BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Sejarah (yg tersisihkan) - Diskursus Tentang Dasar Negara Pancasila

Written By gusdurian on Kamis, 16 Juni 2011 | 13.01

Sumber: satriyo satriyo.boedi@gmail.com

Diskusi tentang dasar negara kini seolah telah menjadi diskusi yang sangat berbahaya, penuh emosi, perlu kehati-hatian, dan senantiasa mengarah ke satu kesimpulan yang tak terbantahkan. Padahal, semula para founding fathers bangsa ini telah mendiskusikan masalah ini secara cerdas, intelek dan lepas dari kesan emosi dan memaksakan kehendak. Bagaimana dengan kita?

Diskursus tentang dasar negara yang hendak diterapkan di Indonesia sudah dimulai sejak Dokuritsu Zyunbi Tjoosakai atau Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menggelar persidangan untuk merancang sendi-sendi dasar negara. Pada sidang pertama BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Mr Muhammad Yamin mengusulkan konsep dasar negara dengan mengacu pada sejarah nasional, dan pendapat para pemikir barat.

Pada sidang-sidang selanjutnya, beberapa ulama yang menjadi anggota BPUPKI sempat melontarkan gagasan mereka tentang keharusan negara yang akan dibentuk di nusantara ini memakai aturan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sayang, pendapat mereka banyak yang tidak terdokumentasikan, seperti pidato KH Ahmad Sanoesi dari Sukabumi. Namun, entah mengapa, hanya pidato mantan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Ki Bagoes Hadikoesoemo pada persidangan ke dua tanggal 31 Mei 1945, yang ditemukan catatannya. Simaklah beberapa petikan pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo berikut ini:

“Tuan-tuan dan sidang yang terhormat! Dalam negara kita, niscaya tuan-tuan menginginkan berdirinya satu pemerintahan yang adil dan bijaksana, berdasarkan budi pekerti yang luhur, bersendi permusyawaratan dan putusan rapat, serta luas berlebar dada tidak memaksa tentang agama. Kalau benar demikian, dirikanlah pemerintahan itu atas agama Islam, karena ajaran Islam mengandung kesampaiannya sifat-sifat itu.”

Setelah mengutip Al-Qur’an surah An-Nahl ayat 90, surah An Nisa ayat 5, surah Ali Imron ayat 158, surah Syura ayat 38 dan surah Al Baqarah ayat 256, Ki Bagoes Hadikoesoemo melanjutkan pidatonya:

“Dengan ayat-ayat yang singkat ini, cukuplah kiranya sudah untuk mengetahui bahwa agama Islam itu cakap dan cukup serta pantas dan patut untuk menjadi sendi pemerintahan kebangsaan di negara kita Indonesia ini. Tetapi di antara tuan-tuan ada juga orang-orang yang tidak setuju negara kita ini berdasarkan agama.”[iii]

Pada bagian akhir Ki Bagoes mengatakan :

“Oleh karena itu tuan-tuan, saya sebagai seorang bangsa Indonesia tulen, bapak dan ibu saya bangsa Indonesia, nenek moyang saya pun bangsa Indonesia juga yang asli dan murni belum ada campurannya; dan sebagai seorang Muslim yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan Merdeka, maka supaya negara Indonesia merdeka itu dapat berdiri tegak dan teguh, kuat dan kokoh, saya mengharapkan akan berdirinya negara Indonesia itu berdasarkan agama Islam. Sebab, itulah yang sesuai dengan keadaan jiwa rakyat yang terbanyak, sebagaimana yang sudah saya terangkan tadi.

Janganlah hendaknya jiwa yang 90 persen dari rakyat itu diabaikan saja tidak dipedulikan. Saya khawatir apabila negara Indonesia tidak berdiri di atas agama Islam, kalau-kalau umat Islam yang terbanyak itu nanti bersifat pasif atau dingin tidak bersemangat: sebagaimana yang dikuwatirkan juga oleh tuan Kiai Sanusi tadi. Tetapi saya mengharapkan jangan sampai kejadian demikian. Tuan-tuan, sudah banyak pembicara yang berkata, bahwa agama Islam itu memang tinggi dan suci.

Sekarang bagaimana kalau orang yang tidak mau diikat oleh agama yang sudah diakui tinggi suci, apakah kiranya akan mau diikat oleh pikiran yang rendah dan tidak suci? Kalau jiwa manusia tidakmau bertunduk kepada agama perintah Allah, apakah kiranya akan suka bertunduk kepada perintah pikiran yang timbul dari hawa nafsu yang buruk? Pikirkan dan camkanlah tuan-tuan.”

Selama puluhan tahun, transkrip pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo ini tidak pernah terungkap dalam pembicaraan politik dan urusan kenegaraan. Begitu pula pidato tokoh-tokoh Islam lainnya. Tentu sangatlah aneh jika sekian banyak tokoh muslim anggota BPUPKI dan PPKI yang dikenal masyarakat sebagai orator dan singa podium sama sekali tidak urun rembug dalam masalah krusial seperti ini. Dalam Buku Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara tahun 1998, terdapat catatan kaki yang menarik:

“Risalah ini tidak terdapat baik dalam buku Prof. Mr. Muhammad Yamin yang terbit pada tahun 1959, maupun dalam berkas arsip yang diterima dari Negeri Belanda, dan yang ditemukan dalam perpustakaan Puri Mangkunegaran Solo. Risalah ini diterima Sekretariat Negara dari arsip keluarga Ki Bagoes Hadikoesoemo yang diserahkan oleh putra beliau, Kolonel (L) Basmal Hadikoesoemo.”

Hingga kini belum ada penyelidikan yang mendalam dan menyeluruh tentang hilangnya beberapa arsip penting di awal kehidupan bernegara di Indonesia ini, seperti raibnya notulen rapat BPUPKI dan PPKI. Padahal, banyak di antaranya berisi pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo dan tokoh-tokoh Islam lainnya. Namun beberapa pakar sejarah seperti Ahmad Mansyur Suryanegara menduga, ada faktor kesengajaan dari beberapa pihak untuk menggelapkan peran dan jasa para tokoh Islam.

Parahnya, upaya penggelapan sejarah itu justru dilakukan oleh beberapa orang tokoh pendiri bangsa. Diduga, tujuannya adalah agar pemikiran, ide serta peranan para founding fathers Indonesia dari kalangan ulama dan tokoh-tokoh Islam tidak muncul, sehingga seolah kaum muslimin tidak berperan sama-sekali dalam penyusunan sendi-sendi Negara Indonesia ini.

Setelah Ki Bagoes Hadikoesoemo berpidato, sebenarnya Mohammad Hatta langsung menanggapi dan menolak ide Negara Islam yang dilontarkan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah itu. Memang, meski bernama Islam, pandangan politik Hatta sesungguhnya sekuler.

Sayang, pidato Hatta ini pun hingga kini belum ditemukan notulensi maupun salinan aslinya, sehingga belum jelas argumen-argumen Hatta. Padahal pidato Hatta itu pula yang kemudian menjadi dasar pijakan penolakan para founding fathers Indonesia yang konon berasal dari kalangan nasionalis sekuler dan non muslim Indonesia Timur terhadap ide Negara Islam. Para sejarawan menduga, orang yang bertanggung jawab menghilangkan beberapa pidato penting itu adalah Prof Mr. Mohammad Yamin.

Tidak hanya sekadar menyembunyikan pidato penting dari beberapa tokoh nasional saat itu, Mohammad Yamin justru menambahkan beberapa teks pidato miliknya sendiri pada buku yang disusunnya, “Naskah Persiapan UUD 1945”, padahal menurut Mohammad Hatta, Yamin tidak pernah berpidato seperti yang ditulisnya itu di sidang BPUPKI.

Meskipun demikian, fakta tentang adanya pidato bantahan Hatta tentang ide pembentukan negara Indonesia berdasarkan azas Islam sebagaimana dilontarkan oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo dan KH Ahmad Sanoesi, dapat ditemukan dari pidato Prof. Dr. Mr. Soepomo yang pada prinsipnya kurang lebih sejalan dengan ide Hatta. Berikut petikannya:

“Oleh anggota yang terhormat Tuan Moh Hatta telah diuraikan dengan panjang lebar, bahwa dalam negara persatuan di Indonesia hendaknya urusan negara dipisahkan dari urusan agama. Memang di sini terlihat ada dua faham, ialah faham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh Tuan Moh. Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan: bukan negara Islam. Apa sebabnya di sini saya mengatakan “bukan negara Islam?” Perkataan “negara Islam” lain dengan artinya dari pada perkataan “Negara berdasarkan atas cita-cita luhur dari agama Islam”. Apakah perbedaannya akan saya terangkan. Dalam negara yang tersusun sebagai “negara Islam”, negara tidak bisa dipisahkan dari agama. Negara dan agama adalah satu, bersatu padu.”

Kemudian, Soepomo melanjutkan:

“Tadi saya mengatakan bahwa dalam negara Islam, negara tidak bisa dipisah-pisahkan dari agama, dan hukum syariah itu dianggap senagai perintah Tuhan untuk menjadi dasar, untuk dipakai oleh negara. Dalam negara-negara Islam, misalnya di negara Mesir dan lain-lain yang menjadi soal, ialah apakah hukum syariat dapat dan boleh diubah, diganti, disesuaikan menurut kepentingan internasional menurut aliran zaman?

Ada suatu golongan yang terbesar yang mengatakan bahwa itu tidak diperbolehkan. Tetapi ada lagi golongan yang mengatakan bisa disesuaikan dengan zaman baru. Umpamanya saja seorang ahli agama terkenal, yaitu Kepala dari sekolah tinggi “Al-Azhar” di Kairo, Muhammad Abduh yang termasyhur namanya – dan ia mempunyai murid di sini juga—mengatakan, “Memang hukum syariah bisa diubah dengan cara “ijmak”, yaitu permusyawaratan, asal tidak bertentangan dengan Qur’an dan dengan Hadis. Ada lagi yang mempunyai pendirian yang lebih radikal, seperti Ali Abdul Razik, yang mengatakan bahwa agama terpisah daripada hukum yang mengenai kepentingan negara.

Dengan pendek kata, dalam negara-negara Islam masih ada pertentangan pendirian tentang bagaimana seharusnya bentuk hukum negara, supaya sesuai dengan aliran zaman modern, yang meminta perhatian dari negara-negara yang turut berhubungan dengan dunia internasional itu…”

Dalam sidang BPUPKI selanjutnya, sebenarnya terjadi perdebatan seru akibat perbedaan tajam antara kubu Islam --kubu terbesar dengan 35 orang anggota-- yang menghendaki dasar negara Indonesia berdasarkan Islam, dan kubu sekuler dan non muslim yang tidak menghendaki peran agama (Islam) dalam negara.

Golongan Sekuler dan non muslim menginginkan Indonesia berdasarkan prinsip kebangsaan. Perdebatan panjang itu tidak terselesaikan sampai tanggal 1 Juni. Saat itu, Soekarno berpidato selama satu jam yang penuh dengan janji dan rayuan kepada para tokoh BPUPKI dari kubu Islam agar mau berkorban dan berkompromi untuk membangun cita-cita Negara Indonesia yang hendak dicapai bersama. Pidato panjang yang sangat memukau hadiri itu dikemudian hari dikenal dengan judul Lahirnya Pancasila. Berikut beberapa petikannya:

“Saya minta, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkan saya memakai perkataan, “kebangsaan” ini! Saya pun orang Islam. Tetapi saya meminta kepada saudara-saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu.

Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka Tuan adalah orang Bangsa Indonesia, datuk-datuk Tuan, nenek moyang Tuan pun Bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan Negara Indonesia.

Selanjutnya, untuk menarik perhatian para politisi muslim anggota BPUPKI, Soekarno mencoba meyakinkan mereka bahwa dirinya pun sejatinya adalah seorang pembela Islam. Soekarno mengatakan:

“Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun, adalah orang Islam –maaf beribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna—tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan dan permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.”

Ketika menjelaskan tentang prinsip musyawarah mufakat, Soekarno pun menyinggung sentimen kaum muslimin :

“Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa Kepala-Kepala Negara, baik khalif maupun Amirul Mu’minin harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kita mengadakan Kepala Negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagoes Hadikoesoemo misalnya menjadi Kepala Negara Indonesia dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan otomatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarkhi.”

Namun, pada saat menjelaskan tentang prinsip Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Soekarno justru seolah melupakan kewajiban kaum muslimin untuk melaksanakan syari’at Islam ketika mengaku sebagai seorang muslim, dan ber-Tuhan menurut ajaran Nabi Muhammad SAW. Dengan lugas ia mengatakan :

“Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang belum ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhan dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan.”

Dalam perdebatan selanjutnya, saat itu akhirnya para politisi Islam harus susah payah untuk berkompromi dengan rumusan undang-undang dasar yang tidak tegas menyebutkan tentang negara Islam, presiden Islam dan sebagainya. Akhirnya dibentuklah sebuah panitia kecil beranggotakan sembilan orang yang akan merumuskan pokok pikiran pendirian negara Indonesia. Mereka adalah Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr Ahmad Soebardjo, Abikusno Tjokrosujoso, Prof. Abdul Kahar Muzakir, KH. Wahid Hasyim, Mr. A.A. Maramis, H. Agus Salim, Mr. Mohammad Yamin.

Pada tanggal 22 Juni 1945, panitia kecil yang kemudian disebut dengan nama Panitia Sembilan itu berhasil merumuskan suatu konsensus politik yang mencerminkan dan mewadahi aspirasi semua golongan. Pengorbanan itu rupanya masih agak terobati dengan adanya rumusan konsensus yang disebut Piagam Jakarta itu. Mr. Mohammad Yamin menyebutnya sebagai "Jakarta Charter", Prof. Dr. Mr. Soepomo meyebut konsensus itu sebagai "Perjanjian Luhur", sedangkan Dr. Sukiman Wirjosandjojo menyebutnya sebagai "Gentlemen Agreement". Bagi kalangan Islam, inti dari Piagam Jakarta adalah kalimat: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Piagam Jakarta inilah yang seharusnya dibacakan pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.

Tapi kekecewaan merebak ketika sehari setelah proklamasi, faksi Islam sekali lagi harus menerima kompromi demi pembentukan negara Indonesia yang dicita-citakan. Kompromi itu bermula dari pertemuan awal beberapa tokoh pada tanggal 18 Agustus 1945 untuk merumuskan dasar Ideologi bangsa dan negara, Pancasila, serta konstitusi Oendang-oendang Dasar 1945. Mereka yang ikut dalam pertemuan itu adalah KH Wachid Hasjim dari Nahdlatul Ulama, Ki Bagoes Hadikoesoemo dari Muhammadiyah, Mr Kasman Singodimedjo dari Muhammadiyah, Mohammad Hatta dari Sumatera Barat dan Teoekoe Mohammad Hassan dari Aceh. Dalam rapat itu dibicarakan tentang rencana perubahan sila pertama Pancasila dalam Piagam Djakarta, 22 Juni 1945, yakni sila Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Semua berawal dari ungkapan Mohammad Hatta tentang adanya informasi dari seorang opsir Jepang. Si Opsir Jepang --yang hingga kini tidak pernah diketahui namanya itu-- konon mengatakan bahwa golongan Kristen dari Indonesia Timur tidak setuju dengan adanya tujuh kalimat inti dalam Piagam Jakarta. Jika tujuh kalimat itu diterapkan, konon, mereka khawatir akan terjadi diskriminasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Mereka lebih suka berdiri di luar republik,” katanya. Padahal, dalam bukunya, Ahmad Mansyur Suryanegara sempat mengutip keterangan Deliar Noer, sebagai berikut:

“Menurut Deliar Noer, dari keterangan A Kahar Moezakkir, sebenarnya AA Maramis walaupun dari perwakilan Kristen menyetujui 200 % terhadap Preambule atau Piagam Djakarta. Persetujuan ini terjadi karena Ketoehanan tidak dituliskan dengan Jang Maha Esa. Jadi tidak bertentangan dengan keyakinan Trinitas ajaran Kristen. Sedangkan Ketoehanan dengan kewajiban mendjalankan Sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja, diberlakukan untuk umat Islam saja. Tidak untuk seluruh bangsa Indonesia. Artinya umat Kristen dan Katolik tidak terkena Sjariat Islam.”

Karena itu, rencana perubahan yang ditawarkan Mohammad Hatta ini ditolak oleh KH Wahid Hasjim maupun oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo. Namun, dengan berbagai pendekatan akhirnya kedua tokoh ulama itu bersedia berkompromi dengan bersedia menghilangkan ketujuh kata dalam Piagam Djakarta itu. Hilangnya kalimat itu memang dirasakan sebagai pengorbanan yang tiada taranya dari umat Islam. Bahkan banyak pula yang menganggap bahwa kesepakatan itu sebagai sebuah pengkhianatan dan kekalahan para tokoh dan ummat Islam yang sangat menyakitkan. Tapi, menurut mendiang Menteri Agama Alamsjah Ratuperwira Negara, penghilangan ketujuh kata-kata kunci itu merupakan hadiah terbesar umat Islam bagi bangsa Indonesia.

(Hannibal Wijayanta)

Faktor Politik dalam Penindakan Korupsi

Written By gusdurian on Senin, 13 Juni 2011 | 10.49

Faktor Politik dalam Penindakan Korupsi Mohammad Fajrul Falaakh Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta

Pemberantasan korupsi yang tak berkeadilan, pilih tebang semaunya, dan bahkan dijadikan objek koalisi politik, akan mengonversi penegakan hukum jadi alat balas dendam oleh kekuatan politik yang dominan. Hal itu juga menjerumuskan aparat penegak hukum sebagai instrumen kekuasaan sehingga menghancurkan independensi yang dibangun atas nama hukum dan keadilan.''
KELIRU besar menganggap penindakan korupsi hanyalah soal teknis hukum yang tidak mengandung unsur politik, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekalipun. Hiruk pikuk penanganan tindak pidana korupsi (tipikor) yang sedang dan sudah ditangani KPK memberikan contoh menarik.

KPK sudah mendakwa 20-an anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 yang terlibat kasus pemberian cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom, 2004. Kebanyakan mereka politikus Partai Golkar dan PDIP dan dijatuhi pidana oleh Pengadilan Khusus Tipikor. KPK menghabiskan waktu sekitar tiga tahun sejak politikus PDIP Agus Condro mengungkapnya secara terbuka.

Penanganan kasus cek pelawat oleh KPK dan Pengadilan Tipikor juga mengundang tanda tanya karena pemberi suap tidak diketahui dan saksi kunci pemberian suap, Nunun Nurbaeti, masih melenggang di kawasan Asia Tenggara.

Kenyataan itu mengundang pertanyaan tentang faktor jiwa korsa (l'esprit de corps) dalam hubungan antara bekas Wakapolri Adang Daradjatun, suami Nunun Nurbaeti, dan para penyelidik yang bertugas di KPK yang punya masa depan berkarier di kepolisian masih panjang.

Miranda Goeltom, yang terpilih di tengah kontroversi pemberian cek pelawat itu, hanya dijadikan saksi. Ia diperkirakan mengetahui kunci persoalan di balik penalangan Bank Century 2009, yang waktu itu diputuskan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur BI Boediono.
Meski penegakan hukum membutuhkan fakta, persepsi politik mewarnai proses penegakan hukum.

KPK berhasil menangkap basah Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga (Seskemenpora) Wafid Muharram dalam dugaan pemberian suap terkait pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang. Bendahara Umum Partai Demokrat (PD) M Nazaruddin, orang dekat dan `bawaan' Ketua Umum PD, disebut-sebut tersangkut dalam perkara itu. Sebagai tokoh baru PD, Nazaruddin berperan penting dalam memasukkan dana belasan miliar rupiah ke kas PD.

Menurut KPK, beberapa nama terkait kasus Sesmenpora sudah ditetapkan sebagai tersangka dan dicegah ke luar negeri, tetapi M Nazaruddin berhasil terbang lebih dulu ke Singapura. Fraksi Demokrat di DPR begitu cepat mengizinkan Nazaruddin terbang ke Singapura untuk berobat.
Itu menarik karena kemudian diketahui, Nazaruddin diduga juga terjerat oleh perkara tindak pidana korupsi di sejumlah kementerian lain (industri dan perdagangan, kelautan, tenaga kerja, dan pendidikan nasional).

Di sisi lain, penyelidik dan penyidik di KPK seperti terjangkit oleh kelemahan yang sama dengan rekan mereka di kepolisian dan kejaksaan sehingga Nazaruddin, seperti tersangka atau terdakwa, berhasil kabur sebelum upaya pencegahan diumumkan ke publik. Yang menarik, setelah kontroversi mengemuka mengenai keraguan KPK dalam menangani kemung kinan keterlibatan Nazaruddin, KPK mendahulukan me manggilnya sebagai saksi dalam kasus dugaan tindak pi dana korupsi di sebuah direktorat jenderal Kemendiknas 2007.

Bagaimana nasib Wakil Ketua Umum DPP PD Jhonny Allen Marbun, yang di duga terlibat tindak pidana korupsi da lam proyek stimulus fiskal di Kemente rian Perhubung an 2009?
Sebelumnya, data dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Deputi Gubernur BI Aulia Pohan sudah di tangan KPK jilid I (20032004). Namun, KPK pimpinan Taufikurrahman Ruki baru membeberkan ke publik setelah Anwar Nasution (Ketua Badan Pemeriksa Keuangan waktu itu) menyoalnya di depan pers. Meski demikian, penindakan `terpaksa' dilimpahkan sebagai beban Ketua KPK 2007-2011 Antasari Azhar.
Tak lama kemudian Antasari diseret ke pengadilan atas tuduhan terlibat dalam pembunuhan dan telah dijatuhi pidana penjara 18 tahun.

Banyak juga kepala daerah dan politikus lokal yang berlindung di balik kekuasaan, atau bermain mata dengan penegak hukum, justru setelah terlibat dalam permainan anggaran. Kejaksaan Agung sempat mengeluhkan lambannya `izin' pemeriksaan kepala daerah dari kepresidenan, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32/2004 (mengenai pemda).

Padahal, izin tersebut jadi tidak relevan setelah kepala daerah dipilih, tanpa restu menteri dalam negeri atau presiden seperti di zaman Orde Baru. Sekalipun kepala daerah dan wakilnya terjerat tindak pidana korupsi, sekretaris daerah juga dapat melaksanakan tugas sementara.

Banyak perkara tindak pidana korupsi yang mengundang perhatian publik, terutama karena menyangkut politikus dan pejabat negara, mungkin tak semua terbongkar. Perkara yang kini ditangani KPK akan banyak yang bergulir setelah periode jabatan 2007-2011 berakhir, misalnya terkait dengan keputusan Panitia Khusus Hak Angket DPR 2010 tentang dana penyelamatan Bank Century. Catatan penindakan tindak pidana korupsi oleh KPK juga sedikit yang menyangkut polisi atau jaksa dan tidak tidak satu pun perwira militer (TNI). Kese muanya hanya da lam hitungan jari tangan.

Faktor kekuasaan Penindakan tindak pidana korupsi tak semulus yang diharapkan apabila menghadapi kekuasaan. Penegak hukum biasanya mengelak dari tudingan faktor kekuasaan. Mereka cenderung ber sandar kepada kom pleksitas tindak pi dana korupsi seba gai tantangan yang selalu dihadapi da lam membongkar kejahatan kerah putih (white collar crime), apalagi menyangkut keuangan negara atau penganggaran publik (public budgeting). Alasan teknis yang rutin digunakan ialah kelengkapan alat bukti dan kematangan perkara.

Namun, politik pengawasan internal KPK tak terungkap keluar lembaga, misalnya mengapa banyak kasus lama belum juga ditindaklanjuti secara teknis. Mengapa hanya sedikit polisi atau jaksa yang dijerat KPK, padahal salah satu mandatnya justru menindak korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum.

Di sini, pimpinan lembaga penegakan hukum bertanggung jawab memberikan arahan kebijakan. Politik para komisoner KPK, misalnya, bisa saja keserimpung oleh kebijakan teknis yang dijalankan para penyelidik dari Polri di KPK. Yang dibutuhkan ialah kebijakan pemberantasan kejahatan (crime policy) yang lebih jelas dalam penindakan korupsi. Itu harus dibarengi pengawasan internal ketat dan koordinasisupervisi antarlembaga penegakan hukum (KPK, Polri, dan kejaksaan) sehingga ada rincian pembagian tugas yang jelas di antara berbagai pihak yang terlibat.

Aparat teknis di KPK bertugas mewaspadai 30 jenis tindak pidana korupsi menurut UU Tipikor 1999/2001, yang meliputi tujuh kategori (kerugian keuangan negara, sogok-menyogok, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi). Aparat teknis itulah yang melaksanakan kekuasaan besar KPK, misalnya menyadap dan merekam komunikasi, serta menyiapkan data untuk memerintahkan pencekalan, pemberhentian transaksi bisnis, atau pembekuan rekening bank tersangka korupsi.

KPK juga berwenang mengoordinasi dan menyelia penindakan tindak pidana korupsi oleh kepolisian atau kejaksaan, baik sekadar mengawasi, meneliti dan menelaah pe nanganannya, maupun mengambil alihnya apabila diperlukan.
KPK dapat mengambil alih perkara apabila penanganan oleh penegak hukum lainnya mengandung unsur korupsi, berlarutlarut, bahkan diintervensi pihak eksekutif, yudikatif, atau legislatif.

Namun, politik koordinasi-supervisi oleh KPK hanya dirumuskan dalam nota kesepahaman dengan Kepala Polri dan Jaksa Agung, bukan dengan peraturan pemerintah untuk menjalankan UU pemberantasan korupsi sebagaimana mestinya.
Sedikit banyak hal itu telah melambankan penanganan kasus mafia pajak yang melibatkan pegawai Ditjen Pajak dan jaksa penuntut umum.
Objek koalisi politik Dalam pusaran arus politik itulah pemberantasan korupsi khususnya dan penegakan hukum pada umumnya berada. Dalam konteks politik otoritarian, seperti di masa Orba, penegak hukum `sekadar' instrumen untuk mengukuhkan kekuasaan dan menyingkirkan lawan politik. Sederhana.
Di zaman demokrasi multipartai dewasa ini, yang konfigurasinya tidak simetrik dan tidak linear dari pusat hingga daerah, akan rumit apabila penegak hukum juga ikut bermain koalisi.
Pemberantasan korupsi yang tak berkeadilan, pilih tebang semaunya, dan bahkan dijadikan objek koalisi politik, akan mengonversi penegakan hukum jadi alat balas dendam oleh kekuatan politik yang dominan. Hal itu juga menjerumuskan aparat penegak hukum sebagai instrumen kekuasaan sehingga menghancurkan independensi yang dibangun atas nama hukum dan keadilan.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/06/13/ArticleHtmls/Faktor-Politik-dalam-Penindakan-Korupsi-13062011017003.shtml?Mode=1

Para Buron

Siapa yang menciptakan buron?” Di hutan belantara, buron menciptakan dirinya sendiri.Di sana kijang telah menjadi kijang dan ayam sejak kecil telah menjadi ayam; kelinci, celeng, babi hutan, dan domba liar masingmasing secara alami telah “menjadi” sebagaimana adanya.


Di sana buron diburu bukan karena salah telah mencuri duit rakyat, melainkan karena dia buron secara alami tadi.Di sana buron lepas bukan karena taktik strategis menghindari ancaman KPK,bukan pula karena nasihat atasan yang takut dirinya terlibat dan juga bukan karena penasihat hukum memintanya begitu, melainkan sebagian karena peluru sang pemburu meleset dan si buron menghilang dalam kegelapan rimba.

Tak ada kata Singapura yang “menadah” secara rakus duit yang dibawa para buron yang menjadikan tempat itu sorgaloka yang nyaman. Di hutan yang ada singa sejati.Dan singasinga sejati ini juga menjadi “pemburu”yang lebih ahli dari para pemburu yang menyandang bedil di pundaknya.

Di rimba raya buron langsung dibidik tanpa ditanya dan peluru yang mendesing sangat cepat mengakhiri hidupnya.Ini kekejaman rimba raya karena di rimba raya tak ada hukum. Ya, memang, di rimba raya tak ada hukum. Dan kita tak pernah berbicara perkara hukum. Di sana, kekuatan yang menjadi hukum.

Di sana, tipu daya dan kelicikan yang menjadi hukum kehidupan. *** Di masyarakat kita, masyarakat modern, yang mengaku beradab, para warganya mengaku diri mereka saleh dan menjunjung tinggi hukum, tak ada buron alamiah seperti di hutan belantara tadi. Tak ada orang yang bisa disebut jenis buron sejak kecil.

Tak ada tanda yang menunjukkan bahwa seseorang akan menjadi buron pada suatu tahap usia tertentu. Tapi buron itu ada. Dan dari waktu ke waktu jumlah buron makin bertambah.Bahkan dari waktu ke waktu,buron kita makin cerdik, makin licik, makin liar. Dan dari waktu ke waktu, penasihat partai, pengawas partai, ketua partai merasa perlu terlibat langsung “menangani” perkara bila salah seorang anggota partainya kedapatan memiliki sejumlah gejala, bukti, atau tanda keterlibatan yang kuat di dalam pencurian duit rakyat.

Para petinggi partai sangat gusar jika ada anggotanya yang memiliki tandatanda yang patut diduga, patut dicurigai, bahwa yang bersangkutan mencuri duit rakyat. Ini hebat sekali. Bukti bahwa mereka prihatin dan tak ingin duit rakyat dicuri? Mereka patut menjadi teladan mulia? Tunggu dulu. Bisa saja soal lain yang membuat mereka gusar.

Dan bisa saja yang disebut soal lain itu kecemasan pribadi karena jangan-jangan dirinya ternyata bakal ketahuan terlibat juga.Jangan-jangan anak, istri, saudara atau orang dekatnya jelas bakal terseret dan dirinya sendiri tidak aman.Janganjangan.... Inilah perkara kita. Inilah yang membuat kita menjadi begitu sibuk.Tiap saat kita membuat pernyataan.Tiap saat kita berusaha membuktikan tak terlibat.

Tiap saat kita mengelak juga? Mungkin sekali begitu.Dan jangan heran tiap saat telinga kita dijejali berita buron. Pagi kita mendengar buron lari.Siang diulangi bahwa buron yang lari tak mau pulang. Sore diulangi lagi bahwa buron yang sudah dijemput pun menolak pulang. Di sini buron tak bisa dipaksa. Sang pemburu tak boleh main tembak seperti raja cowboy di zaman Wild Wild West yang liar.

Ini dunia beradab. Segala hal diatur oleh hukum. “Beradab?” Kita hidup di dalam dunia “beradab”? Kita makin fasih bicara hukum, hukum, dan hukum. Sebentarsebentar hukum.Seolah kita ini betul-betul terhormat dan sungguh mulia karena mendasarkan hidup pada aturan hukum. ***

Menurut orang perempuan dari partai paling hebat dalam urusan duit akhir-akhir ini, yang dipindah dari KPU secara agak darurat,partainya tak bisa memaksa anggotanya yang lari untuk pulang.Tak ada hukum yang bisa membuat partai memaksa. Mantaaap! Baginya, hati nurani bukan hukum.Etika partai tak pantas dijadikan landasan bertindak karena bukan hukum. Hukum kepantasan dalam hidup?

Bukan hukum. Nama baik partai? Tidak penting. Itu lebih lemah dari hukum. Tanggung jawab sosial demi public trust bagi partai? Dan kenyataan bahwa partainya makin merosot ke titik jenuh di mana rakyat merasa muak? Ini pun tak cukup kuat untuk menggerakkan mereka membantu memfasilitasi penegak hukum menyeret buron tadi. Rasa malu? Tak perlu malu karena bukan hukum.

Nama baik tercoreng? Ini pun tak menjadi pertimbangan. Maka kita bertanya lagi: siapa yang membuat buron? Siapa yang menasihati agar seseorang menjadi buron? Perhitungan politik apa maka seseorang bukan menjadi, melainkan “dijadikan”buron? Akhirnya muara persoalan ada di situ.Akhirnya kecurigaan yang sehat karena sejak zaman Bank Century yang gelap,zaman Gayus yang gelap,dan zaman Nazaruddin yang juga gelap harus diungkapkan demi kejujuran.

Maaf, kejujuran memang bukan hukum.Tanggung jawab sosial sebagai warga negara terhadap negaranya juga bukan hukum. Tapi saya harus sehat secara politik dan kebudayaan. Dan saya menulis.Tapi apa makna hukum dalam kepala orang Demokrat itu jika di dalamnya tak ada kejujuran?

Dan apa makna hukum bagi seorang politikus jika di dalamnya tak terkandung rasa tanggung jawab? Apa yang membuat para buron lebih senang menjadi buron? Celeng,babi hutan, atau kerbau liar pun tak suka diburu. Mengapa orang memilih menjadi buron? ● M SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.coThis e-mail address is being protected from spam bots, you need JavaScript enabled to view it

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/405452/