BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » 1.891 Kasus Korupsi Terjadi Di Daerah Hasil Pemekaran

1.891 Kasus Korupsi Terjadi Di Daerah Hasil Pemekaran

Written By gusdurian on Senin, 27 September 2010 | 12.13


Penegak Hukumnya Ewuh Pakewuh Untuk Menindak



RMOL.Pemerintah pusat gelontorkan triliunan rupiah ke daerah, praktik korupsi pun menggila di daerah. Satu semester 2010 saja, ICW mendeteksi setidaknya ada 159 kasus korupsi yang terungkap. Pukat UGM sudah melaporkan 1.891 kasus korupsi di daerah hasil pemekaran ke KPK. Aparat penegak hukum di daerah masih ewuh pakewuh untuk menindak koruptor, karena kebanyakan pelaku koruptor adalah petinggi daerah.

Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) menggeleng-ge­lengkan kepalanya, seraya tak per­caya dengan data kasus ko­rupsi daerah yang dipegangnya.

Dia bilang, masifnya tuntutan pemekaran daerah memicu pe­ningkatan kasus korupsi. “Setiap ada satu daerah baru berarti ada ko­rupsi kemungkinan besar lebih dari satu,” kata pria yang akrab disapa Esson ini.

Esson menjelaskan, setidaknya ada lima celah anggaran yang ke­rap menjadi target korupsi di daerah yakni; anggaran APBD, ang­garan pemekaran daerah, ang­garan pemilihan kepala daerah, anggaran penanggulangan ben­cana, dan anggaran kunjungan kerja.

Dari 250 daerah otonom baru alias daerah yang terbentuk dari hasil pemekaran, sudah 1800 kasus korupsi yang terungkap dan masuk pengadilan.

Kebanyakan pelakunya, dise­but­kan Esson, adalah para pe­tinggi daerah. Sepanjang 2004-2009 tercatat setidaknya 1.243 anggota DPRD terlibat korupsi.

Mirip dengan pejabat di per­kotaan, pejabat di daerah juga ter­goda untuk korupsi lantaran meng­anggap dirinya kurang sejahtera.

“Gaji pegawai di sana begitu kecil. Maka satu-satunya jalan memperkaya diri adalah dengan jalan korupsi,” cetusnya.

Kondisi tersebut diperparah dengan buruknya upaya pe­ne­gakkan hukum di daerah. ‘Ta­ring’’penegak hukum di daerah tak tajam. Alhasil, banyak pelaku korupsi divonis bebas.

Yang menjadi penghambat pe­negakan hukum di daerah, me­nurut Esson, salah satunya adalah unsur Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida).

“Kejati atau Kejari sulit meng­adili karena sungkan, lantar­an ada Muspida. Jika ini terus didiamkan bisa jadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi di daerah,” jelas Esson.

Selain rasa ewuh pakewuh, tebang pilih dan penerbitan surat izin pemeriksaan bagi pejabat yang terlibat kasus korupsi juga menjadi kendala penegak hukum.

Sementara itu, Direktur Ekse­kutif Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada, Zainal Arifin Muchtar, me­nam­bahkan melonjaknya kasus ko­rupsi di daerah juga dipicu oleh tingginya anggaran negara yang digelontorkan ke daerah.

Nah, tingginya angka kasus ko­rupsi itu juga menyebabkan ga­galnya prosesnya pemba­ngunan di daerah baru hasil pemekaran.

Meminjam data yang disam­paikan Presiden Yudhoyono, Zai­nal mengatakan, 80 persen daerah baru hasil pemekaran gagal mening­katkan kesejahteraan masyarakatnya.

Pada 2009 Pukat sudah me­laporkan sekitar 1.891 kasus ko­rupsi yang terjadi di tujuh daerah pemekaran ke KPK. Zainal me­rinci, korupsi itu terjadi di Pro­vinsi Banten ( 593 kasus), Ke­pulauan Riau (463), Maluku Utara (184), Kepulauan Bangka Belitung (173), Sulawesi Barat (168), Gorontalo (155), dan Papua Barat 147 kasus.

“Sebagian besar kasus terjadi dengan modus penyalahgunaan anggaran, suap, dan peng­ge­lembungan anggaran (mark up) pada proyek-proyek yang di­biayai APBD,” ungkapnya.

Dari data tersebut menun­jukkan anggaran pembangunan di daerah menjadi sasaran empuk para tikus berdasi. Jadi rea­litasnya selama hampir 10 tahun ini, pemekaran daerah yang ter­jadi hanyalah memindahkan korupsi dari pusat ke daerah.

“Semangat awal menye­jah­terakan rakyat berbalik arah menjadi sekadar membagi kue ke­kuasaan. Rakyat tetap men­derita dengan pahit getirnya ke­miskinan,” pungkasnya.

Sekadar info tambahan selama kurun waktu 10 tahun terakhir, Indonesia sudah melahirkan 205 daerah baru, yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota.

Gamawan Akui Korupsi Banyak Terjadi Di Daerah Pemekaran

Saat dimintai ko­mentarnya seputar fenomena maraknya praktek korupsi di daerah hasil pe­mekaran, bekas Gu­bernur Su­ma­tera Barat ini pun meng­akuinya.

Untuk menekan angka ko­rupsi di daerah, Gamawan cuma mengusul­kan agar jajaran bi­rokrat di daerah menggarap Sistem Pe­layanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).

Kemendagri akan member­la­kukan PTSP di seluruh daerah di Indonesia. Pemerintah akan memberi sanksi kepada kepala daerah yang menolak sistem pelayanan komputerisasi ini.

“Beberapa hari yang lalu saya sudah menyam­pai­kan di kantor Ba­dan Koordinasi Pe­nanaman Modal (BKPM), kalau su­dah masuk sis­tem, sudah tidak ada biaya lagi,” ujar Gamawan.

Selain itu, peme­rintah pusat juga akan mewajibkan se­mua daerah segera menyusun per­aturan daerah dalam hal investasi.

Gamawan menjelaskan, nanti setelah sistem PTSP berjalan para investor yang mau investasi di sebuah daerah tidak perlu bertemu dengan bupati atau kepala daerah lagi. Jadi mereka tidak bisa lagi negoisasi di luar prosedur. “Kalau itu sudah distandarkan tidak akan bisa lagi diselewengkan.”

“Izin Periksa Koruptor, Sering Macet Di Istana”

I Wayan Sudirta, Ketua Kaukus Anti Korupsi DPD

Senator asal Bali ini meng­akui kalau pemberantasan korupsi di daerah itu sulit, salah satunya karena panjangnya rantai birokrasi.

Untuk memeriksa kepala daerah yang jadi tersangka kasus korupsi saja, penerbitan surat izin dari Presiden saja butuh waktu lama. Ini yang menjadi salah satu bentuk intervensi eksekutif yang sulit dihindari.

“Izin presiden sering macet di lingkaran Istana. Umumnya, di sana sering terjadi tebang pilih dan lobi-lobi agar proses peme­riksaan tidak lancar,” kata I Wayan.

Dengan kondisi seperti itu, sambung I Wayan, makanya nggak salah, kalau ada angga­pan, banyak pelaku korupsi yang ber­cokol di daerah. Bahkan mereka (koruptor) lebih beringas ketimbang di pusat.

Untuk itu I Wayan berharap KPK meningkatkan upayanya dalam membongkar praktik korupsi di daerah. Apalagi saat ini, lanjut I Wayan, triliunan ru­piah duit APBN digelon­torkan ke daerah.

“Di sisi lain seharusnya Kemendagri juga ikut berperan aktif dalam mencegah terjadi korupsi di daerah. Jika itu berhasil, Mendagri bisa menjadi penolong Presiden dalam meredam kekecewaan rakyat di daerah,” tegas I Wayan.

Anggota Komisi II, Arif Wibowo juga mengakui praktek otonomi daerah selama ini telah menjadi pemicu maraknya praktik korupsi di daerah.

Arif memaparkan setidaknya ada tiga faktor yang menjadi penyebab maraknya kasus korupsi di daerah. Pertama, sistem Pilkada yang dinilai mahal. Kedua, otonomi daerah yang kebablasan. Ketiga, kontrol yang lemah dari pemerintah pusat.

“Kalau pemerintah tidak segera mengatasi ketiga penyebab utama itu, korupsi di daerah pasti makin menjamur,” ucapnya.

Untuk itu dalam waktu dekat ini, diungkapkan Arif, Komisi II sedang menunggu draft revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Peme­rintah Daerah dan Undang-Un­dang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Ke­uangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah.

Sedianya Oktober nanti Komisi II akan bertemu dengan Mendagri Gamawan Fauzi. “Kita akan bertanya, apakah pemerintah bisa secepatnya mengajukan revisi undang-undang tersebut atau tidak? Kalau tidak, saya akan merekomendasikan supaya Komisi II mengambil alih revisi undang-undang tersebut,” ucapnya.

“Korupsi Marak, Karena Untuk Jadi Pejabat Perlu Biaya Tinggi”

Johan Budi SP, Jubir KPK

Bekas wartawan ini mem­be­berkan, kasus korupsi daerah yang diungkap KPK, 60-70 per­sennya adalah terkait penya­lah­gunaan dana APBD.

Kenapa kasus penyalahgunaan APBD banyak terjadi? Menurut Johan, hal itu karena dipicu oleh buruknya sistem birokrasi dan politik.

“Sudah menjadi rahasia umum kalau untuk menjadi Kepala daerah, atau anggota DPRD mem­butuhkan biaya yang besar untuk kampanye. Jadi saat me­reka berhasil menjabat, mereka mencoba mencari celah dan mengutak-atik APBD supaya bisa balik modal”, imbuh Johan.

Johan memaparkan, setidaknya ada tiga faktor yang memicu maraknya kasus korupsi di daerah. Pertama, sistem birokrasi yang terlalu berbelit-belit, sehingga untuk menjadi pejabat di daerah memerlukan biaya besar.

Kedua, sistem hukum yang kerap membuat para koruptor mendapat keringanan hukuman.

Ketiga, lemahnya pengawasan dari pemerintah pusat, sehingga membuka celah untuk menya­lahgunakan dana.

Johan menyarankan, agar pemerintah pusat, daerah, DPR serta DPRD berkerja sama memperbaiki sistem politik untuk mempersempit ruang gerak para koruptor, sekaligus menurunkan peluang korupsi.

“Kita semuajuga harus ber­sama-sama menjaga semangat pem­berantasan korupsi, agar korupsi tandas,” tutupnya berse­mangat. [RM]

http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=4878
Share this article :

0 komentar: