BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Hantu "Recall" Wakil Rakyat

Hantu "Recall" Wakil Rakyat

Written By gusdurian on Kamis, 17 Maret 2011 | 10.37

Refly Harun

Pemungutan suara terhadap usulan pembentukan panitia khusus angket DPR untuk mafia pajak, 22 Februari lalu, telah memakan korban.

Dua anggota DPR yang balela dari garis partai, yaitu Lily Wahid dan Effendy Choirie (Gus Choi), dari Partai Kebangkitan Bangsa, partai pendukung koalisi pemerintah, siap-siap kehilangan kursi empuk DPR. Pimpinan PKB telah mengajukan penarikan (recall) terhadap keduanya.

Surat recall telah diteruskan Ketua DPR Marzuki Alie kepada Komisi Pemilihan Umum. KPU nanti akan mengecek apakah calon pengganti sesuai dengan hasil pemilu di KPU, yaitu suara terbanyak berikutnya. Bila aspek-aspek administratif tidak bermasalah, bisa dipastikan Presiden akan segera mengeluarkan keputusan tentang pemberhentian Lily Wahid dan Gus Choi serta mengeluarkan keputusan baru tentang penetapan anggota DPR pengganti.

Semudah itukah recall? Begitulah fakta hukum positifnya. Dalam prosesi recall, terlibat empat institusi, yaitu pimpinan parpol pengusul, pimpinan DPR, KPU, dan Presiden. Hanya pimpinan parpol yang punya kewenangan substantif, sedangkan tiga institusi sisanya hanya memiliki kewenangan administratif. Sepanjang administrasi recall beres, mereka tidak dapat menahan proses recall.

Jadi, apa yang dilakukan Ketua DPR Marzuki Alie dengan meneruskan usul recall ke KPU sudah tepat kendati tindakan ”buru-buru” tersebut dikritik Wakil Ketua DPR Pramono Anung.

Suka atau tidak, dalam perspektif ius constitutum (hukum yang berlaku saat ini), recall adalah tindakan sah. Ia dapat digunakan sewaktu-waktu oleh parpol. Oleh karena itu, siapa pun yang menentang recall harus mengupayakan dihapusnya ketentuan itu dalam undang-undang. Saya sendiri tetap berpendapat recall bertentangan dengan konstitusi, terlepas bahwa Mahkamah Konstitusi pernah menolak penghapusan recall pada putusan tahun 2006.

Rakyat lebih berhak

Ketika berkunjung ke kantor Christian Democratic Union, partai terbesar di Jerman pimpinan Angela Merkel (kini Kanselir Jerman), di Berlin, September tahun lalu, saya sempat bertanya soal recall kepada salah satu ahli hukum di kantor tersebut. ”Apakah ada recall di parlemen Jerman?” Dengan mantap ia menyatakan tidak ada.

”Karena itu akan bertentangan dengan konstitusi,” katanya. ”Tapi, bagaimana kalau anggota parlemen menentang kebijakan partai?” tanya saya lagi. ”Tidak mengapa karena anggota parlemen Jerman mewakili rakyat. Paling-paling dia tak dicalonkan lagi pada pemilu berikutnya.”

Jawaban itu mengingatkan saya pada putusan MK tentang kasus recall yang diajukan Djoko Edhi Abdurrahman, anggota DPR dari Partai Amanat Nasional, pada 2006. MK menolak membatalkan ketentuan recall dengan perbandingan suara 5:4. Lima hakim setuju recall dipertahankan dan empat hakim menilai recall bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dibatalkan.

Dalam komposisi lima-empat tersebut Ketua MK Jimly Asshiddiqie dan Wakil Ketua MK Laica Marzuki termasuk yang ingin recall dihapus. Sayang, mereka kalah suara. Lima hakim yang pro-recall saat itu adalah Roestandi, Natabaya, Soedarsono, Palguna, dan Harjono. Dua lagi yang kontra adalah Maruarar Siahaan dan Mukti Fadjar.

Salah satu alasan dipertahankannya recall adalah sistem pemilu yang digunakan, yaitu sistem proporsional, tidak langsung memilih calon. Calon harus dinominasikan parpol agar dapat terpilih sehingga masuk akal bila parpol diberi juga hak untuk menarik anggota tersebut.

Adapun yang kontra-recall menyatakan bahwa telah terjadi pergeseran hubungan hukum ketika seorang calon terpilih sebagai anggota DPR. Ketika akan dinominasikan, hubungan hukumnya dengan parpol yang mengajukan, sedangkan ketika terpilih dengan rakyat yang memilih. Dengan kata lain, rakyatlah yang lebih berhak atas anggota DPR tersebut ketimbang parpol.

Alasan hakim yang pro-recall sebenarnya terlalu mengada-ada dan terbilang ”kuno”. Jerman, misalnya, juga menggunakan sistem pemilu yang lebih kurang sama dengan Indonesia. Bahkan 50 persen anggota parlemen Jerman terpilih karena nomor urut karena Jerman menerapkan sistem proporsional campuran (mixed member proportional) dengan formula 50:50 antara kursi proporsional dan kursi mayoritarian (distrik).

Dengan mekanisme calon terpilih berdasarkan suara terbanyak yang dipraktikkan pada Pemilu 2009, sesungguhnya peran pemilih jauh lebih besar ketimbang peran parpol dalam menentukan keterpilihan seorang calon. Hingga titik ini recall yang dikaitkan dengan sistem pemilu sudah kehilangan pijakan.

Pengaitan itu sendiri sebenarnya juga tak tepat karena recall jelas bertentangan dengan konsep kedaulatan rakyat. Rakyat yang memberikan mandat, seharusnya rakyat pula yang berhak menariknya. Bila ayat-ayat recall tetap dipertahankan dalam UU, saatnya kini MK menyatakannya bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, ke depan tak ada lagi hantu recall bagi wakil rakyat yang sudah terpilih melalui pemilu.

Refly Harun Pengamat Hukum Tata Negara; Peneliti Senior Centre for Electoral Reform (Cetro)

http://cetak.kompas.com/read/2011/03/17/03051868/hantu.recall.wakil.rakyat
Share this article :

0 komentar: