Banalitas Politik
*Ferdinandus Hasiman*
ALUMNUS STF DRIYARKARA, JAKARTA
Bangsa kita dikenal sebagai bangsa pelupa. Lupa akan masa silam dan
menganggap sepele hal-hal penting dalam sejarah. Masa lalu akhirnya
menjadi kepingan-kepingan sejarah yang tidak bermanfaat untuk membangun
masa depan. Padahal masa depan bangsa menjadi lebih baik jika kita
disembuhkan dari luka-luka sejarah. Luka-luka itu membuat kita tidak
otonom dan tidak pernah beranjak maju alias stagnan. Bangsa yang menolak
ingatan atau menolak menghadirkan kenangan-kenangan buruk masa lampau
adalah bangsa yang belum berhasil mengelola masa lalu.
Sebaliknya, bangsa yang berani mengingat masa lalu akan menjadi bangsa
yang bebas, otonom, dan mampu bertanggung jawab. Namun, realitas
hari-hari ini, rakyat ikut arus dalam diskursus politik yang berkembang
saat ini. Lihat saja kondisi kita menjelang pemilihan presiden. Berbagai
opini yang beredar di berbagai media lebih berpusat pada utak-atik
pasangan calon presiden. Rakyat akhirnya tenggelam dalam pusaran koalisi
pencari kekuasaan. Rakyat menjadi lupa menengok persoalan hak asasi
manusia yang pernah ditinggalkan para petinggi militer dalam sejarah.
Padahal B.J. Habibie telah membuka jalan seputar konspirasi para
petinggi militer setelah kejatuhan Soeharto. Banyak peristiwa
HAM--Trisakti, Atmajaya, Tanjung Priok--yang melibatkan petinggi militer
yang hilang dari ingatan publik. Kelupaan akan sejarah inilah yang
disebut Hannah Arendt sebagai banalitas politik. Banalitas terjadi
karena pembiaran dan keengganan rakyat menengok sejarah.
*Trauma sejarah*
Filsafat politik Arendt tentang banalitas harus dilihat dari perspektif
korban. Korban yang dimaksud Arendt adalah orang Yahudi yang dibantai
pada zaman Hitler. Arendt mengatakan, pembantaian terhadap orang Yahudi
tidak akan memakan korban jika rakyat tidak membiarkan Adolf Eichman
berkuasa. Pembiaran model inilah yang disebut banalitas politik. Lalu,
bagaimana kita mengaitkan dengan kondisi kita saat ini?
Sadar atau tidak, sejarah bangsa ini berubah haluan sejak militer
berkuasa pada 1965 (baca: G30S-PKI). Di sanalah militer mulai mengangkat
dirinya sebagai mesianik yang membebaskan bangsa dari penjajahan dan
komunisme. Nama Jenderal Soeharto pun disanjung bak nabi dan mahkota
atas sejarah. Penyebab paling penting intervensi militer dalam politik
di Indonesia bisa dilacak dalam sejarah. Pertama, ketidakmampuan dan
ketidakpedulian Soekarno dalam menata administrasi dan birokrasi negara,
sehingga kabinet presidensial jatuh sebelum 1945. Kedua, demokrasi
liberal tidak berhasil mengatasi persoalan karena salahnya keyakinan
pemerintah akan kemanjuran pencangkokan model demokrasi barat.
Sejarah itu terus berlanjut pascareformasi 1998. Naiknya pemimpin sipil
pascareformasi ke panggung politik tidak membawa perubahan bagi situasi
politik. Menjelang pemilu presiden 2009, nama-nama petinggi militer,
seperti Prabowo, Wiranto, dan SBY, perlahan-lahan makin lama makin
bergema dalam kosakata politik. Mereka menjadi tokoh penuh karisma dan
populer. Mereka semakin populer ketika diskursus dan komunikasi politik
terfokus pada permainan koalisi kekuasaan. Media sebagai medium
penyampaian informasi pun ikut arus dan tidak bisa mengambil jarak
terhadap koalisi kekuasaan.
Ketika komunikasi dan wacana kritis menjadi pudar, militer menggunakan
kesempatan ini untuk tampil dengan wajah lain pada panggung politik
Indonesia. Lantas, apa yang menyebabkan kembalinya militer dalam tatanan
reformasi saat ini? Jawabannya adalah adanya kecenderungan dan
kesempatan untuk membela dan memajukan kepentingan militer dan aspirasi
kelas menengah. Faktor lain adalah adanya kemahiran profesional dalam
hal kepemimpinan nasional yang dipercaya lebih daripada orang-orang
politik yang tidak becus dan korup.
Kealpaan media dalam mereproduksi sejarah kekuasaan mementahkan kekuatan
kritis yang sedang menemukan bentuknya dalam iklim demokrasi sebuah
bangsa. Gambaran konkretnya terletak pada ulasan-ulasan para penulis di
media yang berputar pada masalah koalisi antar partai, sehingga
mengabaikan sama sekali rekam jejak calon pemimpin kepada publik.
Jejalan informasi media seputar koalisi partai menenggelamkan memori
historis, sehingga menimbulkan kebingungan dalam masyarakat. Kebingungan
masyarakat adalah citra matinya komunikasi politik sebuah bangsa.
Informasi koalisi partai yang ditawarkan melalui /civil society/ (dalam
arti luas) pada akhirnya tidak memberi solusi ke arah konsolidasi
demokrasi. Memori historis menghadirkan kembali sejumlah informasi
kritis perlu dikedepankan, sehingga masyarakat mampu menilai secara
kritis siapa yang akan menjadi pemimpin sebuah bangsa. Itu berarti
memerlukan konsolidasi demokrasi.
Konsolidasi demokrasi tercapai apabila /civil society/ bermain peran
dalam mengendalikan kekuasaan. /Civil society/ harus terlibat aktif
dalam mengawasi penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang. Sebab,
kekuasaan politik selalu menyangkut nasib dan kepentingan banyak orang.
Kepentingan publik akan terealisasi jika ada komunikasi yang bisa
menjembatani antara elite dan kekuasaan. Dengan demikian, kekuasaan
mendapat kontrol dalam ruang publik.
Arendt mengatakan, kekuasaan dibutuhkan untuk menjaga ruang publik.
Ruang publik merupakan tempat bagi setiap individu untuk melakukan
tindakan politis, karena ruang publik merupakan ruang penampakan di mana
warga negara bertemu dan membahas berbagai masalah kenegaraan. Politik
dengan demikian tidak diinstrumentalisasi untuk kepentingan lain,
seperti pengejaran nafsu dan dominasi. Instrumentalisasi seperti itu
hanya akan melahirkan banalitas politik. Politik seharusnya datang untuk
melindungi proses komunikasi.
Meskipun terkesan mengawang-awang, saya kira filsafat politik Arendt
menjadi pelajaran penting bagi /civil society/. Filsafat politik Arendt
dibangun dari tiga kerangka besar, kerja, karya dan tindakan. Tindakan
(/action/) bukan sesuatu yang apolitis, seperti kerja (/labour/) dan
karya. Kerja dan karya sifatnya instrumental, dominasi, dan survival.
Kerja dan karya mendesak untuk dipenuhi, seperti rasa lapar dan haus.
Dalam kondisi ini tidak ada komunikasi politik, yang ada hanya hasrat
mencari kekuasaan. Lain halnya dengan tindakan (/action/). Dalam
tindakan, asumsinya manusia sebagai /zoon politicon/, manusia yang ada
bersama orang lain. Tindakan politis tidak dapat dibayangkan tanpa ada
orang lain, sehingga selalu ada ruang untuk komunikasi.
Dalam konteks tindakan ini, /civil society/ harus bisa menempatkan
tindakan politis dalam kerangka komunikasi. Itu berarti, /civil society/
harus gelisah dengan adanya gejala sosial-politik dan mengadvokasi
kepentingan rakyat. Dia harus memperjelas kawan yang harus dibela dan
musuh yang perlu disingkirkan. Dalam arti ini, /civil society/ tidak
boleh netral, karena posisi netral memberi ruang bagi yang berkuasa
untuk menindih yang lemah, dan banalitas politik menjadi semakin
terbuka. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana banalitas politik perlu
kita sadari agar konsolidasi demokrasi bisa berjalan.
Konsolidasi demokrasi di Indonesia membutuhkan keadaan luar biasa yang
memungkinkan rakyat berani menentang kekuasaan yang tidak becus. Selain
itu, pemimpin-pemimpin sipil harus memiliki tanggung jawab atas campur
tangan militer di Indonesia. Pemimpin sipil harus membangun struktur
otoritas yang sehat, membangun prestasi yang memuaskan dan harus dapat
mengintegrasikan kekuatan yang memiliki potensi untuk berbeda pendapat.
Pluralitas ini mendesak untuk adanya konsensus politik. Konsensus
politik mengandaikan adanya peluang yang sama untuk mencapai konsensus,
sehingga ruang partisipasi warga negara terbuka lebar. Partisipasi warga
negara inilah tempat di mana rakyat berdaulat. Kedaulatan rakyat akan
tercapai jika adanya subyek sadar. Pengandaian ini menjadi sulit dalam
masyarakat yang tingkat otonom pendidikan didominasi oleh dunia politis.
Pendidikan sangat penting agar rakyat tidak menjadi banal. Untuk itu,
pendidikan politis merupakan skala prioritas bagi kita dalam menata
kehidupan berbangsa ke depan. Artinya, konsolidasi demokrasi memerlukan
pendidikan politik terus-menerus. Pendidikan /on-going formation/
penting dalam kerangka membangkitkan kesadaran masyarakat berdemokrasi.
Sehingga rakyat bukan asal datang ke kotak suara dalam rangka memenuhi
kewajiban sebagai warga negara. Dengan itu, pemilu “luber” benar-benar
menjadi momen pemilihan yang bebas berdasarkan suara hati.
Kebebasan menentukan pilihan tentu membutuhkan sosialisasi melalui
pendidikan. Rakyat dengan suara hati nuraninya bebas memilih pemimpin
yang dipilih. Henry Newman mengatakan, suara hati bisa saja keliru. Agar
suara hati tidak keliru, perlu proses belajar dan mengenal bagaimana
latar belakang sang pemimpin itu dan apa dampak visi pembangunan bagi
masa depan bangsa ini.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/15/Opini/krn.20090515.165318.id.html
Banalitas Politik
Written By gusdurian on Senin, 29 Juni 2009 | 13.15
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar