BBM Turun, Kemiskinan Tak Ikut Turun
Oleh Bagong Suyanto *Pemerintah berusaha menutup 2008 dengan kesan manis. Belum genap sebulan harga premium bersubsidi turun dari Rp 6 ribu menjadi Rp 5.500 (1 Desember). Tepat pada 15 Desember 2008, harga BBM kembali diturunkan menjadi Rp 5 ribu dan solar menjadi Rp 4.800. Siapakah yang diuntungkan? Bagi pelaku ekonomi, penurunan harga BBM diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan mendongkrak daya beli masyarakat. Penurunan harga BBM bermanfaat pula untuk mengurangi beban biaya produksi yang ditanggung usaha kecil dan menengah. Tetapi, bagi masyarakat miskin, pelaku usaha kecil-mikro, korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dan para pengangguran, apakah kebijakan menurunkan harga BBM itu juga berdampak signifikan? Sejauh mana penurunan harga BBM dapat memicu kembali peluang atau akses masyarakat miskin untuk keluar dari perangkap kemiskinan dan ketidakberdayaan yang selama ini membelenggu mereka?***Di atas kertas, naik turunnya harga BBM mungkin benar akan berkorelasi erat dengan pasang surut kegiatan ekonomi. Ketika pemerintah sebelumnya beberapa kali mengumumkan kenaikan harga BBM, efek domino kebijakan pengurangan subsidi BBM itu dengan cepat melahirkan efek psikologis yang makin membebani masyarakat. Dalam hal ini, harga berbagai kebutuhan pangan dengan segera ikut terkatrol naik, daya beli menurun drastis. Ujung-ujungnya, ancaman PHK tak terelakkan. Sebab, banyak usaha yang gulung tikar karena tak kuat menahan imbas kenaikan harga BBM.Tetapi, lain soal ketika yang terjadi sebaliknya. Pemerintah membuat keputusan populis dengan menurunkan harga BBM yang dipicu terjadinya penurunan harga minyak di tingkat internasional; ternyata rentetan efek positif yang diharapkan tidak terjadi serta-merta begitu saja. Alih-alih harga berbagai kebutuhan pokok dan ongkos produksi ikut turun, justru di lapangan yang terjadi adalah pasar seolah tetap bergeming. Pengusaha angkutan, misalnya, menolak menurunkan tarif dengan alasan harga suku cadang kendaraan bermotor masih tinggi. Penurunan biaya produksi berbagai usaha yang ditekuni masyarakat juga tidak sebanding dengan selisih harga jual produk yang mereka hasilkan. Demikian pula nilai tukar masyarakat miskin, juga tidak otomatis ikut terkatrol naik. Meski, menurut kalkulasi rasionalnya, harga barang di pasaran seharusnya turun signifikan.***Di kalangan masyarakat miskin, sudah lazim terjadi mereka sepertinya selalu jadi korban pertama yang paling menderita dari apa pun keputusan politik pemerintah. Selama setahun terakhir, kita bisa melihat, meski pemerintah dalam berbagai kesempatan selalu mengatasnamakan untuk kepentingan rakyat atas produk-produk kebijakan ekonomi-politik yang dikeluarkan, hasilnya tidak selalu bisa dirasakan manfaatnya langsung oleh masyarakat miskin. Dalam hal ini, paling tidak ada dua kekeliruan utama yang menjadi penyebab kenapa pemerintah tak juga kunjung memahami karakteristik masyarakat miskin. Dan, kenapa pula pemerintah tetap tak peka ketika harus mengambil sikap yang dibutuhkan masyarakat miskin.Pertama, berkaitan dengan kekeliruan pemahaman pemerintah terhadap masyarakat miskin bahwa yang mereka hadapi sebetulnya bukan hanya keterbatasan atau kekurangan pendapatan dari sisi ekonomi, melainkan juga menyangkut aspek ketidakberdayaan. Berbagai studi yang dilakukan LPPM Universitas Airlangga (2008) membuktikan, naik turunnya harga BBM ternyata tidak selalu berkorelasi linier dengan naik turunnya kesejahteraan masyarakat miskin.Pada saat harga BBM naik, yang terjadi adalah masyarakat miskin justru yang harus menanggung beban paling berat. Sebab, sebagian beban yang ditanggung perusahaan besar dan elite ekonomi di tingkat lokal ternyata justru dipindahkan ke pundak masyarakat miskin. Sementara itu, ketika harga BBM turun, pihak yang paling menikmati efek positifnya tak pelak adalah pelaku ekonomi berskala besar, yang maju mundur usahanya berhubungan erat dengan naik turunnya harga BBM. Kedua, berkaitan dengan besarnya harapan pemerintah terhadap arti penting dan peran investasi sebagai dasar untuk membangun fondasi ekonomi daripada penghargaan untuk menempatkan manusia, khususnya masyarakat miskin, sebagai subjek pembangunan. Tidak sekali dua kali terjadi, dengan dalih untuk kepentingan menarik investasi yang sebesar-besarnya dan menghela pertumbuhan ekonomi, pemerintah justru menempatkan kepentingan masyarakat miskin, termasuk para buruh, sebagai prioritas nomor kesekian. Soal UMR, misalnya, yang belakangan ini masih menjadi polemik di berbagai daerah, kita bisa melihat bahwa atas nama kelangsungan usaha dari berbagai perusahaan besar di Indonesia, pemerintah tak segan melanggar hak ekosob (ekonomi, sosial dan budaya) pekerja. Dengan memutuskan bahwa kenaikan UMR yang diputuskan kepala daerah tidak boleh melebihi pertumbuhan ekonomi nasional. Pertanyaannya, ketika pertumbuhan ekonomi sedang naik, apakah pemerintah juga merasa perlu mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan pengusaha membagi kenaikan keuntungannya kepada para pekerja?***Keputusan pemerintah untuk menurunkan harga BBM harus diakui adalah kebijakan populis yang melegakan berbagai kalangan. Membiarkan harga BBM tetap bertengger di harga sebelumnya, cepat atau lambat, akan membuat kondisi perekonomian nasional dan nasib masyarakat miskin makin terpuruk.Tetapi, perlu disadari, untuk membuktikan kepedulian dan kepekaan pemerintah kepada nasib masyarakat miskin, sebetulnya dibutuhkan lebih dari sekadar menurunkan harga BBM. Memasuki 2009 ini, alangkah elok jika concern pemerintah terhadap perbaikan nasib masyarakat miskin juga ditindaklanjuti dengan berbagai kebijakan perlindungan dan pemberdayaan masyarakat miskin secara nyata. *. Bagong Suyanto, dosen kemiskinan di FISIP Universitas Airlangga
http://jawapos.com/
BBM Turun, Kemiskinan Tak Ikut Turun
Written By gusdurian on Kamis, 01 Januari 2009 | 12.15
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar