penggunaan cara-cara non-kekerasan dalam menyelesaikan konflik memang akan lebih bagus. Tetapi, jika Hamas tetap tidak mau terikat dengan perjanjian itu, AS dan sekutunya harus terus bekerja dengan Otoritas Palestina sambil memanfaatkan jalur-jalur informal dan tak langsung (misalnya, melalui Mesir) untuk melibatkan Hamas dalam agenda-agenda kemanusiaan dan keamanan tertentu.

AS dan rekan-rekan kwartetnya -PBB, Uni Eropa, dan Rusia, serta para pemimpin moderat di kawasan itu, juga perlu berurusan dengan Iran dan Syria yang berpotensi mengacaukan perjanjian. AS dan aktor lain perlu menciptakan insentif bagi negara-negara ini untuk menerima, bahkan mendukung, solusi dua negara.

Selama dua tahun mendatang, merinci isu-isu yang sulit seperti isu mengenai perbatasan, hak untuk kembali (right of return) ke Palestina dan juga mengenai Yerusalem, harus dilakukan.

Kesepakatan bisa dicapai jika kedua pihak menghargai perjanjian keamanan sementara dan jika ada upaya-upaya tambahan yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat Palestina, dan untuk mengaitkan resolusi perdamaian dua negara dengan perjanjian damai yang lebih luas di kawasan ini.

Dengan komitmen yang kuat dan berkesinambungan dari presiden terpilih serta keterampilan diplomasi semua pihak untuk menyelesaikan masalah-masalah mendesak dan status final, solusi dua-negara mungkin dalam jangkauan. Tanpa itu, kita mungkin akan melihat berita yang suram lagi dari Gaza.

* Ziad Asali, pendiri American Task Force untuk Palestina dan wakil ketua US-Palestinian Public Private Partnership. Tom Dine, direktur Proyek Syria di Search for Common Ground. Keduanya juga anggota grup Kepemimpinan pada US-Muslim Engagement Program, yang diadakan Search for Common Ground dan Consensus Building Institute. Artikel ini telah memperoleh hak cipta.
http://jawapos.com/
Share this article :

0 komentar: