Catatan Atas terbitnya Buku Misykat Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
"Dari Cak Nur ke Gus Hamid"
Oleh: Dr. Adian Husaini
TAHUN 1973, Cak Nur (Dr. Nucholish Madjid) menggebrak dunia pemikiran
Islam Indonesia dengan gagasan yang menggoncang nalar umat: Islam perlu
disekularisasi. Saat itu, 3 Januari 1973, Cak Nur memaparkan makalahnya
yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi
Umat.”
Dalam disertasinya di Monash University Australia – yang diterbitkan
oleh Paramadina dengan judul “Gagasan Islam Liberal di Indonesia” (1999)
– Dr. Greg Barton menyebutkan, bahwa melalui makalahnya tersebut,
Nurcholish dihadapkan pada satu dilema dalam tubuh umat. Di satu sisi,
menurut Nurcholish, masyarakat Muslim harus menempuh arah baru, namun di
sisi lain, arah baru tersebut berarti menimbulkan perpecahan dan
mengorbankan keutuhan umat. Kata Cak Nur dalam makalahnya: “… pembaruan
harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu
melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai
yang berorientasi ke masa depan. Nostalgia, atau orientasi dan kerinduan
pada masa lampau yang berlebihan, harus diganti dengan pandangan ke masa
depan. Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu
dikenakan terhadap “ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam” yang
ada sekarang ini...”
Menurut Nurcholish Madjid, ada tiga proses yang harus dilakukan dan
saling kait-mengait: (1) sekularisasi, (2) kebebasan intelektual, dan
(3) ‘Gagasan mengenai kemajuan’ dan ‘Sikap Terbuka’. Jadi, Nurcholish
Madjid sendiri pada tahun 1970 sudah menggunakan istilah ”liberalisasi”
untuk proyek Pembaruan Islam-nya. Karena itu, bisa dikatakan,
liberalisasi Islam di Indonesia, secara sistematis di mulai pada awal
tahun 1970-an.
Selama empat dekade, gagasan Nurcholish Madjid terus dipertahankan.
Sebagian, bahkan mensakralkan gagasan sekularisasi. Sudah banyak ulama
dan cendekiawan Muslim mengkritisi gagasan sekularisasi. Mohammad
Natsir, Prof. HM Rasjidi, Endang Saefuddin Anshari, Ridwan Saidi, Abdul
Qadir Djaelani, adalah diantara sederet tokoh dan cendekiawan Muslim
yang secara tajam mengkritisi gagasan sekularisasi Cak Nur. Puluhan
cendekiawan lain pun telah angkat pena secara tajam.
Kritik tajam, mendasar, dan sistematis terhadap gagasan sekularisasi
telah diberikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, melalui
bukunya, Islam and Secularism, sejak awal 1980-an. Tahun 2010, Prof. Dr.
Faisal Ismail, M.A., guru besar Universitas Islam Negeri Yogyakarta
menerbitkan bukunya yang berjudul Membongkar Kerancuan Pemikiran
Nurcholish Madjid Seputar Isu Sekularisasi dalam Islam. Tahun 1995,
Faisal Ismail, menyelesaikan S-3 di Institute of Islamic Studies, McGill
University, Kanada.
Meskipun sudah begitu banyak cendekiawan yang mengkritisi Nurcholish
Madjid, tetapi nama dan pemikiran Cak Nur tetap saja dikibarkan dan
disakralkan. Berbagai acara ritual tahunan bahkan digelar untuk
mengenang dan melestarikan gagasannya. Karena merupakan alumnus
Pesantren Modern Gontor Ponorogo, nama Cak Nur terkadang diidentikkan
dengan Pesantren Gontor Ponorogo.
Jika ditelaah, gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid memang mengadopsi
pemikiran sekularisasi dalam dunia Kristen yang sebelumnya sudah
dilontarkan oleh Harvey Cox melalui buku terkenalnya, The Secular City.
Menurut Cox, sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama
dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia
kini. (Secularization is the liberation of man from religious and
metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other
worlds and towards this one).
Pengaruh buku Harvey Cox ini sangat besar, melintasi batas-batas negara.
Di Yogyakarta, sekelompok aktivis yang tergabung dalam Lingkaran Diskusi
Limited Group di bawah bimbingan Mukti Ali, sangat terpengaruh oleh “The
Secular City” nya Harvey Cox. Diantara sejumlah aktivis dalam diskusi
itu adalah Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, dan Ahmad Wahib. (Lihat,
Karel Steenbrink, “Patterns of Muslim-Christian Dialogue in Indonesia,
1965-1998”, dalam Jacques Waardenburg, Muslim-Christian Perceptions of
Dialogue Today, (Leuven:Peeters, 2000), hal. 85).
Dalam artikelnya tersebut, Steenbrink menggunakan redaksi “The book The
Secular City by Harvey Cox had a great impact in these young students.”
Dalam Catatan Hariannya, Ahmad Wahib menulis: “Sejauh yang aku amati
selama ini, agama terjadi telah kehilangan daya serap dalam
masalah-masalah dunia. Petunjuk-petunjuk Tuhan tidak mampu kita
sekularkan. Padahal, sekularisasi ajaran-ajaran Tuhan mutlak bagi kita
kalau kita tidak ingin sekularistis.” Wahib adalah anak asuh Romo
Willenborg dan Romo H.C. Stolk SJ. (Lihat, Djohan Efendi& Ismet Natsir
Ahmad (ed), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib,
(Jakarta: LP3ES dan Freedom Institute, 2003, cet ke-6), hal. 37-41, 79).
Tetapi, gagasan Cox ketika itu belum terlalu berkembang. Ahmad Wahib
hanya menulis catatan Harian yang kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku
selepas meninggalnya. Djohan Effendi pun tidak terlalu kuat pengaruhnya.
Pengaruh Cox baru tampak jelas pada pemikiran Nurcholish Madjid yang
ketika itu menjadi ketua umum satu organisasi mahasiswa Islam.
Sejak awal mula, pemikiran Nurcholish Madjid ini menimbulkan kehebohan.
Meskipun pernah dijuluki sebagai “Natsir muda”, tetapi Mohammad Natsir
sendiri mengaku kecewa dengan gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid.
Dilaporkan, dalam sebuah pertemuan di kediamannya, pada 1 Juni 1972, M.
Natsir mengungkapkan kerisauannya akan gagasan Pembaharuan yang ingin
“menjauhkan diri dari “cita-cita akidah dan umat Islam.” (Lihat,
Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim
(Ciputat: Lingkaran Studi Indonesia, 1987), hal. 155-156. Buku ini
diterjemahkan oleh Ahmadie Thaha, dari judul aslinya “Muslim
Intellectual Response to “New Order” Modernization in Indonesia, yang
merupakan disertasi doktor Kamal Hassan di Columbia University, AS.
Respon yang sangat keras terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid
juga diberikan oleh tokoh DDII, Prof. Dr. HM Rasjidi. Tahun 1972,
Rasjidi menulis buku Sekularisme dalam Persoalan Lagi: Suatu Koreksi
atas Tulisan Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: Jajasan Bangkit). Setahun
kemudian, Rasjidi kembali menulis buku berjudul Suatu Koreksi Lagi bagi
Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: DDII, 1973).
M. Natsir juga pernah memberikan pesan khusus kepada para cendekiawan
Muslim Indonesia, seperti Amien Rais dkk., tentang bahaya
sekularisasi:”Di tahun tujuh-puluhan kita ingat adanya ”gerakan
sekularisasi” dalam rangka apa yang mereka sebut ”pembaharuan” Islam.
Demikian pula yang terjadi akhir-akhir ini, ada ”reaktualisasi” ada
”kontekstualisasi”, dan sebagainya. Jadi memang ada usaha aktif. Proses
sekularisasi ini amat nyata terutama dalam sistem pendidikan kita.
Pelajaran atau pemahaman agama diberikan bukan saja dalam content yang
terbatas, tetapi diberikannya pelajaran lain yang isinya mengaburkan
atau bahkan bertentangan dengan tujuan mendidik manusia religius. Proses
sekularisasi juga menggunakan jalur publikasi dan media massa. Baik
dalam bentuk buku-buku maupun tulisan. Dalam kaitan ini saya mengajak
pada para intelektual muslim khususnya untuk memikirkan bagaimana
menghadapi arus sekularisasi ini, baik yang terjadi secara alamiah
maupun yang disengaja.” (A. Watik Pratiknya (ed.), Percakapan Antar
Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak (Jakarta-Yogya: Dewan Da’wah
Islamiyah Indonesia dan Laboratorium Dakwah, 1989)
****
Kini, setelah empat dekade gelombang sekularisasi yang dimotori Cak Nur
dan kawan-kawan digulirkan dan sebagiannya bahkan sengaja dilestarikan,
-- atas kehendak dan izin Allah – tampillah sosok unik di pentas
pemikiran dan dakwah Islam Indonesia, bahkan dunia internasional. Sosok
itu adalah Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi.
Selama beberapa tahun terakhir, tampilnya putra pendiri Pesantren Gontor
Ponorogo di pentas pemikiran Islam telah memberikan tawaran baru yang
berlawanan dengan gagasan sekularisasi Cak Nur. Dr. Hamid F. Zarkasyi
(Gus Hamid) bukan saja mengkritisi pemikiran Cak Nur, tetapi juga
menawarkan gagasan besar yang sedang melaju kencang di dunia Islam,
yaitu Islamisasi Ilmu.
Selama tahun 2004, masyarakat sudah mulai mengenal pemikiran Gus Hamid
melalui rubrik Prolog dan Epilog di Jurnal (Majalah) ISLAMIA. Dalam
catatan Redaksi ISLAMIA, kolom Gus Hamid merupakan kolom yang paling
banyak diminati pembaca. Kemudian, sejak tahun 2009, INSISTS menjalin
kerjasama degan Harian Republika untuk menerbitkan Jurnal Pemikiran
Islam, Islamia-Republika, yang terbit bulanan, setiap hari Kamis pekan
ketiga.
Di Jurnal Islamia versi koran yang terbit empat halaman ini, Gus Hamid
juga menulis kolom tetap yang diberi nama MISYKAT. Gagasan-gagasannya
tentang de-sekularisasi, de-westernisasi, dan Islamisasi, secara
konsisten mewarnai berbagai tulisannya. Uniknya, kolom MISYKAT Gus Hamid
di Harian Republika ini tercatat sebagai kolom yang paling diminati
pembaca. Survei Litbang Harian Republika tahun 2010 menunjukkan, Jurnal
Islamia-Republika, merupakan rubrik non-berita yang paling banyak dibaca
oleh pembaca Republika.
Tidaklah berlebihan jika dikatakan, bahwa saat ini, Gus Hamid merupakan
sala satu dari deretan kolomnis terbaik saat ini. Dan kini, kumpulan
artikel dan berbagai tulisannya yang tersebar di beberapa media, telah
dihimpun dalam satu buku berjudul “MISYKAT: ISLAM, WESTERNISASI, DAN
LIBERALISASI (JAKARTA: INSISTS, 2012).
Membaca beberapa karya Gus Hamid, khususnya buku Misykat ini, tidaklah
berlebihan jika kita berkesimpulan, bahwa Era Sekularisasi Nurcholish
Madjid sudah memasuki masa senja. Kini, insyaAllah, dunia pemikiran
Islam Indonesia sedang memasuki gairah dan era baru: Era Islamisasi Dr.
Hamid Fahmy Zarkasyi.
Singkatya: Era Cak Nur telah berganti menjadi Era Gus Hamid.
InsyaAllah,… Allahu Akbar!.*
Penulis Ketua Program Studi Pendidikan Islam—Program Pasca Sarjana
Universitas Ibn Khaldun Bogor). Catatan Akhir Pekan (CAP) bekerjasama
antara Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
http://www.hidayatullah.com/read/21990/31/03/2012/
"Dari Cak Nur ke Gus Hamid"
Written By gusdurian on Selasa, 03 April 2012 | 02.19
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar