BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Biarkan Anak Memilih Sekolah

Biarkan Anak Memilih Sekolah

Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 08.48

Biarkan Anak Memilih Sekolah
Oleh: Agus Wibowo

Musim penerimaan siswa baru (PSB) tahun ajaran 2009/2010 segera dibuka.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, anak-anak dan orang tua dipusingkan oleh
urusan perburuan sekolah. Penyebabnya, biaya pendidikan yang semakin
mahal. Isu pendidikan gratis yang biasa dikampanyekan oleh para calon
legislatif (caleg) dan calon presiden (capres) menjelang pemilu ternyata
sekadar /lips service/ atau janji palsu belaka.

Sebagai gambaran, pada tahun ajaran 2008/2009, untuk mendaftarkan anak
ke SD negeri saja, orang tua harus menyediakan uang ratusan ribu rupiah.
Uang tersebut dipergunakan untuk keperluan dana sumbangan pendidikan
(DSP), uang pakaian seragam, tas, sepatu, dan buku-buku.

Untuk keluarga mampu, besarnya biaya pendidikan tentu tak jadi soal.
Untuk keluarga miskin, apalagi yang memiliki lebih dari satu calon siswa
baru, tentu dana yang harus disiapkan pun menjadi berlipat ganda. Itu
belum sekolah swasta atau sekolah favorit, yang biaya pendidikannya bisa
mencapai puluhan juta rupiah.

Tak mengherankan kalau setiap memasuki bulan Juni-Juli seperti sekarang
ini, omzet Perum Pegadaian selalu naik, bahkan sampai 30-40 persen.
Rupanya, banyak orang tua yang menggadaikan barang untuk menyekolahkan
anak. Toko emas juga kebanjiran orang jual perhiasan.

*Siksaan Psikologis*

Problem yang dihadapi anak lebih rumit lagi. Tidak jarang keinginan anak
berbenturan dengan ego dan cita-cita orang tuanya. Sebab, sebagian orang
tua telah memiliki rencana-rencana ideal yang harus dipatuhi anak.
Akibatnya, anak tidak memiliki kebebasan untuk memilih sekolah dan
menentukan masa depannya sendiri.

Dalam memilih sekolah, misalnya, ada anak yang sebenarnya berbakat di
bidang IPS. Namun, lantaran orang tuanya berkeinginan anaknya menjadi
dokter, sang anak dipaksa masuk jurusan IPA dan sebaliknya.

Para orang tua selalu berharap agar anak mereka menjadi "be special"
ketimbang orang kebanyakan (/be average/)./ /Harapan ini sejatinya tidak
salah. Hanya, orang tua harus menyadari bahwa buah hati mereka
dilahirkan dengan sifat dan ciri khas tersendiri. Pendek kata, setiap
anak terlahir dengan keunikan, kelemahan, dan kelebihan yang membedakan
satu dengan yang lain.

Sayang, sedikit orang tua yang memahami kejiwaan dan potensi anaknya.
Orang tua lebih sering menjadi penindas atau monster mengerikan. Mereka
merebut dan mencabik-cabik imajinasi, ruang batin, dan cita-cita anak.
Akibatnya, anak akan merasakan trauma psikologis yang akan terus
membayangi hingga mereka dewasa kelak.

Siksaan psikologis itu belum berakhir. Pasalnya, begitu masuk bangku
sekolah, anak masih harus mengalami berbagai tindakan kekerasan, baik
dari rekan maupun gurunya. Misalnya, kekerasan fisik berupa pemukulan,
kekerasan emosi berupa pengabaian, kekerasan verbal berupa kata-kata
yang menyakitkan, kekerasan seksual, dan sebagainya.

Karena dipaksa menuruti ego orang tua dan masih mengalami berbagai
bentuk kekerasan setelah masuk sekolah, anak akan menderita trauma
psikologis yang disebut Didik Darsono (2007) sebagai "fobia sekolah".
Kata "fobia" menurut /Baker Encyclopedia of Psychology and Counseling/
adalah gangguan ketakutan yang tidak rasional atau /irrational fear/
dari objek-objek atau situasi-situasi yang tidak berbahaya. Secara
singkat, Ivan Ward (1989) mendefinisikan fobia sebagai ketakutan yang
tidak masuk akal, tanggapan terkondisi terhadap pengalaman yang sifatnya
traumatis.

Fobia sekolah adalah bentuk ketakutan yang tidak masuk akal terhadap
sekolah. Gejala fobia sekolah biasanya muncul ketika anak akan berangkat
sekolah. Fobia itu segera hilang setelah pulang dari sekolah atau hari
libur. Selain itu, fobia sekolah ditandai dengan perilaku menolak masuk
sekolah, sakit perut, sakit kepala, dan berbagai gangguan fisik lainnya.

Umumnya, para ahli membagi fobia sekolah dalam skala ringan sampai
dengan berat. Pertama, fobia sekolah tahap awal atau disebut /initial
school refusal behavior/. Fobia ini ditandai dengan perilaku anak yang
menolak masuk sekolah secara tiba-tiba dan berlangsung kurang dari satu
minggu.

Kedua, fobia /substantial school refusal behavior/ atau perilaku menolak
sekolah yang telah berlangsung lebih dari satu minggu. Fobia ini
memerlukan penanganan yang serius dari orang tua dan harus melibatkan
guru kelas, konselor anak, atau guru BP di sekolah.

*Orang Tua Bijak *

Sudah saatnya orang tua tidak memaksakan egonya dan mulai memahami
psikologi anak. Orang tua harus memperlakukan anak dengan hati-hati,
menempatkannya sesuai dengan potensi dan kelemahannya. Orang tua harus
menjadi tipe orang tua ideal atau dalam bahasa Elkind disebut /milk and
cookies parents. /Yaitu, orang tua yang mengiringi tumbuh kembang
anak-anak dengan penuh dukungan dan menyayanginya secara tulus.

Orang tua model itu sangat cocok dengan karakteristik dan sifat khas
anak. Sebab, mereka beranggapan bahwa setiap anak hebat dengan kekhasan
dan kekuatan potensi yang juga berbeda. Pada akhirnya, anak memang milik
orang tua. Tetapi, untuk persoalan masa depan, biarlah mereka memilih
sendiri sesuai dengan bakat, potensi, dan keinginan. Kewajiban orang tua
adalah membimbing tumbuh kembang segenap potensi itu agar tidak
melenceng dan tepat sasaran. Semoga.

**)/ Agus Wibowo/*,*/ /*/mahasiswa pascasarjana UNY Jogjakarta

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=75768
Share this article :

0 komentar: