BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Firman Noor : Berbagai Sisi Proporsional Terbuka

Firman Noor : Berbagai Sisi Proporsional Terbuka

Written By gusdurian on Sabtu, 27 Desember 2008 | 12.36

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan sistem nomor urut calon legislatif (caleg) membawa angin segar bagi kehidupan politik Indonesia.
Kebijakan itu membawa bangsa ini pada sebuah fase baru kehidupan demokrasi di mana secara esensial makna pemerintahan dari rakyat (from the people) akan semakin terealisasi. Dengan dibatalkannya Pasal 214 UU Pemilu Legislatif yang menggiring sistem politik nasional ke dalam praktik pemilu dengan model proporsional terbuka menyebabkan rakyat benarbenar menjadi variabel yang menentukan tentang siapa yang akan menjadi wakil dirinya dalam parlemen. Sebegitu besar makna positif yang terkandung di dalamnya beberapa kalangan menyebutnya sebagai ”kado akhir tahun” MK kepada bangsa ini. Makna Positif Setidaknya ada empat hal yang patut dilihat sebagai sisi positif dari keputusan MK ini. Pertama, kebijakan ini lambat tapi pasti akan cenderung memutus rantai oligarki partai politik. Fenomena oligarki yang selama ini terjadi disebabkan terutama karena penentuan nomor urut seorang calon anggota legislatif (caleg) kerap tidak didasarkan pada kerjakerja konkret mereka di lapangan, namun lebih karena kedekatan caleg tersebut dengan jajaran pimpinan partai. Kedua, dampak yang kemudian muncul dari situasi di atas adalah caleg dipaksa untuk lebih bekerja keras. Dia tidak lagi dapat mengandalkan partainya ataupun para petinggi partai. Tentu saja diharapkan tidak sebatas spanduk-spanduk yang merusak pemandangan itu.
Namun lebih kepada gerakan mendengar dan memperjuangkan aspirasi rakyat secara lebih konkret. Ketiga, fenomena ini akan dengan sendirinya membangun akuntabilitas antara wakil rakyat dengan rakyat yang diwakilinya. Karena sifatnya yang institusional, secara individual, wakil rakyat tidak merasa berkewajiban untuk memenuhi janji-janji tersebut dan berkecenderungan untuk berlindung di balik ketiak partai dalam menghadapi tuntutan rakyat. Di masa yang akan datang kedekatan yang dibangun akan memudahnya rakyat untuk menuntut apa yang pernah dijanjikan seorang caleg semasa kampanye. Di sisi lain seorang caleg pun dipaksa untuk terbiasa menyampaikan gagasan yang komprehensif, namun juga logis untuk dilaksanakan. Di sinilah pada akhirnya diharapkan terjadi ”perang program” antar sesama caleg menggantikan ”perang jargon” yang hingga saat ini masih ramai berlangsung. Keempat, lebih dari itu mekanisme yang menghapus nomor urut ini akan memenuhi asas keadilan dan proporsionalitas. Semangat ini adalah inti dari sistem proporsional itu sendiri sebagai kritik atas sistem distrik yang bersendikan ”the winner takes all” (yang memungkinkan terjadinya ketimpangan antara jumlah suara dan kursi yang didapat). Asas keadilan ini pada akhirnya akan lebih menggairahkan semangat fair play caleg . Beberapa Tantangan Namun demikian, perubahan legal- formal di atas tidak dengan segera menghasilkan sebuah kondisi yang benar-benar kondusif bagi pengembangan demokrasi rasional-partisipatif di Indonesia. Setidaknya ada tiga hal yang berpotensi menjadi tantangan bagi kehidupan politik dalam waktu dekat. Pertama,tantangan bagi proses kaderisasi dan soliditas partai.Kepentingan partai untuk menempatkan kader sebanyak-banyaknya dalam badan legislatif adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari.Dalam situasi seperti ini muncul godaan bagi sebuah partai untuk mengakomodir seseorang yang mengakar di masyarakat atau memiliki popularitas di atas rata-rata untuk duduk sebagai caleg, meskipun keberadaannya dalam partai tersebut belum lama bahkan sesungguhnya memiliki track record yang berlawanan dengan idealisme partai.
Menguatnya fragmentasi dan rivalitas internal bukan tidak mungkin akan semakin tumbuh subur. Kedua, tantangan untuk memunculkan wakil rakyat yang populer dan sekaligus kapabel. Sayangnya mekanisme proporsional terbuka memberikan peluang lebih besar bagi munculnya seseorang yang sekadar mengandalkan popularitas (yang sejatinya tidak berhubungan langsung dengan tugas-tugas yang nantinya akan diemban sebagai seorang wakil rakyat). Dalam konteks Indonesia saat ini kepopuleran yang tidak dilandaskan oleh track record namun oleh hal-hal lain entah karisma, uang atau keturunan kerap masih menghantui situasi politik di akar rumput.Hal ini pada akhirnya memberikan peluang munculnya fenomena yang ditakutkan oleh Alexander Hamilton sebagai pemerintahan ”kaum rendahan”,di mana yang dia maksud sebagai kalangan populis yang sejatinya tidak memahami politik secara komprehensif. Ketiga, tantangan bagi para caleg perempuan. Dengan budaya politik yang belum ”ramah”terhadap kepentingan kaum perempuan,mekanisme baru ini akan cenderung mengorbankan aspirasi dan caleg dari kalangan tersebut. Sistem pemilu ini akan cenderung menguatkan ”budaya politik mayoritas”.Dalam lingkungan politik yang belum akomodatif terhadap kepentingan perempuan, bahkan antar sesama perempuan sendiri, mekanisme baru ini sejatinya bernuansa ”setback”.Tanpa adanya pembelaan legal-formal,terkaman ”pasar bebas” publik dengan budaya politik mayoritas yang cenderung tidak ramah gender akan menggerus eksistensi caleg perempuan. Pendewasaan politik publik adalah syarat mutlak yang harus dikembangkan dalam menyikapi pengambilalihan peran political society yang sudah matang dan ”tahu medan” kepada rakyat banyak dalam menentukan nasib wakil rakyat.Akselerasi legal-formal untuk menciptakan demokrasi yang lebih partisipatif oleh MK,jelas membutuhkan pula percepatan dalam konteks lingkungan politik yang melingkupi kebijakan itu agar rasionalitas demokrasi tetap dapat terjaga.
Peran partai politik pun jelas semakin signifikan dalam upaya melakukan pencerahan baik kepada anggotanya maupun masyarakat awan.Tanpa itu kekhawatiran hadirnya pembusukan politik baik pada level masyarakat, partai politik maupun pemerintahan bukan tidak mungkin justru akan mewujud.(*) Firman Noor, MA Peneliti P2P LIPI, Dosen Ilmu Politik FISIP UI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/199481/
Share this article :

0 komentar: