Din Syamsuddin:
SETIDAKNYA ada tiga sikap, perilaku, dan budaya yang ditampilkan sebagian besar umat Islam selama bulan suci Ramadan yang bertentangan secara diametris dengan nilai dan pesan Ramadan itu sendiri. Sikap, perilaku, dan budaya tersebut telah berlangsung bertahun-tahun dan sampai sekarang belum berubah, bahkan semakin bertambah. Itu bisa disebut sebagai paradoks Ramadan.
Pertama, sikap, perilaku, dan budaya yang ignoring terhadap nilai penting Ramadan sebagai kawah candradimuka pengembangan kepribadian. Ini mengejawantah dalam kecenderungan sedih menyambut Ramadan dan gembira saat melepasnya. Sebagian umat menampilkan sikap sedih, bahkan ada yang rejectif terhadap kehadiran bulan suci Ramadan, karena membayangkan lapar dan dahaga dalam ibadah puasa serta beban-beban ibadah lain selama Ramadan.
Sikap dan perilaku itu berbeda dengan yang ditampilkan Rasulullah SAW dan para sahabat. Mereka gembira menyambut Ramadan dan bersedih saat melepasnya. Gembira karena menemui kembali sang tamu agung yang ditunggu-tunggu. Dan, bersedih saat melepasnya karena belum tentu dapat menemuinya kembali tahun depan.
Kedua, Ramadan menekankan esensi pengendalian diri (imsak). Bahkan, para fuqaha mendefinisikan puasa sebagai ''imsak dari makan minum dan hubungan suami istri pada siang hari Ramadan''. Sebagai esensi Ramadan, budaya imsak akan membawa konsekuensi logis pada penghematan dan kebersahajaan. Termasuk dalam mengonsumsi makanan, minuman, dan pakaian.
Namun, budaya imsak itu nyaris tidak hadir selama Ramadan. Umat Islam justru lebih banyak menampilkan dan terjebak pada budaya konsumtif. Dengan demikian, istilah konsumtivisme Ramadan bukanlah mengada-ada karena telah menjadi fakta.
Selama Ramadan, umat terjebak ke dalam konsumtivisme yang ekstrem. Berpuasa, rupanya, hanyalah mengubah jadwal makan dari tiga kali sehari di luar Ramadan menjadi dua kali, yakni sahur dan buka. Tetapi, dengan makanan yang banyak dan volume makan yang besar. Begitu pula menu Ramadan -baik kuantitatif maupun kualitatif- melebihi menu sehari-hari di luar Ramadan.
Tak pelak lagi, biaya konsumsi masyarakat Indonesia -tentu dengan mayoritas pemeluk Islam- meningkat hampir dua kali lipat pada bulan Ramadan. Apalagi, harga-harga barang pokok meningkat selama Ramadan. Dengan demikian, biaya yang harus dikeluarkan meningkat pula.
Konsumtivisme Ramadan tersebut masih bertambah pada barang-barang lain di luar makan minum, seperti pakaian dan keperluan rumah tangga lain. Karena itu, konsumtivisme Ramadan pun tampak melimpah ruah di pasar-pasar, supermarket, dan mal, khususnya pada sepuluh hari terakhir Ramadan.
Di sini terjadi paradoks antara esensi Ramadan atau imsak yang seharusnya mendorong sikap serta perilaku berhemat dan bersahaja dengan fakta praktik yang sangat konsumtif. Konsumtivisme Ramadan itu menunjukkan bahwa umat Islam terjebak ke dalam pemborosan besar-besaran. Padahal, Alquran menegaskan dengan jelas bahwa kaum pemboros (mubazir) adalah kroni setan.
Ketiga, paradoks dalam hal etos kerja dan produktivitas. Yang ditampilkan umat Islam selama Ramadan berbeda dengan yang ditunjukkan Rasulullah SAW dan para sahabat yang terjun ke medan perang (Perang Badar) dalam bulan Ramadan. Berpuasa ternyata tidak harus menjadi kendala untuk melakukan aktivitas fisik. Ramadan tidak harus mengurangi produktivitas. Bahkan, sebaliknya, harus mendorong etos kerja dan peningkatan produktivitas.
Itu berbeda dengan yang ditampilkan umat Islam saat ini. Selama Ramadan -mungkin karena lapar dan dahaga berpuasa atau karena harus mengisi malam Ramadan dengan tarawih, tadarus, dan iktikaf- banyak umat pada siang hari terlena dalam tidur pulas. Itu terjadi di rumah-rumah maupun di masjid dan musala.
Produktivitas umat nyaris macet total. Seperti macetnya jalan-jalan raya banyak kota besar di Indonesia selama bulan suci Ramadan. Sebab, mereka memilih cepat meninggalkan kantor atau tempat bekerja untuk pulang ke rumah.
Itulah paradoks Ramadan. Dan, inilah kendala peningkatan kualitas hidup umat. Untuk mengikisnya, tiada lain kecuali kesediaan melakukan reformasi diri; mengubah sikap, perilaku, dan budaya tersebut sesuai dengan apa yang telah dicontohkan Rasulullah SAW dan para sahabat, serta sesuai dengan pesan Ramadan itu sendiri.
Reformasi diri tersebut menuntut adanya komitmen kuat untuk berubah dan berorientasi kepada kualitas diri dan pengembangan kepribadian. Inilah yang seharusnya dilakukan umat sekarang, baik secara individual maupun kolektif. Selamat menunaikan ibadah puasa. (*)
Prof Dr Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah
http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=151333
Paradoks Ramadan
Written By gusdurian on Kamis, 19 Agustus 2010 | 09.20
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar