Jumat (26/11), bahwa Indonesia adalah negara hukum dan negara
demokrasi, di mana nilainilai demokrasi tidak boleh diabaikan serta
tidak boleh ada sistem monarki yang bisa bertabrakan dengan konstitusi
dan nilai-nilai demokrasi, menuai kontroversi.
Sehari kemudian,Sultan Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X yang
merangkap Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menanggapi,“ DIY
bukanlah monarki. Namun, jika jabatan gubernur yang juga dijabat
Sultan Yogyakarta dianggap pemerintah pusat sebagai penghambat proses
penataan DIY, saya bersedia meninjau kembali jabatan gubernur
tersebut.”
Silang pendapat antara Presiden SBY dan Sri Sultan itu terkait dengan
pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta (RUUK DIY). RUUK DIY sebenarnya sudah disusun oleh
Pemerintah Provinsi DIY pada 2000 dan diajukan ke pemerintah pusat
agar dibahas di DPR pada 2002.Namun, karena DIY bukan provinsi yang
ada gerakan separatis seperti di Papua dan Aceh,pembahasan mengenai
RUUK DIY tidak mendapatkan tanggapan positif dari pemerintah dan Dewan
saat itu.
Sebenarnya RUUK DIY sepatutnya membahas apa saja keistimewaan
DIY.Bukan hanya persoalan rekrutmen kepala daerah,melainkan lebih dari
itu, yakni hakhak dan wewenang istimewa apa yang dimiliki Pemprov DIY
dalam melaksanakan pemerintahannya, baik di bidang
politik,sosial,budaya, pertanahan, tata ruang, dan pendidikan.
Entah mengapa, kontroversi mengenai keistimewaan DIY justru
dipersempit menjadi apakah Raja atau Sultan Yogyakarta otomatis
menjadi Gubernur DIY dan Paku Alam otomatis menjadi Wakil Gubernur
DIY. Jika merujuk pada sejarah,keistimewaan Yogyakarta diakui sejak
masa kolonial Belanda dan Jepang. Sultan Hamengku Buwono IX adalah
penguasa Yogyakarta yang diberi wewenang penuh oleh Pemerintah Hindia
Belanda di Batavia untuk mengatur pemerintahan di Yogyakarta.
Ketika Jepang mengambil alih kekuasaan kolonial dari tangan Belanda
pada 1942, penguasa militer Dai Nippon di Jakarta juga mengangkat
Sultan Yogyakarta sebagai penguasa tunggal di Yogyakarta. Walau Sri
Sultan Hamengku Buwono IX berpendidikan Belanda, saat Belanda kembali
ke Indonesia setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada 15 Agustus
1945, beliau menunjukkan sikap nasionalismenya yang tinggi sebagai
pendukung kemerdekaan Republik Indonesia.
Seperti para pemimpin di Aceh,Sultan Yogyakarta juga mendukung
proklamasi kemerdekaan RI dan menyatakan bergabung dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Tak cuma itu, pada 5 September 1945
Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII membuat Maklumat
Politik menegaskan kembali bergabungnya Yogyakarta sebagai bagian dari
NKRI.
Patut diingat bahwa wilayah Republik Indonesia saat itu masih sangat
terbatas di beberapa bagian Sumatera, Jakarta,Yogyakarta, Jawa Tengah,
dan Jawa Timur di tengah wilayah- wilayah yang masih dikuasai Belanda
yang kemudian menjadi negara-negara Pasundan,Madura, Negara Indonesia
Timur, dan lain sebagainya.
Saat keberadaan Republik Indonesia semakin di ujung tanduk, sesuai
dengan Perjanjian Linggarjati, adalah Sultan Hamengku Buwono IX yang
memberi tempat perlindungan kepada para pemimpin republik dan memberi
wilayah Yogyakarta sebagai ibu kota perjuangan Republik Indonesia.
Tidaklah mengherankan jika pada 15 Agustus 1950 pemerintah RI
memberikan keistimewaan kepada Aceh dan Yogyakarta karena dukungan
penuh mereka kepada Republik yang masih muda itu.
Sultan Hamengku Buwono IX adalah juga seorang republikan sejati,walau
ia seorang sultan atau raja.Sumbangsih Kesultanan Ngayogyakarta bukan
hanya dukungan politik semata, melainkan juga dana dan wilayah.Tanah
yang digunakan oleh Universitas Gadjah Mada adalah tanah Kesultanan
Yogyakarta.Yogyakarta juga pernah menjadi ibu kota negara saat Jakarta
digempur dan diduduki Belanda.
Adalah Sultan Yogya pula yang memberi inspirasi dan dukungan penuh
kepada tentara di bawah Letnan Kolonel Soeharto (kemudian menjadi
Presiden RI kedua) untuk melakukan Serangan 1 Maret 1948 sebagai
simbol bahwa Republik Indonesia masih ada.Seperti kata Bung Karno,kita
sebagai bangsa, apalagi pimpinan nasional, “Jangan sekali-sekali
melupakan sejarah (Jas Merah)!”
Satu hal penting lainnya,keistimewaan Yogyakarta dan Aceh juga dijamin
keberadaannya oleh konstitusi kita, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 Pasal 18B. Karena itu,keistimewaan Yogyakarta
dengan segala bentuk kesultanannya berada di bawah naungan atau berada
di bawah payung hukum konstitusi negara kita. Pertanyaannya, apakah
Yogyakarta sebuah monarki? Jika kita membaca buku Sultan Hamengku
Buwono IX,Tahta untuk Rakyat, jelas Yogyakarta bukanlah suatu monarki
absolut,melainkan suatu monarki kultural sebagai akibat dari
bergabungnya Yogyakarta ke dalam NKRI.
Buku Tahta untuk Rakyat juga memperlihatkan betapa Yogyakarta bukan
lagi Monarki Politik. Sebagai Ngarso Dalematau raja,Sultan Hamengku
Buwono IX dan diteruskan oleh Sultan Hamengku Buwono X benar-benar
mengabdikan dirinya untuk kesejahteraan rakyat, bukan
sebaliknya.Tengok misalnya saat Sri Sultan Hamengku Buwono X
menyatakan tidak lagi bersedia menjadi Gubernur DIY, rakyat
Yogyakarta, termasuk mereka yang berasal dari luar Jawa, langsung
menentang keputusan tersebut.
Bahkan,pada 28 Maret 2008 ribuan rakyat melakukan Sidang Rakyat di
halaman Gedung DPRD DIY yang intinya tetap mendukung Sultan sebagai
Gubernur DIY. Lalu apakah monarki bertentangan dengan demokrasi?
Jawabnya, jika sistem monarki itu bersifat absolut, jelas itu
bertentangan dengan demokrasi. Dengan demikian, bukan monarkinya yang
bertentangan dengan demokrasi, melainkan absolutismenya.
Tengok misalnya bagaimana perubahan monarki di Inggris dari monarki
absolut menjadi monarki konstitusional yang didahului dengan kontrak
sosial antara raja dan rakyat yang kemudian menumbuhkan sistem monarki
konstitusional di mana ada sistem perwakilan dua kamar: House of Lord
untuk kaum bangsawan dan House of Common untuk wakil rakyat
kebanyakan.
Demokrasi juga mengandung kelemahan tersendiri jika tirani mayoritas
lebih dikedepankan ketimbang musyawarah untuk mufakat. Tirani
mayoritas yang mengedepankan sistem voting lebih menjurus pada
kemenangan kelompok mayoritas dan mengesampingkan kelompok-kelompok
minoritas dalam sistem politik yang ada.Sementara musyawarah mufakat
atau unonimous decisionlebih mengedepankan kebersamaan atau
kepemilikan bersama atas keputusan politik yang diambil.
Ini bukan hanya berlaku di Indonesia dan sesuai dengan sila keempat
dari Pancasila, melainkan juga berlaku di negaranegara barat. Jika
tidak, mana mungkin ada terminologi unonimous decision atau keputusan
politik yang didukung oleh semua kekuatan politik yang ada di
parlemen. Demokrasi melalui voting memang sah asalkan semua kekuatan
politik,baik yang menang maupun yang kalah,menghormati hasil dari
democratic bargainingtersebut.
Dalam terminologi Jawa dikenal,bagi yang menang,“Menang tanpa
ngasorake” atau kemenangan tanpa harus menafikan kelompok minoritas
atau menyoraki yang kalah.Bagi yang kalah, terdapat kewajiban untuk
menerima kekalahan politik tanpa membuat keonaran atau “Kalah tanpa
banda.” Kelemahan lain dari demokrasi ialah jika yang berlaku adalah
democratic auuthoritarianism, yakni menggunakan sistem demokrasi untuk
menjalankan sistem otoriter seperti yang dilakukan Hitler setelah
terpilih menjadi Kanselir Jerman pada 1933.
Lebih buruk lagi jika democratic authoritarianismjuga menciptakan
presidential monarch seperti pada era Orde Baru,yaitu karena
kemenangan politiknya, seorang presiden menjalankan pemerintahannya
tanpa adanya pengawasan dari parlemen atau menjalankan pemerintahan
dengan tangan besi sendirian. Sistem presidensial adalah sistem
demokrasi,tetapi bila digabung dengan monarch (gabungan dari kata mono
dan arch atausatutangan) bisamenjuruspada sistem pemerintahan yang
otoriter.
Sebagai “kawan” yang dulu sama-sama duduk dalam tim reformasi politik
yang dikoordinasi oleh Letjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono di era
pemerintahan Presiden BJ Habibie, penulis hanya mengingatkan Presiden
SBY agar “Jangan sekali-sekali melupakan Sejarah”bangsa
kita.Perseteruan antara Presiden SBY dan Sri Sultan Hamengku Buwono X,
jangan sampai merusak tatanan keistimewaan DIY.
Persoalan negara harus lebih dikedepankan ketimbang persoalan
pribadi.Presiden SBY justru dapat dituduh sebagai pemimpin nasional
yang tidak memahami sejarah bangsa dan mengabaikan konstitusi negara
jika memaksakan kehendak politiknya mengeliminasi kekuasaan Sultan
Yogyakarta yang adalah bagian tak terpisahkan dari keistimewaan DIY.
Jangkauan kekuasaan (range of power), domain kekuasaan (domain of
power) dan lingkup kekuasaan (scope of power) pemerintah pusat
terhadap pemerintah daerah di era reformasi ini, terlebih lagi di
daerah yang menurut konstitusi negara dijamin keistimewaannya dan juga
dijamin kekhususan otonominya sesuai dengan UU yang berlaku memang ada
batasnya.
Kita tentunya tidak ingin Presiden SBY terjerembab menerapkan
democratic authoritarianism dan presidential monarch terkait dengan
keistimewaan DIY ini. Sejauh tahta sultan untuk rakyat, apalagi sultan
bukanlah seorang raja yang menjalankan kekuasaannya secara
absolut,Kesultanan Yogyakarta bukanlah monarki politik dan tidak
bertentangan dengan demokrasi.(*)
IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang
Intermestic Affairs LIPI
http://www.seputar-indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar