Palupi P Astuti dan Toto Suryaningtyas
Polemik sistem monarki dalam sistem pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tampak memecah sikap masyarakat. Meski terpisah cukup diametral, secara umum opini publik cenderung menerima kesepakatan sifat kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi DIY.
Hal tersebut menjadi benang merah persepsi publik dalam jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 1-3 Desember 2010, terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Lebih dari tiga perempat responden yang tinggal di DIY (88,6 persen) memilih penetapan Sultan sebagai gubernur ketimbang melalui jalur pemilihan kepala daerah (pilkada) seperti yang dilakukan di provinsi lain. Sementara pilihan responden nasional (sebagian besar di luar DIY) hampir berimbang, antara yang menginginkan penetapan Sultan (49,4 persen) dan pemilihan (45,5 persen).
Menilik dari latar belakang pendidikan responden, bagi responden nasional tidak terlalu tampak perbedaan jawaban yang diberikan meski ada kecenderungan responden sarjana dan pascasarjana lebih banyak yang bersikap setuju penetapan (sekitar 56-66 persen). Secara umum, dilihat dari tingkat intensitas yang diberikan, tampak pula bahwa responden nasional yang menaruh perhatian terhadap pemberitaan media soal RUU Keistimewaan DIY cenderung memilih model penetapan Sultan ketimbang model pilkada. Sementara bagi responden DIY, profil responden yang paling tinggi menyuarakan model penetapan (sekitar 80 persen) tersebar dari kalangan berusia sekitar 30 tahun ke atas, tidak bekerja hingga sarjana, karyawan swasta, serta pensiunan dan tidak bekerja.
Cukup tajamnya perbedaan persepsi publik tampak jika melihat alasan mereka mengemukakan opininya. Alasan paling banyak bagi responden yang menyetujui model penetapan Sultan sebagai gubernur DIY adalah terkait nilai kesejarahan, kesepakatan historis, dan tradisi yang selama ini sudah berjalan. Di peringkat berikutnya adalah opini responden terkait pribadi positif Sultan di mata mereka. Sementara itu, responden yang memilih model pilkada mengemukakan bahwa alasan utamanya adalah soal sistem demokrasi. Meski menyatakan soal sistem, tidak banyak responden yang menyinggung soal transparansi, akuntabilitas pemerintahan, atau kesejahteraan.
Hingga tahun 2010, RUU Keistimewaan Yogyakarta belum juga dirampungkan. Sudah hampir delapan tahun, sejak 2002, ketika muncul usul untuk membuat undang-undang ini pertama kali. Setelah sempat berada di tangan DPR pada tahun 2008 yang lalu dikembalikan lagi ke pemerintah, RUU ini belum juga menemui titik temu untuk segera disahkan. Satu persoalan yang menjadi ganjalan utama pembahasan RUU adalah soal jabatan gubernur DIY. Bagi sebagian besar publik DIY, jabatan gubernur yang otomatis dijabat Sultan merupakan sebuah simbol status yang sudah diterima sebagai ”kebenaran”. Sementara di sisi pemerintah, pasca-diundangkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, semakin nyata perlunya sinkronisasi mekanisme demokrasi di seluruh provinsi.
Sulit dimungkiri, dari wacana yang berkembang tampak bahwa demokrasi yang dipahami sebagian publik DIY memiliki paradigma yang bernuansa primordial. Dari jawaban yang diberikan responden DIY, tampak bahwa bagian terbesar publik masih menerima kepemimpinan Sultan hingga akhir hayatnya, suatu hal yang paling menjadi sorotan dalam diskursus soal keistimewaan DIY. Saat ditanya penilaian tentang masih layak atau tidak sistem penetapan kepala daerah di Yogyakarta disebut sebagai demokrasi, sebanyak 73 persen responden menyatakan masih layak. Sebaliknya, responden nasional cukup bimbang menilai sistem tersebut layak disebut demokrasi, dengan proporsi hampir berimbang 47,5 persen (layak) dan 43,4 (tidak layak).
Terhadap adanya usulan agar Sultan tidak perlu menjadi gubernur, tetapi diposisikan sebagai parardhya, sebagaimana diusulkan dalam draf RUU Keistimewaan DIY yang diajukan Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (JIP UGM), responden DIY pun lebih banyak yang menolak. Lebih dari 50 persen responden menyatakan ketidaksetujuannya apabila Sultan dan Paku Alam hanya menduduki jabatan sebagai parardhya. Parardhya adalah satu kesatuan lembaga yang berfungsi sebagai simbol, pelindung dan penjaga budaya, serta pengayom dan pemersatu masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.
Meski memiliki hak dan wewenang khusus, posisi parardhya memang tidak strategis seperti gubernur. Apalagi, sebagai parardhya, hak politis Sultan dan Paku Alam cenderung ”diarahkan”, antara lain memberikan persetujuan pemilihan kepala daerah (dengan hak veto) dan pengawasan umum pemerintahan.
Keselarasan
Dalam pidato menyikapi perkembangan sikap publik terkait RUU Keistimewaan DIY, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut perlunya menempatkan peran penting Sultan dan Paku Alam dalam konteks kepemimpinan DIY. Meski demikian, RUU Keistimewaan yang diajukan pemerintah ke DPR secara subtantif tidak beranjak dari posisi hukum semula, yakni menempatkan Sultan-Paku Alam sebagai parardhya dan gubernur dipilih langsung. Amanat konstitusi dan perundangan turunannya menjadi dalil hukum tata negara yang menurut pemerintah harus dijalankan secara konsisten.
Di sisi lain, posisi sikap publik, khususnya warga DIY, tampaknya tidak akan banyak beranjak dari sikap meminta model penetapan gubernur. Posisi yang diametral antara sebagian besar publik DIY dan pemerintah tentu merupakan potensi bencana politik bagi kestabilan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terlebih, di luar berbagai aspek keistimewaan yang sudah disepakati pemerintah dan DPR sebelumnya, soal penetapan gubernur bergerak menjadi wacana soal identitas primordial daerah bagi orang Yogyakarta—kalau tidak bisa bisa disebut ”harga diri”. Berkaca dari keberatan sebagian kawula Yogyakarta saat Sultan berniat maju ke pertarungan pemilihan presiden pada pemilu sebelumnya, rakyat Yogyakarta kebanyakan lebih suka menempatkan Sultan sebagai ”Raja” Keraton Yogyakarta, gubernur, atau apa pun istilah politik modern untuk itu. Jabatan presiden atau wakil presiden, meski tingkatnya nasional, tidak ”menyilaukan” mata politik warga Yogyakarta. Meski demikian, manuver politik Sultan dalam kancah politik nasional dipandang responden bisa juga yang menjadi pemicu polemik keistimewaan Yogyakarta saat ini.
Dalam konteks demikian, apalagi didukung fakta berjalannya sistem demokrasi di DIY, sulit untuk mengharapkan mundurnya stand position publik DIY. Bagaimanapun, bagi publik DIY, esensi demokrasi seperti penghormatan pluralisme, HAM, akuntabilitas berjalan selaras dengan tujuan kesejahteraan berjalan selaras dan tak pernah bermasalah selama ini. Maka, menjadi sebuah keterkejutan politik ketika sebuah keistimewaan yang delapan tahun lalu hendak dicarikan payung hukum pelindungnya, kini justru berbuah ”bencana kecil” bagi paradigma warga DIY memandang rajanya.(Litbang Kompas)http://cetak.kompas.com/read/
0 komentar:
Posting Komentar