BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Esensi Demokrasi Perwakilan Bersama DPD

Esensi Demokrasi Perwakilan Bersama DPD

Written By gusdurian on Jumat, 23 Januari 2009 | 10.40

Sebentar lagi pemilu legislatif akan dilangsungkan. Semua calon anggota legislatif (caleg) pasti punya mimpi.Namun,mungkin mimpi caleg DPD tak semanis caleg DPR/ DPRD.


Siapa pun yang akan terpilih akan menemukan kenyataan bahwa kewenangan DPD yang diskemakan dalam UUD 1945 tidak memungkinkan mereka untuk turut serta mengurusi sebagian masalah negara secara paripurna.

Irasionalitas ini bukan perkara sepele, bukan pula perkara DPD,melainkan perkara bangsa,perkara kita bersama. Karena itu, pengorganisasian kekuasaan—yang tidak lain adalah melakukan sistematisasi harapan-harapan pemilik kuasa, yang kini secara teknis politis disebut sebagai orang yang mematuhi— agar mereka yang akan dipatuhi tidak bertindak sesuka hati.

Perbedaan Kecil

Dalam membahas bikameralisme ini dulu Indonesia menjadikan sistem bikameralisme Amerika Serikat (AS) sebagai perbandingan. Jika kita memperbandingkan fenomena perdebatan dalam konvensi konstitusi AS di Philadelphia pada 1787—yang melahirkan bentuk kekuasaan legislatif seperti pada saat ini—dengan perdebatan tentang kekuasaan legislatif di BP MPR tahun 2000–2001 yang lalu, memang terlihat adanya sejumlah perbedaan.

Para delegasi dalam konvensi Philadelphia mewakili daerah dengan status sebagai negara dalam derajat yang sama pada lingkup konfederasi. Anggota BP MPR,betapa pun ada yang mewakili daerah, tetapi status daerah yang diwakilinya bukanlah negara. Konsekuensinya, walaupun mereka berbicara mengenai daerah, semangatnya berbeda dengan semangat delegasi dalam konvensi konstitusi Amerika.

Ketika anggota PAH III pada Sidang Umum MPR 1999, kemudian diubah menjadi PAH I BP MPR memperdebatkan Pasal 2 ayat (1), tidak sedikit dari mereka secara jelas dan tegas memilih strong bicameralism menjadi struktur organ legislatif. Mereka percaya bahwa strong bicameralism akan menghasilkan checks and balances antardua organ legislatif. Paradoks.

Ada apresiasi,tetapi ada pula penolakan. Oleh kutub ini MPR dinilai sebagai representasi orang-orang arif sekaligus menjadi model demokrasi khas Indonesia. Romantisme ini,selain karena kuatnya, juga terdramatisasi dengan semangat integrasi nasional yang menyalanyala.

Hasilnya, lahirlah tesis— bikameral Amerika— bukanlah model yang serasi dengan spirit negara kesatuan dan hakikat filosofis MPR. Menariknya, kutub yang mendukung strong bicameralism juga menggunakan negara kesatuan sebagai argumennya. Bagi mereka, justru untuk mempertahankan negara kesatuan itulah maka bentuk MPR harus direstrukturisasi.

Demi negara, kedua kutub ini harus masuk ke panggung konsensus. Di panggung itulah lahir solusi gemilang. Utusan daerah hilang, begitu juga utusan golongan, tetapi dibentuklah DPD seperti pada saat ini.

Konsensus Baru

Seperti di PAH I, pertentangan ekspektasi juga terjadi dalam konvensi konstitusi Amerika. Pertentangan terartikulasi dalam The Virginia Plan dan The New Jersey Plan. Rencana pertama menekankan single house legislature, terdiri atas lower house dan upper house.

Rencana ini berhadapan dengan rencana kedua yang menekankan penyebaran kekuasaan eksekutif kepada dua organ—presiden dan kongres—serta mencegah tirani dari salah satu kamar legislatif, begitu juga tirani daerah besar yang kaya sumber daya alamnya terhadap daerah kecil yang miskin sumber daya alamnya.

Demi negara,muncullah The Conecticut Compromise. Lahirlah skema constitutional authorityatas organ eksekutif dan legislatif seperti sekarang (James MacGregor Burns dan Jack Walter Peltason,1963). Kita tidak mengenal ketiga rencana di atas, tetapi bukan tanpa konsensus. Konsensus kita, sebut saja konsensus 2001,melahirkan DPD seperti saat ini. Lima tahun sudah konsensus itu diuji dan hasilnya mengecewakan.

DPD bukan tidak berperan, tetapi begitulah nasibnya,cuma bernilai sebagai pemberi pertimbangan.Itu pun terbatas. Padahal,sejak semula organ ini hendak dibangun berdasarkan semangat checks and balances. Semangat ini, begitulah yang teridentifikasi, begitu hebat digunakan oleh PAH I pada awal perdebatan.

Sayangnya cuma menyemangati reorganisasi kekuasaan lain, sehingga tak bermakna dalam lintasan relasi fungsi antarorgan kekuasaan legislatif; DPR-DPD. Untungnya, suara hati kebangsaan saat ini melarang kita untuk memutar haluan bernegara ke belakang,ke masa lalu,betapapunadasekelumit keindahan di sana.

Karena itu, bersama DPD dalam bernegara menurut kutub strong bicameral dalam PAH I BP MPR rasanya tetap segar untuk dijadikan pilihan dalam menata kembali fungsi kedua organ ini. Pilihan ini, begitulah yang dapat dikenali dari asal-usulnya, dahulu kala, sejak diperdebatkan di Philapdelphia pada 1787, adalah sebuah pilihan yang beresensi memanusiakan wajah kekuasaan.

Tujuannya sederhana, agar harga kita sebagai orang-orang merdeka termuliakan. Sebab,semua organ kekuasaan tercegah untuk menjadi tiran bagi organ yang lain. Konsensus baru, menggantikan konsensus 2001, terasa menjadi pilihan bijak untuk meretas jalan ke strong bicameralism. Ada baiknya bosbos partai dan DPD sejenak menyingsingkan kuasa yang ada.

Duduk dan berbicaralah bersama. Berbicaralah sebagai sesama warga negara Indonesia, bahkan sebagai manusia- manusia yang berbudi luhur, yang mengetahui bahwa bernegara, sejatinya bukan soal organ mana yang lebih banyak atau sedikit memperoleh kewenangan. Bernegara semestinya dimaknai sebagai usaha tanpa henti untuk menyehatkan semua tatanan, demi kemuliaan manusia. Semoga.(*)

Margarito Kamis
Doktor Hukum Tata Negara


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/207177/
Share this article :

0 komentar: