BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Bambang Istadi : Mendebatkan Lumpur Sidoarjo

Bambang Istadi : Mendebatkan Lumpur Sidoarjo

Written By gusdurian on Senin, 05 Januari 2009 | 12.09

Mendebatkan Lumpur Sidoarjo
Kasus lumpur Sidoarjo secara teknis masih memancing pro dan kontra. Misalnya, underground blowout (UgBO) di sumur Banjarpanji-1 yang selama ini dituding sebagai penyebab (Davies et.al 2007 and Tingay et.al 2008), masih berupa sebuah hipotesis yang kontroversial karena berbagai data dan fakta yang bertentangan. Selain hipotesis ini perlu dibuktikan kebenarannya, masih ada dua hipotesis lagi yang berseberangan, yaitu mud volcano yang disebabkan remobilisasi zona bertekanan tinggi (overpressured zone) melalui bidang sesar yang tereaktifikasi oleh meningkatnya gerakan tektonik dan gempa (Mazzini et.al. 2007) dan hipotesis Geothermal, yaitu keluarnya superheated hydrothermal fluids bertemperatur dan tekanan tinggi melalui bidang rekahan (Sudarman et.al. 2007). Kenaikan aktivitas tektonik sebagai penyebab munculnya lumpur Sidoarjo (Lusi) ditunjang adanya kenaikan aktivitas Gunung Semeru dan Merapi tiga hari setelah gempa Yogya pada 27 Mei 2006 serta adanya kejadian kehilangan lumpur hasil pengeboran (loss circulation) di sumur Banjarpanji-1 sekitar 10 menit setelah gempa dan total loss sirkulasi setelah 2 kali aftershock. Termal data yang direkam Moderate Resolution Imaging Spectrometer (MODIS) menunjukkan adanya kenaikan aktivitas Gunung Merapi dan Semeru sebesar 2-3 kali, seperti dibahas dalam Paper Harris and Ripepe, 2007. Mud volcano sebenarnya bukan hal baru di Jawa Timur, seperti yang bisa kita lihat di Porong collapse structure (7km dari Lusi), Kalang Anyar & Pulungan (Sedati, Sidoarjo), Gunung Anyar (Kampus UPN Surabaya), Bleduk Kuwu & Keradenan (Purwodadi), Wringin Anom/Pengangson (Gresik), Semolowaru (Kampus Unitomo, Surabaya), Dawar Blandong (Mojokerto), Sangiran (Jawa Tengah), Socah (Bangkalan, Madura). Mud volcano sudah ada sejak zaman dahulu, bahkan tercatat di Kitab Pararaton, Serat Kanda, Babad Tanah Jawi, cerita rakyat Timun Mas (Satyana, 2007). Hanya kelahirannya kali ini dikaitkan dengan pengeboran sumur sebagai penyebab. Setelah berbagai data pengeboran sumur dianalisa, ternyata di dalam sumur tidak terjadi UgBO. Tekanan di dalam sumur terlalu rendah untuk mengakibatkan rekahan panjang dan menahan rekahan tersebut tetap terbuka agar lumpur bisa keluar. Sumurnya pun, yang merupakan jalur termudah (least resistance path) bagi keluarnya lumpur dalam keadaan mati, tidak mengeluarkan lumpur, cairan, serta gas. Padahal sejak saat awal Lusi sudah mengeluarkan lumpur dengan debit yang sangat tinggi, sebesar 50.000m3 atau lebih dari 300.000 bbl/hari, posisi BOP (blowout preventer) dalam keadaan terbuka. Aktivitas pengeboran masih dapat dilakukan seperti fishing, cementing dan circulating, dan lain-lain. Pada saat awal semburan, debit lumpur setara dengan sepertiga produksi minyak Indonesia, di masa puncaknya debit melebihi produksi minyak Indonesia, sejuta barel per hari. Kemungkinannya sangat kecil bagi sebuah sumur untuk mengeluarkan debit yang ekstrem tersebut, dibutuhkan parameter aliran dan reservoir seperti permeabilitas lebih besar dari 3.500 mD dengan radius sumur 2286 kali (sekitar 1.4 km diameter) dan terekspos pada formasi kujung setebal 3.200 kali. Simulasi debit ini dilakukan dengan rumus radial flow equation Darcy Law (Nawangsidi, 2007). Sebagai gambaran, permeabilitas tertinggi pada sumur produksi formasi kujung sebesar 22,5 mD. Jadi, untuk mencapai debit Lusi dibutuhkan parameter aliran 140 kali lebih besar. Saat pertama kali terjadi semburan pada 29 Mei 2006, dilakukan injectivity test di sumur untuk mengetahui apakah semburan berhubungan dengan sumur. Setelah lumpur pengeboran dipompakan sebanyak 2 kali, tidak ada tanda-tanda penurunan tekanan seperti layaknya ban bocor. Tekanan bertahan pada 900 psi. Injectivity test berikutnya dilakukan pada hari berikutnya sebelum melakukan penyemenan dengan injection pressure sebesar 370 psi dengan rate of 2.5 bbl/menit yang juga menunjukkan tidak ada hubungan antara semburan dan sumur. Kunci untuk menentukan apakah formasi pecah adalah dengan perhitungan apakah telah terjadi UgBO yang mengakibatkan tekanan tinggi yang memecah formasi pada titik terlemah. Perhitungan dengan menggunakan nilai shut in casing pressure, fluid density, bottom hole pressure dan leak off test data. Perhitungan itu haruslah menggunakan data-data yang terbaca di sumur serta fakta yang terjadi di lapangan. Dari perhitungan itu terungkap bahwa formasi tidak pecah. Salah satu upaya untuk menyelidiki apakah ada hubungan antara semburan dan sumur adalah saat dilakukan operasi snubbing dan re-entry pada sumur lama dengan melakukan sonan dan temperature logging. Jika terjadi UgBO, formasi akan pecah pada titik terlemah di casing shoe dan lumpur akan mengalir di belakang casing. Namun, hasil logging sonan tidak menunjukkan adanya 'noise' seperti lazimnya jika ada aliran fluida di belakang casing dan tidak ada kelainan anomaly temperatur yang diharapkan jika memang telah terjadi UgBO. Jika semburan berhubungan dengan sumur dan mengalir lewat sumur, beberapa bulan kemudian setelah semburan semakin membesar seharusnya lubang sumur yang belum terpasang casing menjadi besar sekali karena tergerus aliran fluida yang sangat besar. Teori itu sering diungkapkan kelompok UgBO, ketika fluida mengalir dari formasi kujung menggerus lempung di formasi kalibeng, memecah formasi dan membawa lumpur hasil gerusan. Jika memang demikian yang terjadi, 'fish' yang berada dalam lubang harusnya sudah jatuh, tidak terjepit lagi karena lubang telah menjadi sangat besar. Faktanya, pada saat melakukan operasi snubbing pada akhir Juni sampai akhir operasi re-entry di pertengahan Agustus 2006, 'fish' tidak bergeming, tidak jatuh, dan tetap pada posisi saat pertama kali ditinggalkan. Perbedaan pendapat dan interpretasi sebenarnya hal biasa. Namun, karena menyangkut hajat orang banyak, alangkah indahnya jika kubu-kubu yang saling bertentangan duduk bersama, melihat data dan fakta yang sesungguhnya terjadi, berdiskusi, berdebat sampai tuntas. Sayangnya hal itu tidak terjadi di negeri sendiri. Justru The Geological Society di London dan American Association of Petroleum Geologist (AAPG) di Cape Town yang malahan akan menggelar sesi khusus mengenai Lusi sebagai ajang debat para pakar dunia. Saat masalah korban terus diselesaikan, soal pemicu munculnya semburan Lusi perlu dituntaskan. Mungkinkah digelar dalam forum debat tuntas dan diselenggarakan di Indonesia? Oleh Bambang Istadi, Geolog dan Praktisi Perminyakan

http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=MzI5NDA=
Share this article :

0 komentar: