BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Fuad Bawazier : Krisis 1998 vs Krisis 2008

Fuad Bawazier : Krisis 1998 vs Krisis 2008

Written By gusdurian on Jumat, 26 Desember 2008 | 12.50

Ketika Thailand terkena krisis moneter 1997, seketika itu pula Tim Ekonomi Pemerintah Indonesia mengumandangkan pernyataan bahwa Indonesia tidak perlu khawatir karena, katanya, fundamen ekonomi kita kuat.
Presiden Soeharto dan rakyat pun tenang mendengar penegasan itu. Tapi tak lama kemudian, krisis moneter melanda Indonesia yang menunjukkan fundamen ekonomi kita rapuh. Pernyataan fundamen ekonomi Indonesia kuat hanya dikenang bak lagu Melayu tua atau propaganda ala pedagang obat kuat di pasar malam di alun-alun. Makroekonomi Indonesia pada saat itu (1997/98) memang rapuh karena banyak faktor seperti banyaknya utang dalam valas, proyek jangka panjang yang dibiayai dengan utang jangka pendek, proyek berpenghasilan rupiah dibiayai valas, pengambilan kredit perbankan yang jauh melebihi nilai proyeknya,APBN defisit yang tidak efisien dan efektif,devisa hasil ekspor yang disimpan di luar negeri,perbankan yang kurang sehat, jumlah orang miskin dan pengangguran yang relatif masih besar, dan seterusnya. Dalam banyak hal, kondisi ekonomi Indonesia sekarang ini sebenarnya belum banyak berubah dari kondisi 11 tahun yang lalu. Bahkan kini daya beli masyarakat relatif menurun, semakin banyak porsi APBN yang dialokasikan untuk birokrasi dan penyelenggara negara, serta defisit APBN, dan utang negara meningkat/ bertambah. Menjelang maupun setelah krisis 1997/1998 maupun krisis 2008, neraca perdagangan sama-sama surplus dengan kecenderungan ekspor menurun drastis, kurs rupiah dan IHSG sama-sama melemah, bunga sama-sama naik meski tidak segila kenaikan 1998. Tetapi harga komoditas primer Indonesia pada 1998 naik tajam (utamanya karena kenaikan kurs rupiah), sementara dalam krisis keuangan global sekarang ini justru volume dan harganya anjlok. Kedua krisis ini sama-sama telah menaikkan angka inflasi dan seretnya kredit perbankan yang melemahkan sektor riil.Kondisi perbankan juga sama-sama kurang sehat, meski dengan tingkat kekhawatiran yang berbeda. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebenarnya tidak banyak beda dengan sebelum krisis 1997/98 maupun krisis 2008. Bedanya justru pada saat krisis dan periode-periode sesudahnya. Krisis 1998 telah mengakibatkan pertumbuhan ekonomi negatif, sedangkan dalam krisis 2008, pertumbuhan ke depan diperkirakan masih tetap positif,meski menurun. Tetapi hal ini tidak berarti karena fundamen ekonomi 2008 lebih baik dari fundamen ekonomi 1997. Bila pertumbuhan ekonomi 2009 masih diharapkan positif semata-mata karena krisis sekarang ini bukan krisis orisinal kita seperti tahun 1997/1998, tetapi cuma (kena) imbas dari krisis keuangan Amerika Serikat. *** Krisis moneter (krismon) 1997/98 berdaya rusak luar biasa besarnya karena persoalannya tidak cuma ekonomi, tapi juga politik, yaitu agenda kekuatan tertentu dalam negeri dan asing untuk menumbangkan pemerintahan Soeharto yang diikuti dengan penjarahan aset-aset nasional. Selain itu, krisis 1997/98 tidak ditangani dengan benar, tetapi dengan resep-resep sesat IMF atau yang sengaja dikelirukan. Dalam krisis keuangan sekarang ini seharusnya SBY dapat lebih bebas dan berdaulat mengatasinya karena tidak ada lagi LoI-IMF. Yang penting SBY harus berangkat dari pengakuan bahwa lagu “fundamen ekonomi kita kuat” itu keliru dan membuat kita lengah. Fundamen ekonomi yang masih rapuh itulah yang menyebabkan nilai tukar rupiah merosot melebihi merosotnya mata uang negara sekitar terhadap dolar Amerika dan bunga rupiah harus dinaikkan ketika di negara-negara lain diturunkan antara 40–90%.Selain itu, inflasi naik tajam meski realisasi pembelanjaan APBN terseok-seok. Itulah sebabnya meski APBN dirancang defisit, tapi dalam realisasinya sering surplus. Sebenarnya kalau mengikuti RJPM 2004– 2009, seharusnya APBN sudah zero deficit, tetapi pemerintah tetap saja mengajukan APBN defisit dan stok utang terus bertambah. Untuk 2009, ekspor dan investasi diprediksi menurun. Kedua krisis ini juga sama-sama menimbulkan gelombang PHK dan logikanya sama-sama menambah jumlah orang miskin.Bedanya,dalam periode sebelum krisis 1997/1998 APBN tidak mempunyai pos anggaran penanggulangan kemiskinan, sedangkan sebelum krisis keuangan global 2008 APBN telah lama menganggarkannya. Dalam tahun 2007 dan 2008 anggaran penanggulangan kemiskinan masing-masing Rp50 triliun dan Rp78 triliun yang disalurkan dalam bentuk bantuan tunai langsung (BLT), beras untuk masyarakat miskin, dan lain-lain.Anggaran ini akan terus meningkat signifikan yang mengindikasikan antisipasi pemerintah terhadap kenaikan jumlah orang miskin, atau sekurang-kurangnya untuk menekan jumlah orang miskin. Bila diasumsikan jumlah orang miskin versi BPS 35 juta, maka bila dirata-ratakan per orang mendapat bantuan dana kemiskinan Rp2.200.000/tahun. Artinya, tanpa dana bantuan penanggulangan kemiskinan itu sebenarnya jumlah orang miskin di Indonesia 2007/2008 jauh lebih besar lagi. Bisa jadi jumlahnya seperti yang pernah diasumsikan dalam perhitungan Askin bahwa terdapat 19 juta keluarga miskin.Bila satu keluarga terdiri atas 5 orang, berarti jumlah orang miskin 95 juta. Itu jumlah yang tidak jauh beda dengan hasil perhitungan kemiskinan ala Bank Dunia yang menggunakan batas USD2/orang/hari. *** Untuk mengklarifikasi keraguan ini, pemerintah dan BPS seharusnya menghitung jumlah orang miskin dengan mengeluarkan pos anggaran penanggulangan kemiskinan agar diperoleh angka yang tidak bias.Jangan sampai pemanfaatan uang anggaran negara untuk dibagi-bagi pada si miskin diklaim seolah-olah sebagai sukses partai politik tertentu. Membagi uang tunai dari APBN adalah suatu pekerjaan populer yang amat mudah—yang dapat dilakukan oleh siapa pun presidennya.Tetapi harus diingat bahwa policyseperti ini bukan saja tidak mendidik, tetapi juga identik dengan tindakan putus asa pemerintah.Artinya,pemerintah bukannya memerangi kemiskinan, tetapi justru “memelihara” kemiskinan tersebut, dan menggunakannya sebagai alat propaganda murahan untuk memperoleh dukungan politik. Kesimpulannya, krisis ekonomi 2008 bagaimanapun akan berdampak serius kepada perekonomian Indonesia khususnya jumlah pengangguran dan kemiskinan yang akan meningkat tajam. Karena itu, sebaiknya langkah-langkah yang diambil pemerintah harus dilandasi kejujuran dan pemahaman bahwa fundamen ekonomi Indonesia tidak sekuat yang dipropagandakan tim ekonomi pemerintah.(*) DR Fuad Bawazier Mantan Menkeu, Ketua DPP Hanura

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/199286/
Share this article :

0 komentar: