BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Ongkos Ekososial Tol Trans Jawa

Ongkos Ekososial Tol Trans Jawa

Written By gusdurian on Sabtu, 20 Desember 2008 | 10.17

Ongkos Ekososial Tol Trans Jawa
I G.G. Maha Adi
Wartawan dan mahasiswa pascasarjana kajian ilmu lingkungan Universitas Indonesia
Target swasembada beras yang terancam oleh masifnya konversi lahan persawahan di Pulau Jawa, dan banjir yang diperkirakan masih akan datang hingga awal tahun depan, membuat Menteri Pekerjaan Umum bergeming dengan rencana proyek jalan tol Trans Jawa. Menurut Menteri, pemerintah sudah memperhitungkan semua dampak jalan tol sepanjang 652 kilometer yang akan mengubah 4.264 hektare lahan, sebagian besar persawahan, itu.
Rencana pemerintah itu perlu ditelisik lebih cermat, terutama karena beberapa alasan yang berkaitan dengan keberlanjutan ekologis Pulau Jawa dan Laut Jawa. Pertama, perhitungan dampak terkesan hanya memasukkan konversi lahan sepanjang jalan tol dan sempadannya, tetapi belum memperhitungkan dampak konversi lanjutan lahan-lahan pertanian di sekeliling jalan tol yang akan menjadi pompa bensin, tempat perhentian, minimarket, atau pabrik yang akan menjamur untuk mendapatkan akses terdekat dan tercepat ke jalan tol. Ditambah pula kemungkinan pertumbuhan kawasan perumahan dan segala fasilitasnya di sepanjang jalan tol, seperti yang terjadi di jalan tol Cikampek, Jagorawi, dan sebentar lagi Cipularang. Dampak yang pasti, seluruh konversi itu akan memperluas tanah kedap air, sehingga memperbesar limpasan air permukaan yang menyebabkan banjir, seperti yang menimpa jalan tol Sediyatmo di Jakarta setiap musim hujan.
Pakar ekologi Hasroel Thayib dari Universitas Indonesia menyatakan, luas tanah di Pulau Jawa yang ideal untuk sawah hanya 10,5 juta hektare, sisanya adalah tanah dengan kemiringan curam yang harus dihutankan sebagai kawasan penyangga fungsi-fungsi hidro-orologis untuk menjamin ketersediaan air bagi sawah. Jika satu orang membutuhkan 0,7 hektare lahan pertanian agar dapat hidup layak, maka jumlah penduduk yang bisa ditopang pulau ini hanya 15 juta orang. Kenyataannya, saat ini penduduk Jawa mencapai 117 juta orang atau hampir delapan kali lebih besar dari daya dukung luas sawahnya, sehingga konversi lahan produktif dapat memperbesar bencana lingkungan.

Hasil studi Tim Kajian Daya Dukung dan Kebijakan Pembangunan Pulau Jawa yang didukung Menko Perekonomian menyatakan, menguatnya daya tahan Pulau Jawa, yang jumlah populasinya melebihi daya dukungnya, disebabkan oleh pasokan sumber daya alam dari pulau lain dan impor. Tim yang sama juga menyatakan bahwa klaim pertumbuhan ekonomi setiap kabupaten/kota di Jawa seharusnya dikurangi 2-3 persen untuk biaya pemulihan lingkungan, karena sebagian besar lingkungannya mengalami degradasi berlanjut, antara lain karena konversi lahan produktif.
Bila lahan produktif terus berkurang, dalam jangka panjang hasil pertanian, perkebunan, dan hutan Pulau Jawa juga akan berkurang. Intensifikasi lahan pertanian tidak banyak berarti bila tak ada air atau malah puso karena terendam banjir. Artinya, penduduk Jawa akan semakin bergantung pada barang dan produk dari luar pulau, sehingga pembangunan jalan tol itu justru meningkatkan arus masuk barang, bukan arus ekspor ke luar Jawa. Penduduk Jawa dalam jangka panjang akan menjadi konsumen yang semakin rakus mengkonsumsi segala barang yang didatangkan dari luar pulau. Kelancaran masuknya barang dapat menumpulkan kepekaan masyarakat terhadap krisis lingkungan dan pangan di Jawa. Kenyataan semu bahwa semuanya baik-baik saja akan memberi harapan semu juga bahwa Pulau Jawa tetap gemah ripah loh jinawi.
Gambaran semu tentang betapa cerahnya masa depan di Pulau Jawa dengan kemegahan industrialisasinya juga dapat mendorong banyak keluarga untuk tetap melahirkan banyak anak karena anggapan masih cukup pangan dan rezeki, sehingga dampak Program Keluarga Berencana tidak maksimal. Dampak turunannya adalah konversi lahan produktif akan terus berlangsung secara masif.
Kedua, masih kentalnya dominasi pendekatan ekosistem satu sisi, yaitu pendekatan yang hanya berorientasi pada daratan (land-based ecosystem), dan mengabaikan laut (marine-based ecosystem), sehingga terkesan kurang holistik. Karena semua sungai di bagian utara Jawa bermuara ke Laut Jawa, proyek sebesar jalan tol Trans Jawa justru lebih banyak berdampak negatif pada ekosistem pesisir dan laut, bukan daratan. Laut Jawa, seperti juga Laut Arafuru atau perairan Selat Malaka, adalah laut dangkal yang memiliki produktivitas primer sangat tinggi, bisa mencapai 10.000 gr C per meter persegi per tahun yang merupakan penopang tingginya produktivitas sekunder berupa ikan dan hewan laut lainnya, sehingga menjadi sumber pangan paling penting di masa depan.

Limbah domestik dan industri yang dibuang begitu saja ke dalam ratusan sungai besar dan kecil yang bermuara di Laut Jawa akan meningkatkan pencemaran laut sehingga menurunkan produktivitas primer dan sekundernya. Masyarakat pesisir akan menjadi korban pertama dan terbesar, karena polutan akan mematikan sumber pendapatan mereka, dan rob (banjir laut) akan merendam mereka seperti yang sekarang kerap terjadi di Muara Angke, Jakarta.
Ketiga, terjadinya perubahan lingkungan sosial. Kota dan industrialisasinya akan menjadi faktor penarik (pull factor) urbanisasi yang saling menguatkan dengan faktor pendorong (push factor) seperti rendahnya upah petani dan menyempitnya sawah. Tanpa daya saing yang kuat, para pendatang dari desa ini justru menjadi beban bagi kota, dan muncullah apa yang diteorikan oleh sosiolog Universitas Harvard, William Julius Wilson, sebagai urban inequality (ketimpangan kota).
Pembangunan memang harus berlangsung, tetapi meningkatkan kualitas jalan di Pantura mungkin lebih baik ketimbang membangun tol lintas baru. Jalan lainnya adalah melirik kembali daerah Jawa bagian selatan yang subur tetapi terisolasi dan tertinggal. Bila infrastruktur jalan dan pelabuhan samudra di selatan dibangun sebaik dan secepat di utara, barang dan hasil pangan dapat didistribusikan dengan cepat dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru akan tumbuh lebih merata di Pulau Jawa. Pesisir dan Laut Jawa, yang menjadi sumber pangan masa depan, akan lebih lama menghidupi bangsa ini. *
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/12/19/Opini/krn.20081219.151407.id.html
Share this article :

0 komentar: