BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Merdeka (untuk) Korupsi

Merdeka (untuk) Korupsi

Written By gusdurian on Minggu, 22 Agustus 2010 | 10.17

Oleh Umbu TW Pariangu Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang

Kalau skandal-skandal di atas tadi berhasil digelapkan para `politisi hitam' yang bersekongkol dengan makelar hukum, berarti negara ini kian mendekatkan dirinya pada stasiun akhir yang bernama colapse state (negara gagal)."
APA yang bisa diendapkan dari reminisensi peringatan 17 Agustus RI? Sudah 65 tahun merdeka, dan satu dekade reformasi terlampaui, tetapi jiwa rakyat Indonesia masih tersekap dahsyatnya kemiskinan dan keterbelakangan. Cita-cita kemerdekaan yang membebaskan direduksi kegagalan kolektif elite mereakumulasi spirit kejujuran, pengorbanan, dan kerja cerdas sehingga hasilnya: kekuasaan yang hanya memberi makan para koruptor.
Bukan rakyat kecil! Memperingati dirgahayu RI, momentum sakral yang juga dirayakan semarak para koruptor di Indonesia.
Jalan tol korupsi Ibarat jalan tol, negeri ini sudah `dibayar' para koruptor guna meluapkan syahwat `predator'-nya menjarah harta negara tanpa hambatan. Kalau tahun 2007 ada kasus anggota DPR yang mendapat karcis bebas bayar tol, kini kejaksaan, pengadilan, kepolisian, bahkan partai (penguasa) pun ramairamai merebut `karcis tol' korupsi guna melipatgandakan kekuasaan dan kekayaannya. Mirip seruan Bung Karno, for a fighting nation, there is no journey's end, bagi bangsa pejuang (korupsi) tidak ada stasiun terakhir. Melalui pemberitaan media massa dan TV kita melihat koruptor menancapkan kaki nya dari pusat sampai daerah.

Wabah korupsi di Indonesia kian mengafirmasi teori kejahatan negaranya Green dan Ward (2004) bahwa di dalam negara ada potensi kejahatan. Ini tecermin dalam ketidakmampuan negara menyejahterakan rakyat di mana rakyat menjadi korban substratsi korupsi terutama white-collar-crime (Mustofa, 2010). Padahal Pasal 1 ayat 6 UU No 39/1999 tentang HAM menegaskan kegagalan mewujudkan kesejahteraan sosial merupakan pelanggaran/kejahatan HAM yang kian memuskilkan terwujudnya salus populi suprema lex.

Cairnya peluru perlawanan korupsi pada aksi fakultatif zero corruption membuktikan impotensi pemerintah menunaikan hak-hak dasar rakyat. Meski tiga tahun silam Presiden SBY mencanangkan reformasi birokrasi dimulai dari Depkeu, BPK, dan MA, lalu di Hari Antikorupsi Internasional (8/12/2009) berjanji me mimpin langsung jihad pemberantasan korupsi, ini pun tak meredupkan predikat kita sebagai bangsa terulung yang membidani lahirnya-­modus--koruptor baru.

Kita mestinya minder dengan pemimpin di China yang berani menghukum mati koruptornya. Pada Maret 2000 misalnya, Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi China menghukum mati Hu Chang-ging karena terbukti menerima suap Rp5,1 miliar. Dua tahun kemudian, Li Yushu, Deputi Wali Kota Leshan, satu dari 4.300 warga China yang dieksekusi mati karena suap dan tindakan memperkaya diri.

Sebaliknya, Indonesia sibuk mengumbar citra di dalam dan di luar sebagai negara bersih dan demokratis. Kita lebih bangga dianugerahi komunitas internasional sebagai `juara demokrasi' dalam forum komunitas demokrasi di Krakow, Polandia, belum lama ini `mengalahkan' China yang oleh Hillary Clinton disejajarkan dengan negara yang memiliki pemerintahan tidak toleran (a-demokratis).

Apa artinya citra yang dibumbui proforma, tetapi selalu kehilangan respons berhadapan dengan tentakel korupsi yang menyelinap di institusi hukum, birokrasi dari pusat sampai daerah. Politik kebijakan nirkorupsi pemerintah hanya menjadi dirty bussiness, menanak citra dalam tungku kebohongan sistematis kekuasaan.

Mestinya Presiden SBY meniru Presiden Nigeria Goodluck Jonathan memecat dua pejabat tinggi perusahaan minyak Nigeria milik negara (NNPC) yang dilanda utang Rp45 triliun akibat korupsi. Karena warga mengeluhkan maraknya praktik memperkaya diri pejabat partai dan pemerintahan, sejak 11 Juli lalu pemerintah China mewajibkan para pejabat dan petinggi badan usaha milik negara melaporkan kekayaannya. Sayang di sini, tenggorokan pers, aktivis antikorupsi malah `ditikam' ketika meneriakkan rekening gendut oknum Polri.

Tak kalah ironisnya, ketika para bupati berkeluh soal aparat yang asal main tangkap dalam penanganan dugaan korupsi, di pertemuan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) di Madiun, Presiden langsung meresponsinya `jangan main tahan, kalau tidak perlu kenapa dilakukan'. `Pembelaan vulgar' ini bisa dipahami dalam intensi menjaga kontinuitas pemerintahan daerah. Tapi problemnya, penguasa dari level pusatdaerah agaknya telanjur menerjemahkan kekuasaan sebagai momentum memelihara egoisme dan tribalitas politik (Felson & Calrke,1998) sehingga proteksi Presiden SBY ini berpeluang dijadikan tameng para bupati/wali kota berkompromi dengan aparat penegak hukum. Maka hari-hari ini kita `menikmati' musim megalomania kejayaan para terduga korupsi di daerah memenangi pilkada seperti di Rembang, Kepulauan Aru, Lampung, dan Bengkulu.

Hobbes (Leviathan: 376) pernah berpremis, secara kodrati manusia (politisi) punya hasrat atau nafsu (appetie) dan keengganan (aversions) yang menuntun perilaku mereka. Appetites berbicara tentang nafsu kekuasaan, kekayaan, kehormatan, sedangkan aversions soal keengganan manusia untuk hidup sengsara dan mati. Dua karakter ini yang memudahkan kita memahami matinya konsolidasi demokrasi pasca-1998. Secara institusional kita mampu mengonsolidasi elemen-elemen progresif, tetapi tidak demikian dengan perilaku. Bahkan Cecep Hidayat, pengamat politik dari Universitas Indonesia mengatakan bangsa Indonesia memerlukan tiga generasi untuk membangun aksentuasi perilaku berdemokrasi yang jujur.
Kenapa harus ada demokrasi?
Saat Herbert Feith mengkritik perkembangan demokrasi liberal di Indonesia tahun 1955: kenapa demokrasi Indonesia gagal? HJ Benda justru membalik pertanyaan, `kenapa harus ada demokrasi di Indonesia?' (Jurdi, 2008).
Persisnya, kenapa harus demokrasi jika rakyat masih menyaksikan politisi kasus berkelit ria dari standar moral dan jeratan hukum di atas cerobong oligarki kekuasaan. Intelektual, kaum agamawan/moralis, kriminolog, pendekar hukum, para aktivis reformasi di negeri ini justru teremajakan dalam aliansi najis yang mentransformasi patologik Orde Baru dari pemilu ke pemilu pasca-1998 lewat perilaku predatorik mereka.

Mestikah niat luhur mereduksi korupsi harus digadaikan di tangan mereka? Kadang-kadang skeptisisme amat kita butuhkan untuk menyediakan sekaligus menjustifi kasi legitimasi sebagai basis upaya perbaikan dari kekurangan yang ada (Akard, 1995).

Persoalannya, bagaimana skeptisisme ini mampu dikonstruksi dalam iktikad yang konstruktif. Di batas ini kita sering kehabisan energi meski lokomotif redemokratisasi harus terus bergerak.

Skandal korupsi yang dimurkakan rakyat tak bisa selesai tanpa disertai tindakan nyata (the secreet of getting things done is to act) pemimpinnya, bahkan sekadar menyalakinya dalam ritusritus politik-kenegaraan. Spirit kemerdekaan hendaknya menyemangati negeri ini untuk bangkit dari romantisme kejayaan semu selama 32 tahun yang nyaris menimbun rakyat Indonesia dalam reruntuhan keterpurukan.

Cukup sudah vandalisme korupsi menguasai kerajaan tontonan (kingdom of spectacle) negara yang memerdekakan para bandit-bandit korup ini.

Presiden sebagai empu (craftmen) pemberantasan korupsi harus berani menciptakan pemerintahan yang bersih. Misalnya, segera membersihkan institusi penegakan hukum terutama kepolisian, kejaksaan, pengadilan maupun parpol dari tabiat korupsi (politik) sebab pada terobosan progresif inilah tersimpan asa 234 juta rakyat akan terwujudnya negara demokratis, adil dan sejahtera. Responsibilitas politik sebagai kepala negara yang berdiri di atas semua kepentingan sejatinya dituntut untuk memperjelas sejauh mana kasus-kasus hukum besar (kriminali sasi pimpinan KPK, Centurygate, kasus Anggodo) ini diproses sehingga kepastian hukum yang didengung-dengungkan dari bilik pencitraan pemerintah bukan prokreasi politik belaka.

Kalau skandal-skandal di atas tadi berhasil digelapkan para ‘politisi hitam’ yang bersekongkol dengan makelar hukum, berarti negara ini kian men dekat kan dirinya pada stasiun akhir yang bernama colapse state (negara gagal). Hawa kemerdekaan pun sirna meninggalkan rakyatnya yang menggigil dalam selimut kemiskinan. It is a nightmare!

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/08/18/ArticleHtmls/18_08_2010_026_015.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: