Tahun 2008 segera berlalu, datang 2009.Saatnya meninggalkan kenangankenangan buruk tahun lalu untuk memupuk optimisme bersama.Banyak peristiwa di bidang ekonomi,politik,dan hukum bisa menjadi pelajaran dalam mengarungi perjalanan tahun depan. SINDO menurunkan opini dari pakar di bidang politik, ekonomi,dan hukum sebagai bahan refleksi sebelum menyiapkan proyeksi menghadapi tahun depan.
HUKUM Indonesia adalah hukum yang mengalir, karena itu tak dapat dipotongpotong dalam bilangan tahunan. Kendati demikian, orang terbiasa membuat neraca pada akhir tahun sehingga hukum hanya bernilai sebagai semacam laporan saja. Perjalanan hukum Indonesia yang utuh baru dapat dituliskan nanti satu abad atau lebih yang akan datang. Catatan hukum yang dapat dibuat sekarang adalah perjalanan hukum Indonesia yang mengalami momentum Reformasi sejak 1998. Gerakan reformasi itu masih berlangsung terus sampai sekarang dan bertahuntahun mendatang. Singkat kata, reformasi berjalan terus, termasuk reformasi hukum. Oleh karena itu, laporan hukum 2008 ini merupakan satu bagian kecil saja dalam konteks reformasi yang masih berjalan. Catatan terhadap hukum sepanjang 2008 hanya sepotong atau riak kecil saja dari gelombang besar reformasi hukum selama 10 tahun terakhir. Satu dekade terakhir ini kita belajar bahwa hubungan antara hukum dan politik sangat erat dan hal itu benar-benar dirasakan. Reformasi hukum bukan dimulai dari hukum sendiri, melainkan dari politik. Cara berpolitik lama yang otoriter dan sentralistik dirasakan tidak benar dan karena itu diubah dan ditinggalkan. Kejatuhan pemerintahan Presiden Soeharto yang waktu itu masih ingin memperpanjang kekuasaannya menjadi simbol dan awal dari reformasi.
Terbukalah lembaran baru sejarah negeri kita yang diisi dengan gerakan demokratisasi, civil society, transparansi, dan seterusnya. Hukum bisa bekerja dengan langgam business as usual sehingga bersifat konvensional dan mandek. Maka,gelombang perubahan politik tersebut sangat menentukan arah perjalanan (course) hukum di Indonesia. Sekalian ciri perubahan tersebut di atas mengetuk pintu hukum dan ingin diterjemahkan ke dalam cara berhukum bangsa kita. Akhirnya gelombang perubahan politik itu mampu menggerakkan perubahan dalam hukum. Kita melihat banyak institusi baru didirikan yang mencerminkan perubahan tersebut seperti Komisi Hukum Nasional,Komisi Reformasi Hukum Nasional, Judicial Watch, Judicial Review, dan banyak lagi lainnya. Suatu masyarakat madani (civil society) mulai bangkit dan itu sangat memengaruhi (arah) perjalanan hukum. Selama beberapa tahun terakhir ini,korupsi menjadi fokus dan sasaran tembak hukum.Korupsi ini merupakan (legacy) masa lalu, terutama karena kekuasaan waktu itu tidak mau tunduk kepada kontrol publik. Sekarang keadaan sudah berbalik. Namun, sindrom kebebasan masa reformasi juga membawa efek negatif lantaran korupsi kemudian menyebar ke mana-mana, tidak hanya di tingkat pusat.Otonomi daerah yang merupakan anak reformasi ternyata juga menjadi jalan bagi menyebarnya korupsi tersebut.DPR yang sejak reformasi mendapatkan kekuatan baru untuk menghadapi eksekutif akhirnya menjadi sasaran empuk dari korupsi. Orang makin ingin ”membeli DPR” yang sudah bangkit menjadi pusat kekuasaan baru itu. Hukum tiba-tiba dihadapkan pada pekerjaan-pekerjaan besar yang baru sebagai hasil dari reformasi politik. Pertanyaannya, apakah hukum siap untuk menangani pekerjaan rumah yang baru tersebut? Di muka sudah dikatakan bahwa hukum itu memiliki watak yang lamban apabila dihadapkan pada perubahan. Maka berbagai persoalan baru dan besar tersebut juga masih dihadapi dengan berhukum yang lama.
Untuk menghadapi persoalan yang harus diselesaikan hukum tersebut, perlu ditempuh cara-cara progresif dan luar biasa.Alasan untuk itu sederhana saja, yaitu persoalan seperti korupsi yang sudah menjadi kejahatan luar biasa itu perlu dihadapi dengan cara-cara luar biasa pula. Untuk mendukung usaha tersebut, diperlukan perubahan cara berpikir (mindset) menjadi progresif. Ini memang pekerjaan tidak mudah karena para aktor hukum sangat gamang dengan pikiran progresif, luar biasa, dan sebagainya. Sikap seperti itu tidak dapat terlalu disalahkan karena sejak di bangku kuliah, para mahasiswa hukum sudah mengalami ”cuci otak” menjadi bagian dari mesin hukum. Produk pendidikan hukum yang demikian itu lebih menjadikan para pelaku hukum sebagai bagian dari mesin daripada berani berpikir dan bertindak kreatif progresif. Inilah pekerjaan rumah yang kita hadapi sejak reformasi dan sampai hari ini belum kunjung teratasi dengan baik. Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),Komisi Yudisial, dan lainnya hanya akan berfungsi efektif apabila disertai dan didukung perubahan cara berhukum menjadi progresif, kreatif, dan berani keluar dari cara berhukum konvensional (out-of-the box lawyering). Koruptor diwajibkan mengenakan baju dengan cap ”koruptor” adalah langkah yang sangat kecil dibandingkan dengan tantangan untuk mengubah cara berhukum kita menjadi lebih progresif. Untuk 2009, diperkirakan hukum masih harus berkutat dengan agenda besar tersebut, yaitu membuat hukum itu menjadi lebih efektif dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Untuk itu, sebaiknya kita tidak beranggapan bahwa hukum itu bekerja dengan cara yang tetap, ajek, dan tidak pernah berubah. Sesungguhnya,hukum itu juga tunduk pada hukum challenge and response (tantangan dan jawabannya). Hukum tidak statis, melainkan dinamis. Pada saat hukum tetap bekerja dengan cara lama dan konvensional, padahal persoalan yang dihadapi berubah, sesungguhnya ia berhenti menjadi institusi yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakatnya.
Menghadapi pekerjaanpekerjaan besar, para pemimpin penegakan hukum sebaiknya terdiri atas orangorang yang ”tidak punya beban dan kepentingan” sehingga dapat bekerja dengan penuh amanah dan konsentrasi. Ini menjadi lebih penting lagi sejak hukum yang sekarang tidak hanya harus berhadapan dengan penjahat dan kandidat penjahat nasional, tetapi juga internasional. Mereka memiliki sumbersumber yang melimpah sehingga senantiasa mengancam kejujuran penegakan hukum di negeri ini. Danadana yang diberitakan mengalir ke DPR sebagai institusi pembentukan undangundang membuktikan kebenaran itu. Maka tidak cukup kita memiliki pemimpin penegakan hukum yang profesional, tetapi juga seorang yang berkualitas pejuang (vigilante). Sebagai pejuang, mereka perlu memiliki komitmen, dedikasi,kejujuran, dan keberanian di atas profesionalitas. Jaksa Agung Hendarman Supandji sudah mulai dengan start yang baik ketika berani ”menantang” Presiden saat ditunjuk sebagai Jaksa Agung dengan mengajukan pertanyaan, ”Bagaimana kalau nanti saya harus berhadapan dengan orangorang yang dekat dengan Bapak?” Sungguh suatu pertanyaan yang nakal, tetapi baik. Rupa-rupanya Jaksa Agung ingin memperoleh konfirmasi bahwa dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala sebuah institusi yang berada di bawah Presiden, ia tidak akan mengalami hambatan-hambatan. Sejak hukum itu bekerja dalam suatu ruang hampa (vacuum),tidak mudah untuk menilai kebersihannya. Ia tidak sepenuhnya tergantung dan ditentukan oleh para pemimpin penegakan hukum. Di muka sudah disinggung betapa hukum suatu bangsa sekarang harus berhadapan dengan kekuatankekuatan raksasa dunia. Karena sumber-sumber melimpah yang mereka miliki, mereka akan melakukan apa saja agar kepentingannya terjamin dan terlindungi. Dalam keadaan seperti ini, dunia dapat menjadi suatu ”dunia-tanpa-hukum” (lawless world).
Hukum menjadi semacam jaring labalaba yang hanya menangkap nyamuk-nyamuk kecil,tetapi menjadi rusak ditabrak burung yang besar. Korupsi di Indonesia pada era 1950-an masih sangat sporadis dan karena itu hukum Indonesia juga masih lumayan baik. Namun setengah abad kemudian, korupsi sudah merangsek memasuki pusat-pusat hukum seperti DPR, Mahkamah Agung, kejaksaan. Syed Hussein Alatas, seorang sosiolog korupsi, mengatakan bahwa korupsi sudah ibarat benalu yang mulai memakan pohon tempat ia menempel sehingga pohon dan benalu pada akhirnya akan sama-sama mati. Kita sungguh dihadapkan pada persoalan dengan magnitudo luar biasa yang belum pernah kita hadapi sebelumnya. Untuk itu, bekerjanya hukum perlu kita dorong sampai ke titik yang benarbenar optimal.Pada 2009 dan tahun-tahun mendatang, menurut saya,hanya ada satu persyaratan kunci, yaitu kita harus bersatu, bersatu, dan sekali lagi bersatu. Dari pengalaman-pengalaman yang lalu, kebersatuan ini masih menjadi titik yang sangat lemah dalam kehidupan berbangsa, termasuk kehidupan berhukum. Ketidakbersatuan dan kekompakan antara kita sendiri menjadikan hukum kita lemah berhadapan dengan penjahat-penjahat yang memiliki sumber hampir tak terbatas itu.Mereka ini, baik dari dalam maupun luar negeri, sangat berkepentingan agar kita tidak bersatu.Kalau kita benar-benar bersatu, semuanya akan bergerak secara serempak dan tidak ada lagi perkara jegal menjegal antara sesama komponen kekuatan bangsa yang hanya akan melemahkan diri kita sendiri.(*) SATJIPTO RAHARDJO Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/
199302/38/
Saatnya Bertindak Kreatif dan Progresif
Written By gusdurian on Jumat, 26 Desember 2008 | 12.49
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar