Sosok Mahal di Balik Survei Politik
Tak sampai sehari Pemilu 2009 dihelat, partai mana yang unggul sudah bisa diketahui melalui hasil quick count. Mereka adalah orang-orang yang berperan di balik penghitungan cepat itu.
---
Salah satunya Denny Januar Aly atau yang populer dengan Denny J.A. Dia adalah salah satu figur penting di bidang survei politik di Indonesia, termasuk yang ikut memelopori tradisi quick count di setiap perhelatan pesta demokrasi.
Bersama Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dia dirikan sejak 2004, ratusan kepala daerah hingga presiden telah berhasil diantarkannya duduk di kursi empuk. Tarifnya mulai ratusan juta hingga miliaran rupiah.
Mengapa mahal? Kata Denny, biaya politik itu memang mahal. Ketika didesak untuk menyebut tarif persisnya jika menggunakan jasanya, pria kelahiran Palembang, 4 Januari 1963 itu enggan menyebut angka pasti.
"Kami profesional sajalah, layaknya konsultan," kelitnya lantas tertawa. Denny ditemui Jawa Pos di kompleks Apartemen Pasadena, Pulomas, Jakarta Utara, Sabtu (11/4) lalu. Dia saat itu menemani keduanya putranya, Raffi Denny dan Ramy Denny, berenang.
Selain memiliki tempat tinggal di salah satu kawasan elite di Kelapa Gading, Denny menjadi salah satu penghuni di apartemen tersebut. "Setelah cukup padat beberapa hari lalu (pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009), sekarang mulai longgar. Jadi, sudah bisa santai lagi dengan anak-anak," kata direktur eksekutif Lingkaran Survei Indonesia tersebut.
Pada pemilu legislatif kali ini, lembaga yang dia pimpin dipercaya menjadi konsultan politik PDI Perjuangan. Klien di tingkat nasional yang sempat ditangani Denny adalah SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) pada pemilihan presiden 2004. Dia termasuk yang turut mengantarkan pendiri Partai Demokrat itu menduduki kursi RI 1.
"Yang jelas, semua ada kontraknya. Sebab, ini memang benar-benar kerja profesional," katanya tetap tidak bersedia mengungkap angka pasti nilai kontraknya.
Denny hanya mengungkapkan, biaya menjadi konsultan politik kepala daerah di luar Jawa biasanya lebih mahal dibanding di Jawa. Selain itu, makin tidak populer seorang calon, makin besar pula dana yang harus disiapkan. "Sebab, makin banyak paket yang harus diambil," tambah Denny.
Setidaknya, jelas dia, ada lima jenis paket yang bisa dipilih sekaligus atau satu per satu oleh klien. Yaitu, riset politik untuk membaca peta awal kekuatan. Biasanya, dikerjakan enam bulan sebelum hari pemilihan. Paket selanjutnya adalah peta pemenangan. Paket ini berisi langkah praktis yang bisa dilakukan terkait hasil survei politik yang sudah dilakukan.
Jika masih ingin diteruskan, pelatihan juru kampanye yang akan turun ke lapangan juga siap ditangani. Paket selanjutnya yang ditawarkan adalah pendampingan saat kampanye, semisal membentuk media center dan sebagainya. Terakhir, pendampingan kandidat setelah terpilih.
Sebagai gambaran saja terkait biaya yang harus disiapkan seorang kandidat, untuk memasang iklan di TV secara besar-besaran, rata-rata butuh Rp 500 juta per hari. Nilai tersebut tentu saja hanya untuk satu stasiun televisi.
"Awalnya, menawarkan jasa konsultan politik seperti ini juga tidak mudah sebenarnya," kata Denny mengenang saat dirinya mengawali kiprah sebagai konsultan politik. Menurut dia, sebagai sebuah tradisi politik baru di Indonesia, memang butuh kesabaran dan upaya keras untuk bisa diterima oleh publik.
"Dulu, saya banyak dicela. Dituduh menjual keilmuanlah, mengomersialkan penelitianlah," ujarnya. Tapi, Denny bertekad tetap maju. "Dan, kini bisa saya buktikan, kalau sains yang dulu dianggap 'kering' bisa menjadi bidang yang 'basah'. Yang lain pun akhirnya mengikuti jejak saya," paparnya.
Karir Denny sebagai konsultan politik dimulai pada 2003. Sepulang dari menyelesaikan pendidikan PhD di Ohio State University, di USA, bidang comparative politics and business history, bersama beberapa orang dia mendirikan lembaga survei di bidang politik pertama, Lembaga Survei Indonesia (LSI). Namun, beberapa tahun aktif di sana sebagai direktur utama dan dewan pembina, Denny merasa lembaga tersebut tidak cukup lengkap ruang geraknya.
Menurut dia, LSI hanya mampu menggarap separo dari kerja politik. "Di sana hanya membaca peta politik, padahal ada separo lagi, yaitu bagaimana mengubah peta politik tersebut," jelasnya mengungkapkan alasannya memutuskan keluar.
Pada akhir 2004, Denny lantas mendirikan lembaga baru Lingkaran Survei Indonesia yang dipimpinnya hingga sekarang. Kontrak mereka yang pertama adalah bersama Partai Golkar pada Februari 2005. Yaitu, menangani pilkada di 9 provinsi dan 100 kabupaten seluruh Indonesia dalam satu musim 2005-2008. Selain itu, masih di musim yang sama, Denny menangani sejumlah calon pilkada lain di tempat berbeda.
Khusus pemilihan gubernur, dia berhasil memenangkan calonnya di 15 dari 33 provinsi yang ada. Karena capaian itulah, Denny meraih penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (Muri) pada 2008. "Mungkin, sepanjang yang saya tahu, rekor ini juga di seluruh dunia. Saya yakin, hingga lima tahun ke depan rekor memenangkan 45 persen gubernur dalam satu musim ini akan sulit pecah," katanya bangga.
Sejumlah capaian dalam hidupnya tersebut membuat dirinya berhenti. Dia mulai berpikir untuk merambah dunia lain. Akhir 2009 nanti, dirinya berencana pensiun dari aktivitas di lembaga survei dan konsultan politik. "Mungkin banyak orang mengatakan aneh. Di saat orang lain mulai berlomba-lomba bikin lembaga konsultan (politik), saya malah pensiun," ujarnya.
Lantas ke mana akan berkiprah selanjutnya? Selain mempertimbangkan menjadi aktivis yang mempromosikan nilai-nilai keindonesiaan, Denny mulai berpikir untuk masuk ke partai politik. (dyn/kum)
---
Tentang Denny J.A. dan LSI
- Pemilu 2004 mengantarkan SBY menjadi presiden
- Lulusan PhD dari Ohio State University, USA
- Dikontrak Partai Golkar pada Februari 2005 untuk menangani pilkada di 9 provinsi dan 100 kabupaten.kota se Indonesia
- Memenangkan 15 pilgub dari 33 provinsi yang ada. Dapat penghargaan dari Muri pada 2008
http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=63368
Saiful Mujani, Bos Lembaga Survei Indonesia
Warga Tenang, Politisi Pusing
Ketika hari H pemilu 9 April lalu, wajah Saiful Mujani terus muncul di salah satu televisi swasta. Bersama Lembaga Survei Indonesia yang dia pimpin, Saiful mengulas hasil pesta demokrasi itu, termasuk me-launching hasil quick count. Bagaimana dia bekerja?
---
Sabtu lalu (11/04) benar-benar dimanfaatkan Saiful untuk keluarga. Maklum, sejak beberapa bulan sebelum pemilu, pimpinan Lembaga Survei Indonesia (LSI) itu sibuk bukan kepalang. Apalagi pada hari H contrengan dan sehari setelahnya. ''Saya stand by 48 jam,'' ujarnya. LSI memang dikontrak secara eksklusif oleh sebuah televisi berita untuk secara real time melaporkan hasil contrengan kepada masyarakat.
''Alhamdulillah, semua lancar. Masyarakat menjadi tenang karena hasilnya -meskipun berbasis survei- sudah kelihatan. Yang pusing hanya politisi dan caleg-caleg,'' tuturnya. Untuk menyiapkan survei itu, LSI tak main-main. Mereka merekrut 2.500 surveyor untuk memantau 2.100 TPS di seluruh Indonesia.
''Ada pengawasan berjenjang antara surveyor dan koordinator. Juga harus dilengkapi dokumen yang ditandatangani ketua KPPS (kelompok panitia pemungutan suara) setempat,'' kata Saiful. Data itu dikirim dengan menggunakan e-mail dan SMS. Sedangkan data mentah berupa kertas laporan dikirim melalui faksimile. ''Kami juga cek apakah surveyor benar-benar sampai di lokasi yang ditentukan,'' tambahnya.
Di LSI pimpinan Saiful, objektivitas dan kejujuran adalah harga mati. Tak bisa ditawar. ''Kami mengharamkan surveyor berkomunikasi dengan partai politik. Dari semua riset dan survei kami, parpol tidak mungkin intervensi,'' tegasnya.
Prinsip Saiful yang teguh memegang prinsip sudah muncul sejak kecil. Dia dilahirkan dari keluarga kiai di Serang, Banten, pada 8 Augustus 1962. Perjalanan studinya cukup unik. Dari kedokteran, perbandingan agama, tasawuf, filsafat, sosiologi, lalu ke ilmu politik terapan. Saiful mengaku sebagai tipe orang yang selalu bergairah dan total mendalami bidang studi baru yang dia minati.
Saat memutuskan kuliah di IAIN Jakarta, Saiful justru dimarahi ayahnya. Padahal, sang ayah, KH Syamsuddin, adalah tokoh agama di Serang dan pengurus ormas Islam setempat, Mathlaul Anwar. Sudah lama orang tuanya mengarahkan Saiful kuliah bidang umum. Mau menjadi dokter, ekonom, atau insinyur.
Karena itu, awalnya Saiful kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, Jakarta. Tapi, dia hanya bertahan dua tahun. Saiful meminati kajian perbandingan agama. Masuklah dia ke IAIN Jakarta, mendalami tasawuf dan filsafat.
Di luar kampus, Saiful mendalami ilmu-ilmu sosial hingga menjadi fans berat Marxisme. Saat mendapat beasiswa Fullbright ke Amerika Serikat, dia memilih sosiologi agama. Maunya berguru kepada Peter L. Berger di Universitas Boston. Tapi, belum sampai berangkat, Saiful pindah ke ilmu politik di Ohio State University.
Pada Pemilu 1999, Saiful menyiapkan proposal survei nasional yang lebih akademik. Dia menggandeng gurunya, Bill Liddle. Dukungan dana diperoleh dari National Science Foundation, lembaga pemerintah Amerika yang paling bergengsi menopang riset.
Saiful merangkul Laboratorium Ilmu Politik Universitas Indonesia. Di situ bergabunglah Eep Saefulloh Fatah dan Valina Singka. Survei digelar seminggu setelah Pemilu 1999. Temanya, menggali kecenderungan pemilih Indonesia. ''Itulah survei akademik pertama berskala nasional pascareformasi,'' ujar Saiful.
Sampelnya 2.488, ditarik dengan multistage random dari 26 provinsi. Mulai Aceh hingga Papua. Saiful ketagihan. Maka, pada 2001 dan 2002, Saiful menggelar survei nasional lagi dengan menggandeng Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Jakarta. Temanya, kaitan Islam dan kultur demokrasi. Itulah basis data disertasi doktor Saiful yang kemudian menjadi disertasi terbaik. Judulnya, Religious Democrats: Democratic Culture and Muslim Political Participation in Post-Soeharto Indonesia. Nama Saiful pun makin diperhitungkan. Dia sempat digandeng Rizal Mallarangeng untuk ikut menjadi peneliti di Freedom Institute.
Pulang dari Ohio, terbentuklah Lembaga Survei Indonesia (LSI). Nama lembaga itu usul Saiful. (rdl/kum)
---
Tentang Saiful Mujani dan LSI
- Pada hari H Pemilu dikontrak secara eksklusif oleh Metro TV
- Sempat kuliah di Fakultas Kedokteran, IAIN, lalu ke Ohio State University
- Mulai melakukan surve politik sejak Pemilu 1999 yang didukung National Science Foundation dari Amerika Serikat.
- Pada tahun 2001 dan 2002 menggelar beberapa kali survei nasional
http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=63367
Senin, 13 April 2009 ]
Muhammad Qodari Danai Survei dari Hasil Bisnis Istri
SELAMA masa Pemilu 2009, kesibukan Muhammad Qodari meningkat tajam. Sekadar bersantai pun, rasanya, sulit bagi dia. Mulai tampil di televisi, membuat analisis di sejumlah media cetak, hingga berbicara di berbagai seminar.
Qodari adalah sosok yang amat dikenal di jagat survei politik nasional. Dia kini direktur eksekutif Indo Barometer, lembaga survei politik yang dirintisnya sejak dua tahun lalu.
Sejak mahasiswa, Qodari tak pernah jauh dari survei. Dia pernah menjadi ketua kelompok studi mahasiswa Eka Prasetya. ''Zaman kuliah hidup saya memang tak jauh-jauh dari survei," kata pria 35 tahun itu ketika ditemui Jawa Pos di salah satu rumah makan di Jakarta Selatan.
Qodari sempat bertualang di berbagai lembaga kajian politik. Di antaranya, peneliti di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dan peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Qodari juga pernah terbang ke Inggris untuk belajar political behaviour di University of Essex.
Hingga akhirnya Qodari mendirikan Indo Barometer karena ingin menyediakan banyak pilihan survei politik ke masyarakat. "Ya tentunya agar lebih bervariatif. Banyak pilihan yang bisa dilihat masyarakat," jelasnya.
Sejak berdiri, Qodari mengatakan sudah mengantarkan puluhan kepala daerah sukses dalam pilkada. Ketika ditanya tarifnya untuk sekali menggunakan jasanya, Qodari tidak mau menyebutkan. Ketika dipancing apakah tarif menggunakan jasanya berkisar di angka miliaran? "Soal itu relatif," ujarnya.
Di luar itu, Qodari memiliki sederet rangkaian survei. Terkadang dia membidik sasaran yang belum pernah digarap lembaga lain. Misalnya, tingkat keterpilihan caleg perempuan hingga mencari pemimpin baru Indonesia. "Untuk mendanai yang begini, saya bikin subsidi," tuturnya.
Dia mengaku menggunakan hasil bisnis istrinya, Amelia Himawati, untuk mendanai kegiatan survei itu. Sayang, Qodari tak menyebut bisnis yang dilakoni istrinya tersebut. ''Ya ada, lumayan juga hasilnya," jelasnya. (git/aga/kum)
---
Tentang Qodari dan Indo Barometer
- Sejak mahasiswa sudah akrab dengan dunia survei
- Belajar political behaviour di University of Essex, Inggris
- Ikut mendirikan Lembaga Survei Indonesia
- Sempat bergabung di Lingkaran Survei Indonesia
- Berhasil mengantarkan puluhan kepala daerah sukses dalam pilkada
http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=63366
Sosok Mahal di Balik Survei Politik
Written By gusdurian on Selasa, 14 April 2009 | 11.43
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar