Penegak Hukumnya Ewuh Pakewuh Untuk Menindak
RMOL.Pemerintah pusat gelontorkan triliunan rupiah ke daerah, praktik korupsi pun menggila di daerah. Satu semester 2010 saja, ICW mendeteksi setidaknya ada 159 kasus korupsi yang terungkap. Pukat UGM sudah melaporkan 1.891 kasus korupsi di daerah hasil pemekaran ke KPK. Aparat penegak hukum di daerah masih ewuh pakewuh untuk menindak koruptor, karena kebanyakan pelaku koruptor adalah petinggi daerah.
Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) menggeleng-gelengkan kepalanya, seraya tak percaya dengan data kasus korupsi daerah yang dipegangnya.
Dia bilang, masifnya tuntutan pemekaran daerah memicu peningkatan kasus korupsi. “Setiap ada satu daerah baru berarti ada korupsi kemungkinan besar lebih dari satu,” kata pria yang akrab disapa Esson ini.
Esson menjelaskan, setidaknya ada lima celah anggaran yang kerap menjadi target korupsi di daerah yakni; anggaran APBD, anggaran pemekaran daerah, anggaran pemilihan kepala daerah, anggaran penanggulangan bencana, dan anggaran kunjungan kerja.
Dari 250 daerah otonom baru alias daerah yang terbentuk dari hasil pemekaran, sudah 1800 kasus korupsi yang terungkap dan masuk pengadilan.
Kebanyakan pelakunya, disebutkan Esson, adalah para petinggi daerah. Sepanjang 2004-2009 tercatat setidaknya 1.243 anggota DPRD terlibat korupsi.
Mirip dengan pejabat di perkotaan, pejabat di daerah juga tergoda untuk korupsi lantaran menganggap dirinya kurang sejahtera.
“Gaji pegawai di sana begitu kecil. Maka satu-satunya jalan memperkaya diri adalah dengan jalan korupsi,” cetusnya.
Kondisi tersebut diperparah dengan buruknya upaya penegakkan hukum di daerah. ‘Taring’’penegak hukum di daerah tak tajam. Alhasil, banyak pelaku korupsi divonis bebas.
Yang menjadi penghambat penegakan hukum di daerah, menurut Esson, salah satunya adalah unsur Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida).
“Kejati atau Kejari sulit mengadili karena sungkan, lantaran ada Muspida. Jika ini terus didiamkan bisa jadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi di daerah,” jelas Esson.
Selain rasa ewuh pakewuh, tebang pilih dan penerbitan surat izin pemeriksaan bagi pejabat yang terlibat kasus korupsi juga menjadi kendala penegak hukum.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada, Zainal Arifin Muchtar, menambahkan melonjaknya kasus korupsi di daerah juga dipicu oleh tingginya anggaran negara yang digelontorkan ke daerah.
Nah, tingginya angka kasus korupsi itu juga menyebabkan gagalnya prosesnya pembangunan di daerah baru hasil pemekaran.
Meminjam data yang disampaikan Presiden Yudhoyono, Zainal mengatakan, 80 persen daerah baru hasil pemekaran gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Pada 2009 Pukat sudah melaporkan sekitar 1.891 kasus korupsi yang terjadi di tujuh daerah pemekaran ke KPK. Zainal merinci, korupsi itu terjadi di Provinsi Banten ( 593 kasus), Kepulauan Riau (463), Maluku Utara (184), Kepulauan Bangka Belitung (173), Sulawesi Barat (168), Gorontalo (155), dan Papua Barat 147 kasus.
“Sebagian besar kasus terjadi dengan modus penyalahgunaan anggaran, suap, dan penggelembungan anggaran (mark up) pada proyek-proyek yang dibiayai APBD,” ungkapnya.
Dari data tersebut menunjukkan anggaran pembangunan di daerah menjadi sasaran empuk para tikus berdasi. Jadi realitasnya selama hampir 10 tahun ini, pemekaran daerah yang terjadi hanyalah memindahkan korupsi dari pusat ke daerah.
“Semangat awal menyejahterakan rakyat berbalik arah menjadi sekadar membagi kue kekuasaan. Rakyat tetap menderita dengan pahit getirnya kemiskinan,” pungkasnya.
Sekadar info tambahan selama kurun waktu 10 tahun terakhir, Indonesia sudah melahirkan 205 daerah baru, yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota.
Gamawan Akui Korupsi Banyak Terjadi Di Daerah Pemekaran
Saat dimintai komentarnya seputar fenomena maraknya praktek korupsi di daerah hasil pemekaran, bekas Gubernur Sumatera Barat ini pun mengakuinya.
Untuk menekan angka korupsi di daerah, Gamawan cuma mengusulkan agar jajaran birokrat di daerah menggarap Sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).
Kemendagri akan memberlakukan PTSP di seluruh daerah di Indonesia. Pemerintah akan memberi sanksi kepada kepala daerah yang menolak sistem pelayanan komputerisasi ini.
“Beberapa hari yang lalu saya sudah menyampaikan di kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), kalau sudah masuk sistem, sudah tidak ada biaya lagi,” ujar Gamawan.
Selain itu, pemerintah pusat juga akan mewajibkan semua daerah segera menyusun peraturan daerah dalam hal investasi.
Gamawan menjelaskan, nanti setelah sistem PTSP berjalan para investor yang mau investasi di sebuah daerah tidak perlu bertemu dengan bupati atau kepala daerah lagi. Jadi mereka tidak bisa lagi negoisasi di luar prosedur. “Kalau itu sudah distandarkan tidak akan bisa lagi diselewengkan.”
“Izin Periksa Koruptor, Sering Macet Di Istana”
I Wayan Sudirta, Ketua Kaukus Anti Korupsi DPD
Senator asal Bali ini mengakui kalau pemberantasan korupsi di daerah itu sulit, salah satunya karena panjangnya rantai birokrasi.
Untuk memeriksa kepala daerah yang jadi tersangka kasus korupsi saja, penerbitan surat izin dari Presiden saja butuh waktu lama. Ini yang menjadi salah satu bentuk intervensi eksekutif yang sulit dihindari.
“Izin presiden sering macet di lingkaran Istana. Umumnya, di sana sering terjadi tebang pilih dan lobi-lobi agar proses pemeriksaan tidak lancar,” kata I Wayan.
Dengan kondisi seperti itu, sambung I Wayan, makanya nggak salah, kalau ada anggapan, banyak pelaku korupsi yang bercokol di daerah. Bahkan mereka (koruptor) lebih beringas ketimbang di pusat.
Untuk itu I Wayan berharap KPK meningkatkan upayanya dalam membongkar praktik korupsi di daerah. Apalagi saat ini, lanjut I Wayan, triliunan rupiah duit APBN digelontorkan ke daerah.
“Di sisi lain seharusnya Kemendagri juga ikut berperan aktif dalam mencegah terjadi korupsi di daerah. Jika itu berhasil, Mendagri bisa menjadi penolong Presiden dalam meredam kekecewaan rakyat di daerah,” tegas I Wayan.
Anggota Komisi II, Arif Wibowo juga mengakui praktek otonomi daerah selama ini telah menjadi pemicu maraknya praktik korupsi di daerah.
Arif memaparkan setidaknya ada tiga faktor yang menjadi penyebab maraknya kasus korupsi di daerah. Pertama, sistem Pilkada yang dinilai mahal. Kedua, otonomi daerah yang kebablasan. Ketiga, kontrol yang lemah dari pemerintah pusat.
“Kalau pemerintah tidak segera mengatasi ketiga penyebab utama itu, korupsi di daerah pasti makin menjamur,” ucapnya.
Untuk itu dalam waktu dekat ini, diungkapkan Arif, Komisi II sedang menunggu draft revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah.
Sedianya Oktober nanti Komisi II akan bertemu dengan Mendagri Gamawan Fauzi. “Kita akan bertanya, apakah pemerintah bisa secepatnya mengajukan revisi undang-undang tersebut atau tidak? Kalau tidak, saya akan merekomendasikan supaya Komisi II mengambil alih revisi undang-undang tersebut,” ucapnya.
“Korupsi Marak, Karena Untuk Jadi Pejabat Perlu Biaya Tinggi”
Johan Budi SP, Jubir KPK
Bekas wartawan ini membeberkan, kasus korupsi daerah yang diungkap KPK, 60-70 persennya adalah terkait penyalahgunaan dana APBD.
Kenapa kasus penyalahgunaan APBD banyak terjadi? Menurut Johan, hal itu karena dipicu oleh buruknya sistem birokrasi dan politik.
“Sudah menjadi rahasia umum kalau untuk menjadi Kepala daerah, atau anggota DPRD membutuhkan biaya yang besar untuk kampanye. Jadi saat mereka berhasil menjabat, mereka mencoba mencari celah dan mengutak-atik APBD supaya bisa balik modal”, imbuh Johan.
Johan memaparkan, setidaknya ada tiga faktor yang memicu maraknya kasus korupsi di daerah. Pertama, sistem birokrasi yang terlalu berbelit-belit, sehingga untuk menjadi pejabat di daerah memerlukan biaya besar.
Kedua, sistem hukum yang kerap membuat para koruptor mendapat keringanan hukuman.
Ketiga, lemahnya pengawasan dari pemerintah pusat, sehingga membuka celah untuk menyalahgunakan dana.
Johan menyarankan, agar pemerintah pusat, daerah, DPR serta DPRD berkerja sama memperbaiki sistem politik untuk mempersempit ruang gerak para koruptor, sekaligus menurunkan peluang korupsi.
“Kita semuajuga harus bersama-sama menjaga semangat pemberantasan korupsi, agar korupsi tandas,” tutupnya bersemangat. [RM]http://www.rakyatmerdeka.co.
0 komentar:
Posting Komentar