Bila dua-tiga bulan lalu bangsa ini heboh membicarakan energy security, sebulan terakhir kita sibuk membicarakan pangan. Food dan energy adalah sebuah kesatuan,apalagi sekarang bahan- bahan pangan mulai dijadikan pengganti energi.
CPO, kedelai, biji bunga matahari, jagung, tebu, ketela, gandum, dan sebagainya kini di dunia mulai dialihkan menjadi bioenergy yang harganya terus melonjak. Kalau harganya terus melonjak, dan sebagian besar tanaman itu bisa ditanam di sini, mengapa justru mengalami kerawanan? Kalau pertanian Indonesia ingin maju, berikanlah keuntungan yang positif dan harga jual yang bagus bagi produk-produk pertanian Indonesia. Ini berarti, batasi impor dan jangan manjakan konsumen.Tetapi, kita sepertinya ingin mendapatkan keduanya: pertanian maju, tetapi harganya harus murah dan konsumen harus senang.
Surplus, tetapi Miskin
Ketahanan pangan menjadi masalah besar justru di negaranegara Asia, yang menurut Bank Dunia mengalami pengurangan kemiskinan yang signifikan. Menurut FAO (2009), sepanjang 2003-2005 saja terdapat 541,9 juta penduduk Asia yang kekurangan gizi. Mengapa pertumbuhan ekonomi disertai kerawanan pangan? Ambil contoh saja di Thailand dan Vietnam yang mati-matian mengembangkan konsep ketahanan pangan sejak 30 tahun lalu. Di kedua negara ini sektor pertanian mengalami kemajuan sangat pesat.
Berbeda dengan di Pulau Jawa yang lahan-lahan pertaniannya beralih ke properti dan industri, di kedua negara itu lahan-lahan pertanian justru diperluas dan irigasi diperbaiki. Keduanya surplus pangan dalam jumlah besar.Pada tingkatan makro, pertaniannya maju pesat. Namun, pada tingkatan rumah tangga, para petani tetap kesulitan hidup dengan layak dari sektor pertanian.Mereka lebih menjadi net buyer yang hanya bisa membiayai sepersepuluh konsumsinya dari hasil pertanian (Isvilonanda & Bumyasiri,2009).
Demikianlah, pangan adalah masalah yang sangat serius, semakin kompleks dan butuh perhatian lintas sektoral.Tidak cukup diatasi oleh penghapusan bea masuk seperti yang dilakukan pemerintah terhadap impor kedelai.Pangan adalah masalah ketahanan yang rumit. Konsep pertahanan-keamanan yang dulu berarti tentara dan senjata, kini bergeser ke pangan dan energi.Lihatlah betapa kita kedodoran mengelola ketahanan pangan yang menyangkut apa saja.
Tahun lalu cabai saja sampai menjadi agenda pembicaraan yang hangat di Istana. Lalu dalam perekonomian kita muncul masalah daging sapi, gula, garam, ikan kembung, beras, bahkan bawang merah. Kini kedelai. Sebanyak 150.000 anggota koperasi tahu-tempe hari-hari ini tengah melakukan aksi mogok ketika harga kedelai melonjak dari Rp5.000 menjadi Rp8.000 per kilogram. Meski semalam saya masih bisa menikmati tahu-tempe, ada rasa waswas, bukan khawatir kehilangan keduanya, melainkan khawatir anak-anak kita kelak akan kesulitan makan karena negeri ini tak memiliki konsep ketahanan pangan yang jelas.
Semakin Kerdil
Selain data yang sudah banyak dipaparkan para ahli, mari kita membaca insight berikut. Menurut kamus, insight adalah a clear or deep perception of a situation. Atau bisa juga perasaan subjektif yang bisa dibaca dari sebuah situasi. Namanya juga subjektif, jadi bisa terbaca, bisa juga tidak. Bisa terbaca A, bisa juga terbaca B. Tetapi, mari kita renungkan baik-baik,dan coba lebih gunakan insight untuk melihat peluang yang mungkin timbul dari masalah besar ini daripada memperbesar masalah itu sendiri.
Kata orang bijak, bangsabangsa yang unggul adalah bangsa yang bisa melihat kesempatan dari setiap kesulitan.Pemenangnya adalah bangsa yang berani berselancar dalam gelombang ketidakpastian. Sedangkan bangsa yang selalu kalah adalah bangsa pengeluh yang hanya mau menjelajahi dunia yang pasti-pasti, lalu menyalahkan orang lain atas masalah yang ia buat.Bangsa yang demikianakanselalukalah, danpemimpinnya gemar melempar kesalahan pada orang lain.
Ketimbang mengatakan,” Saya yang salah.” Mereka akan selalu mengatakan,” Itu bukan kesalahan saya.”Sudah salah dan menyangkal, mereka pun mengulangi kesalahan yang sama berkali-kali. Saya kira tulisan ini tidak dimaksudkan menghadirkan keluhan atau sikap pecundang. Insight dari Dapur Rumah Makan Sunda tempat saya biasa menikmati makan enak menunjukkan, ada sesuatu yang tak beres pada pangan-pangan kita.
Berbeda dengan bangsabangsa lain yang berupaya keras menghadirkan buahbuahan dan sayuran yang lebih besar dan lebih manis, saya justru menemukan pangan lokal yang sebaliknya.Kedelai impor semakin hari semakin bagus,sedangkan kedelai lokal semakin kuntet. Petai padi yang dulu besar-besar, kini semakin mengecil. Demikian juga dengan ikan pepes (ikan peda) yang dulu besar-besar, kini hanya daun pembungkusnya saja (daun pisang) yang besar.
Rasanya semua ini berlaku pada hampir semua panganan kita. Kue pisang juga semakin kerdil dan pisangnya sepat.Sekalipun makannya di hotel berbintang lima. Bakso yang dijajakan keliling juga semakin kecil, dan rasa dagingnya semakin tak terdeteksi lidah. Kata pemilik restoran bukan hanya ukuran yang mengecil. Keharumannya juga berkurang. Saya berbicara dengan para petambak ikan.
Mereka pun mengaku alam dan pakan sekarang sudah tidak bersahabat. Air dari sungai sudah rusak, pencemaran luar biasa ganas karena pabrik celana jins yang beroperasi tidak jauh dari tambak sering membuang limbah pewarna ke sungai. Ikanikan sulit menjadi besar. Di WadukJangari-Ciratasaja,yang menjadi pusat ikan mas Jawa Barat, sudah dikepung oleh sampah.Lebih mengerikan lagi, harga pakan ikan pun sudah terlalu mencekik.
Maka supaya bisa tetap untung panen pun dipercepat. Itu pulalah yang tampaknya dilakukan petani (termasuk petai dan cabai), memanen hasil tanaman lebih cepat dari yang seharusnya agar bisa meraih untung.Apalagi akibatnya kalau bukan kuntet? Sementara di dunia internasional, perubahan iklim bisa mengubah peta suplai secara tiba-tiba. Kalau sudah begini, bangsa yang menang hanyalah bangsa yang proaktif.
Artinya, menanam jauh-jauh hari. Bukan seperti sekarang,ribut menanam kedelai pada ribuan hektare saat harganya sedang mahal.Lalu apa akibatnya duatiga bulan lagi saat panen beramai-ramai? Insight ini menunjukkan, pertanian sudah tidak lagi menjadi sektor yang gurem.Pertanian justru akan menjadi sektor yang mengalahkan sektor-sektor lainnya.Apa artinya mempunyai emas kalau tak bisa mendapatkan makan?
Tetapi dalam masa transisi jelaslah suatu bangsa harus bisa menciptakan kondisi hasil investasi (internal rate of return) pada sektor pertanian yang positif.Saat ini saja dunia perbankan cenderung alergi pada sektor pertanian.Ini berarti diperlukan perubahan kebijakan agar petani mau kembali menjadi petani.Syaratnya, ya sederhana saja,berikan IRR yang positif dan besar.
Saya ingin menutup dengan insight lain dari para pedagang pangan.Bagi mereka,kenaikan harga adalah wajar, tetapi khusus mulai 2012,kenaikan pangan yang biasa terjadi bulan Ramadan kini bergerak jauh lebih cepat 1-2 bulan sebelumnya. Lebih jauh lagi, bila sebelum 2005 dari 365 hari berdagang mereka kalah sebanyak 80 hari (karena cost lebih besar dari price), sejak 2005 ke sini hari kekalahan terus membesar dan membesar.
Tahun ini telah menjadi 150 hari kalah. Masih positif sih.Tetapi, itu lampu kuning yang sebentar lagi menjadi merah. Artinya, ada masalah yang harus kita benahi bersama.Artinya, food kita sedang tidak secure. Artinya, selain banyak masalah, ya banyak peluang. RHENALD KASALI Ketua Program MM UI
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/514344/
Latest Post
Absolutisme Negara tanpa Hukum
Bambang Satriya Guru Besar Stiekma dan dosen luar biasa Universitas Ma-Chung Malang, penulis buku Etika Birokrasi
DALAM Editorial Media Indonesia (24 Juli 2012) ada pernyataan mengenai pengetahuan SBY tentang kasus-kasus korupsi di pelbagai lembaga yang melibatkan banyak pejabat. Presiden menegaskan dia memiliki bukti sahih tentang kasus-kasus itu, tetapi menyerahkan sepenuhnya kepada lembaga penegak hukum untuk bertindak. Sebagai presiden yang mendeklarasikan sebagai pemimpin perang terhadap korupsi, bukti-bukti pelanggaran ada di depan mata, tahu, dan sahih. Namun, lagi-lagi atas nama nonintervensi, semua data itu diserahkan kepada aparat penegak hukum. Mau ditindak silakan, tidak juga tidak apa-apa.
Itu pernyataan seorang pemimpin yang sedang ‘galau’, meski dirinya pastilah paham di pundaknya dipercayakan konstitusi untuk mengimplementasikan atau menyelenggarakan kekuasaan guna mewujudkan dan membumikan hukum, dan bukan menyerahkan secara sukarela. Tanpa dorongan kekuatan besar dan maksimal darinya, pembumian hukum tidak akan mungkin bias terwujud.
Sebaliknya, kekuatan para pembangkang atau penyelingkuh hukum akan semakin besar dan sistematis akibat diberi
ruang yang semakin terbuka untuk menggali, menguatkan, dan mengakselerasikan potensinya. Norma yuridis kian dibuat dan dikondisikan sebagai instrumen yang terkooptasi dan tereduksi oleh kepentingan politik jangka pendek dan jangka panjang.
Oleh para penyelingkuh itu, hukum dibuat tak berbicara atas nama ‘norma’ atau nyawa konstitusi, tetapi dibuat sebagai segmentasi instrumen bercorak asal ada dan penghias legalitas keabsahan negara. Hukum tak diberikannya tempat untuk mempertanggungjawabkan setiap jenis perbuatan yang diduga sebagai kriminalitas atau tindak pidana (straafbaarfeit) karena hukum sudah diseret ke ranah mempertanggungjawabkan dengan paradigma ‘pemilahan dan pemilihan’ mengenai siapa yang patut dipertanggungjawabkan.
Kosakata ‘terserah’ penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mempertanggungjawabkan atau tidak, memang, di satu sisi sebagai wujud apresiasi terhadap independensi kinerja (KPK), tetapi itu dapat terbaca dari sisi lain, yang mengesankan KPK atau aparat penegak hukumlah yang bertanggung jawab mutlak dan berperan mempertanggungjawabkan segala bentuk penyimpangan di negeri ini.
Semestinya, sesuai dengan kompetensi konstitusionalnya, presiden punya peran sangat b besar untuk menjadi pengadil a setiap para pembantu atau atas menteri-menterinya yang dinilainya tidak mampu bekerja atau diduga melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), atau sedang berurusan dengan hukum. Tanpa perlu menunggu kemungkinan diproses dalam ranah penerapan sistem peradilan pidana (criminal justice system) atas dugaan kasus korupsinya, kompetensinya sebagai presiden bisa atau harus diwujudkan.
Kalau sosok yang diberi `kekuasaan' sangat besar oleh konstitusi saja kurang memberikan apresiasi besar terhadap perkara-perka ra hukum yang bersifat sangat istimewa (extra ordinary) seperti korupsi, bagaimana jadinya wajah Indonesia ke depan sebagai negara yang menyandang predikat rechtstaat (negara hukum)? Masih mungkinkah bangsa ini bisa terlepas dari cengkeraman para penyelingkuh kekuasaan kalau norma yuridis konstitusional semakin ditemaramkan?
Dampak mengun tungkan tentulah bisa dinikmati para penyelingkuh kekua saan, dalam hal ini koruptor dan segmen kekuasaan yang mendapatkan `kenikmatan' darinya. Politik titik balik diniscayakan terjadi dan bahkan membesar (mengabsolut) dalam bentuk tampilnya sejumlah orang dalam korporasi dan sindikasi parpol nakal atau kelompok tangan-tangan gaib (the invisible hands) yang terjebak membela dan mengayomi koruptor, sementara institusi yang berusaha menjadi me sin pemberantas korupsi dan penjaga citra negara hukum sudah distigmakan publik sebagai institusi yang man dul, impoten, dan setidaknya terancam kesulitan mengerahkan segenap kemampuannya untuk melawan koruptor.
Kekuatan sindikasi koruptor yang semula temaram atau tidak menunjukkan nyali untuk berwacana seolah mendapatkan angin segar guna mengagregasikan kedaulatannya.
Itulah yang pernah diingatkan AM Rahman, penulis buku antologi puisi berjudul Badai Serigala (2006) dengan kalimat `belalah koruptor, negeri pasti terkapar, belalah koruptor, negeri pasti telantar, belalah koruptor, negeri pasti terbakar, belalah koruptor, negeri pasti terkubur, belalah koruptor, rakyat pasti lebur'.
Paparan itu sejatinya sebagai kritik radikal kepada pimpinan tinggi negara, khususnya yang mendapatkan amanat konstitusi, bahwa seharusnya koruptor wajib mereka jadi kan sebagai musuh terbesar negara yang diperangi secara maksimal dan konsisten.
Koruptor merupakan jenis perampok elitis yang telah mengakibatkan keru gian besar. Sebut misalnya telah merajalela bagai gu rita. Korupsi telah `biasa' dilakukan dari tingkat aparat paling rendah, ketua RT, hingga pejabat tinggi negara. Pada 2011 terdapat 436 kasus ko rupsi dengan jumlah tersangka 1.053 orang. Potensi kerugian negara akibat korupsi itu ialah Rp2,169 triliun. Yang menarik, kebanyakan pelaku korupsi itu memiliki latar belakang pegawai negeri sipil (PNS).
Tersangka berlatar belakang pegawai negeri menempati urutan teratas dengan jumlah 239 orang. Mereka diikuti direktur atau pimpinan perusahaan swasta dengan 190 orang, serta anggota DPR/DPRD berjumlah 99 orang.
Koruptor tak perlu ditempatkan sebagai ‘kawan’ dalam membangun kekuatan politik (political power) karena mereka telah membuat wajah negeri ini semakin sengkarut dan menjadikan rakyat terpuruk dalam kompilasi penderitaan. Sayangnya, banyak unsur strategis masyarakat dan bangsa ini yang lebih suka berkawan atau menjalin ‘persaudaraan’ dekat dengan koruptor, padahal di dalam pundaknya sudah ada amanat menjadi penghancurnya.
Yang selama ini mencuat, saat belum bertemu koruptor, aparat penegak hukum atau pilar institusi strategis yang diberi mandat konstitusi untuk menjalankan misi jihad melawan koruptor gampang berjanji, bahwa korupsi akan dihabisi atau dibersihkan dari Bumi Pertiwi ini dan siapa pun di antara para pilar negara yang berurusan dengan hukum karena korupsi disuruhnya mundur atau menanggalkan jabatannya.
Sayangnya setelah berdekatan dan dimanjakan koruptor, pilar negara itu lantas kehilangan jiwa independensi dan ‘suara suci’ mereka, dan bahkan berparadigma politik terbalik dalam memberikan ruang pada koruptor atau kandidat koruptor untuk merumuskan dan menerapkan jurus-jurus yang bisa menghabisi atau mengamputasi kesakralan norma yuridis.
Siapa pun elemen bangsa ini, khususnya pilar utamanya yang masih berpikiran jernih atau cerdas, tentulah mengakui korupsi merupakan kejahatan yang terbilang serius, penyakit kanker yang potensial menghancurkan dan mengubur negeri ini. Siapa yang menganggap remeh, apalagi menaļ¬ kan urusan korupsi atau para penyelingkuh hukum, berarti menyerahkan nasib rakyat negeri ini ke tiang gantungan kematian.
Masih tetap bersemainya kasus korupsi atau mencengkeramnya kekuatan sindikasi koruptor di negeri ini mengindikasikan kita selama ini masih kalah bertarung dengan koruptor atau belum menempatkan khitah moral perlawanan terhadap koruptor. Koruptor masih berdaya membuat elite kekuasaan atau pimpinan negara terperangkap dalam politik ‘setengah hati’ untuk menumpas atau memeranginya.
Segmen elite white collar crime itu secara tidak langsung diberi kelonggaran tampil lebih maju, berani, lihai, terorganisasi, atau mengabsolut dalam menyebarkan dan menyuburkan kejahatannya. Memang ada beberapa yang berhasil dijerat dan dikenai hukuman beberapa tahun penjara, tetapi layaknya pepatah mati satu tumbuh seribu, korupsi itu pun tetap berjalan jemawa dalam keberdayaannya akibat berlakunya politik pemanjaan yang diberikan tempat melindungi dan bahkan membenarkannya. Ada beberapa orang yang berhasil dijebloskan ke penjara, tetapi beberapa orang yang jumlahnya lebih banyak terus bermunculan menunjukkan aksinya akibat nihilitas konsistensi dalam menjaga atau membumikan khitah moral perlawanan terhadap koruptor.
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/07/25/ArticleHtmls/Absolutisme-Negara-tanpa-Hukum-25072012020004.shtml?Mode=1
Langganan:
Postingan (Atom)